"Kiara ...."
"Kiara Putri ...."
Rowan tak berhenti mengeja nama itu sambil mendongak menatap lembayung jingga yang sebentar lagi akan tenggelam. Otaknya bersikukuh mengunci rapat-rapat ingatan tentang wanita itu. Mungkin hanya hatinya yang tidak berbohong, selalu menyalurkan perasaan aneh ke seluruh tubuh acap kali ia mengingat Kiara. Seolah membisikkan serpihan rahasia yang telah lama terlupakan.
Rowan beralih memerhatikan Kiara lamat-lamat. Rambutnya yang selegam malam, kerapuhan tingkahnya, mata yang menatap sendu, serta kulitnya yang pucat. Diluar dugaannya, Kiara tampak tak seantusias saat dirinya disodori secangkir cokelat tempo hari. Sesuatu seperti menohok ulu hati Rowan saat tiba-tiba iris hitam milik wanita itu berkilau oleh bulir bening. Detik selanjutnya, Kiara menangkupkan kelopak mata, membiarkan aliran sungai merembes ke pipinya.
"Are you ... okay?" tanya Rowan tak yakin. Dia jelas jauh dari kata baik-baik saja, tapi ia tak punya kata yang tepat untuk dilayangkan. Rowan merasa bodoh, karena telah menjadi penyebab air mata itu sekali lagi terjatuh.
Menggeleng, yang ditanya buru-buru mengusap air matanya. "Saya nggak suka senja," ujarnya.
Nggak suka senja. Rowan mengira selain cokelat, semua wanita menyukai senja.
"Maaf." Rowan berkata lembut. "Saya pikir kamu bakal suka. Salah saya karena tadi nggak tanya dulu."
Kiara kembali menggeleng. "Kamu nggak perlu minta maaf." Suaranya terdengar serak. "Saya pikir saya suka, tapi ternyata nggak. Matahari tenggelam, jingga, merah, cuma mengingatkan saya pada perpisahan."
Rowan tak mengerti. "Perpisahan?"
"Ya, kayak semesta berseru. Hei lihat, bahkan matahari aja ada waktunya buat pergi."
"Tapi besok dia muncul lagi," kata Rowan, mencoba merubah sauasana.
Kiara mengulum bibir. "Siapa yang tahu?"
Ya, benar! Rowan juga tak bisa menjamin besok matahari tetap akan terbit.
"Akhir-akhir ini saya terlalu sensitif." Kiara kembali membuka suara. "Di pengujung hari, saya membayangkan diri saya di sana, begitu dekat dengan kematian."
Rowan terdiam. Mulutnya terbuka, namun tak mampu mengeluarkan kata. Tak mengerti pemikiran Kiara akan begitu jauh. Kalimat tentang kematian tu membuat dadanya seperti disambar petir. Dia tidak suka kalimat itu keluar dari bibir wanita di sebelahnya.
Tangannya refleks bergerak menyentuh pundak itu, menariknya mendekat untuk kemudian ia peluk erat. Erat dan lama sekali. Rowan bisa merasakan badan Kiara bergetar, dan kaus yang ia kenakan terasa basah oleh air mata.
"Maaf." kata Rowan lagi. "Seminggu yang lalu saya mengenal kamu. Kejadiannya random sekali. Lalu hari ini kamu tiba-tiba datang berpamitan, mengatakan akan pergi, tapi tak menjelaskan banyak hal. Saya hanya berharap bisa membuat sore kamu berkesan."
"Kalau begitu saya harus berterima kasih." Kiara sudah tak menangis, tapi ia masih menyembunyikan wajahnya di dada Rowan. "Dan maaf karena saya merusak momennya."
Rowan merogoh saku celananya, menemukan beberapa permen cokelat di sana dan mengeluarkannya.
"Permen cokelat?" tawarnya.
Wanita itu langsung menyembulkan wajah, menatap pada bungkusan kecil berwarna merah di tangan Rowan. "Sepertinya ini lebih baik daripada senja," ujarnya.
Rowan kembali memaki dirinya yang tidak peka. "Ternyata saya belum cukup mengenal kamu. Saya hanya tahu kamu suka cokelat, selain itu nggak ada lagi yang saya tahu. Kamu kayak menyimpan rahasia dari saya."
Bibir Kiara bergerak melengkung, ia menautkan jari-jarinya seperti orang yang canggung. "Saya nggak bermaksud begitu," katanya, memberanikan diri menatap wajah Rowan. "Saya hanya nggak tahu cara menjelaskannya. Tentang perkenalan kita, apa yang terjadi pada saya kemudian, dan kenapa saya di sini."
"Itu janji kamu di depan rumah sakit." Rowan mengingat tautan jari mereka waktu itu. "Kamu bilang mau menjelaskan di pertemuan berikutnya."
Kiara terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berujar. " Boleh saya melakukan hal yang lain aja?"
Jari-jari mungil wanita itu kemudian meraih jemari Rowan. Ia menggenggamnya erat, menyalurkan dingin dari kulitnya pada Rowan yang mulai merasakan tubuhnya seperti meledakkan jutaan bintang. Jantungnya kembali berdebar tidak normal. Bukan hanya karena kaget, lebih dari itu ia diam-diam membenarkan perkataan Johan tempo hari. Rowan sedikit menundukkan wajah, sekali lagi iris cokelatnya bertemu dengan gelapnya samudra di mata Kiara. Kali ini hanya berjarak lima senti.
Tanpa sadar, wajah keduanya bergerak lebih dekat hingga hidung mereka saling beradu. Waktu berhenti sekian detik, memberi ruang bagi keduanya untuk saling melepas rindu. Di atas rooftop toko buku kecil itu, berlatar lembayung senja yang nyaris terbenam, Rowan tak menyangka ia akan mencium wanita itu. Bibirnya terasa manis, dingin, dan basah oleh air mata.
"Sampai jumpa, Brown." Kiara berbisik di telinganya.
Wanita itu kemudian buru-buru mencipta jarak, sambil melambai ia melangkah menuruni tangga rooftop. Sementara Rowan masih terpaku di tempatnya, berusaha mengatur detak jantungnya. Ketika ia kemudian bisa mengendalikan diri, Rowan ikut menuruni tangga, namun tak lagi melihat Kiara di antara keramaian orang-orang yang memenuhi jalan dan beberapa pelukis yang tampak sedang bercengrama hangat. Lalaki itu melayangkan pandang hingga ke ujung jalan, tapi tak mendapati apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROWN [completed]
RomanceSore itu kota sedang diguyur hujan lebat ketika Rowan, lelaki penyuka segala jenis cokelat itu keluar dari pintu kafe dan dikagetkan oleh kemunculan seorang wanita yang menyapanya akrab dengan panggilan 'Pangeran Brown'. Rowan yakin mereka tidak sal...