Part 2. Empty Seat

572 78 57
                                    

🌋

Sudah terbiasa berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, Retha mengandalkan busway sekali jalan ke arah Thamrin, Jakarta. Niatnya sih hanya sekadar tidak ingin berdesakan dan bisa duduk dengan lega.

Lalu selepas turun dari kendaraan massal, ia berjalan sedikit menuju kantor pemerintahan tempatnya bekerja --- Kementerian Penanggulangan Bencana--- yang menjadi satu-satunya tujuan saat ini. Kompleks perkantoran kementerian itu memiliki dua gedung utama yang terkesan kaku sekaligus dingin. Retha pun masuk ke salah satu gedung bertingkat itu.

Keluar dari lift gedung Nakula di lantai 7, ia segera menyapa seseorang yang sudah sibuk sepagi ini di ruang kantornya meletakkan gelas-gelas teh hangat, sempat berpapasan saat orang itu keluar.

Kubikel yang menjadi ruang kerjanya terletak di deretan staf bersama yang lain sebanyak lima meja berukuran tanggung. Sedangkan dua ruangan bersekat kaca di sudut lain adalah milik dua atasan struktural bagiannya yang seharusnya diisi oleh seorang Kepala Sub Direktorat dan Kepala Seksi Subditnya.

Dengar-dengar gosip yang beredar di instansinya, pemerintah ingin menghapus dua jabatan berurutan itu dalam waktu dekat. Tapi entahlah, Retha juga masih berusaha paham tentang sistem birokrasi. Gadis itu hanya sekadar tahu jika kursi Kepala Seksi di Subdit-nya sementara ini kosong dan sedang diincar oleh banyak sekali staf senior di instansinya.

"Dek, lo berangkat jam berapa kalo jam segini udah sampe?" tanya Bagus, pria bermata tipis yang baru saja memasuki ruangan mereka lalu menempatkan diri di sebelah kanan Retha. Jelas saja terheran jika hampir tiap hari, dia menemukan gadis berstatuskan calon pegawai negeri itu datang paling awal.

"Emang kenapa, Bang?" responnya terkekeh bingung pada pria yang jauh lebih senior itu.

Karena tipe orangnya yang memang santai, toh Bagus tampak tidak mengejar jabatan apapun meski secara golongan dia sudah mampu menduduki kursi kepala seksi. Lihat saja sendiri, Bagus masih saja betah duduk di kursi staf dan malah sibuk menepuk bahu Retha untuk sekadar bercanda. "Lo pasang tenda di ruang Subdit apa gimana dah? Ini masih jam 7 kurang."

Retha yang baru sibuk dengan komputernya itu pun tertawa kecil. "Gue dateng jam setengah 7 kok, Bang. Kang Jin bahkan selalu lebih cepet kali datengnya," elak gadis bersuara lembut itu. Mungkin siapapun yang pernah mengenalnya tidak percaya jika Retha bisa berteriak pada orang lain.

***

Tepat jam 7.30, satu per satu penghuni Sub Direktorat Tanggap Bencana itu pun bermunculan sudah dalam keadaan terengah-engah. Bagaimana tidak, Retha bisa menebak jika para kaum adam itu pasti baru saja berlarian dari tempat parkir kendaraan hingga ke mesin absen yang terletak di beberapa titik gedung Nakula. Termasuk Hogi yang seenaknya menarik tisu milik Retha lalu mengusap-usap keringatnya sendiri.

Mengingat kejadian konten terkutuk milik Windy, gadis itu berencana untuk marah pada Hogi. Tapi si lelaki itu dengan polosnya bertanya, "Lo simpen air es nggak di kulkas Subdit? Haus gue."

Retha hanya melirik tajam pada lelaki tidak peka di sebelah kirinya lalu memutar bola matanya sebal. "Iih, bang Hogi ngeselin banget."

"Loh, kenapa-kenapa? Sini cerita sama Om?" goda Hogi sama sekali tak merasa berdosa, mengambil air es di kulkas tepi ruangan. Mau tidak mau Retha menceritakan seluruh kronologis kesialan gara-gara sahabatnya itu kemarin. Retha pikir, Hogi jelas harus tahu kelakuan sinting pacarnya.

Malang untuk Retha, nyatanya Windy hanya lengah sebentar lalu sudah mendapati frame kosong di kamera videonya. Detik dimana Renitha dan pria itu pergi entah kemana dan ia benar-benar kehilangan jejak saat Retha sudah dilarikan oleh pria asing si korban keisengan mereka.

The Disaster PrankTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang