PROLOG

16 4 1
                                    

Andai kalian mengetahui perasaan ku.
Andai kalian mengetahui apa yang ku rasakan.
Andai kalian selalu ada bersama ku.
Andai semua dapat aku ulangi.
Maafkan diriku ini.

Gerakan tangan Ririn bergerak dengan sendirinya. Luapan amarah dan kesedihan yang ia rasakan ia curahkan ke dalam lembaran kertas. Ia hanya dapat melepas semua amarahnya ke dalam tulisan. Perlahan air mata Ririn menetes membasahi kertas. Membuat tulisan yang ia tulis menjadi buram.

"Ririn. Kenapa kamu menangis?" Tanya Indah. Sahabat yang selalu menemani Ririn.

Ririn hanya dapat membalas pertanyaan Indah dengan tatapan. Ia tidak dapat mengucapkan apa yang ia rasakan. Bukan karena ia bisu, tapi karena ia tak kuat mengucapkan apa yang ia rasakan. Kemudian Indah memeluk Ririn. Indah memang selalu ada untuk Ririn. 

"Sudahlah Rin. Kamu jangan menangisi kepergian orang tuamu. Mungkin mereka sudah tenang di alam sana." Ucap Indah mengetahui perasaan Ririn yang telah hancur.

Tiga hari yang lalu adalah hari yang membuat Ririn hancur. Ketika ia sedang melaksanakan lomba mewakili sekolahnya, ia di beri kabar bahwa orang tuanya mengalami kecelakaan, pesawat yang ditumpangi orang tua Ririn hilang kendalai dan jatuh ke lautan. Ia Sangat terpukul akan kepergian orang tuanya yang sangat mendadak.

"Tapi aku masih belum bisa menerima kepergian mereka." Ucap Ririn dengan nafas yang tidak teratur.

"Sudahlah, ayo aku antar kamu pulang." Ajak Indah mencoba menghibur Ririn.

"Sekarang aku tidak ingin pulang. Kalau aku pulang aku hanya teringat orangtua ku." Ucap Ririn dengan tetes air yang keluar dari matanya.

"Ayolah Rin. Kamu jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Kamu harus bangkit!" Ujar Indah menyemangati Ririn.

"Bangkit. Apakah aku masih bisa bangkit?" Tanya Ririn sambil menatap wajah Indah.

"Tentu saja kamu bisa Rin!" Ucap Indah sambil menggenggam erat tangan Ririn.

***

Sebuah Tetes Air : Di Senja HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang