First Friend?

29 5 1
                                    

"Jingga nama yang bagus" Raka menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Jingga kembali menulis di note kecilnya "kamu bicara apa sih?"

Raka tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang membuat lelaki itu tertawa, apakah dia mengejek?

"Kamu ngejek?"

Raka menggelengkan kepalanya panik. Bukan itu maksudnya, cara bicara Jingga yang kaku dan lucu itu membuatnya tertawa.

"Gak gitu. Bahasa lo kaya pak Toni tau gak? Kaku banget"

Raka menunggu Jingga selesai menulis di note'nya "Aku serius gak ngerti kamu bicara apa? Pelan pelan"

"Gue pengen belajar bahasa isyarat" Jingga memandang heran Raka. Buat apa cowok itu ingin belajar bahasa isyarat?

"Buat apa kamu belajar bahasa isyarat?"

"Biar paham apa yang lo bicarakan. Kita sekarang teman, paham?"

Raka menunggu Jingga yang terlihat bingung kala perempuan itu ingin menulis. Raka masih menunggu, bingung juga sesulit apa membalas perkataannya tadi.

"Kamu tau? Kamu adalah teman pertama aku selama aku hadir di dunia"

Kalimat itu. Kalimat yang tak terucapkan namun tersirat makna yang teramat dalam.

{{Protect Me}}

"Jingga. Nama yang unik. Maksud kalimat yang dia tulis tadi apa ya? Apa iya dia gak punya temen selama 16 tahun?" Raka memandang langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu. Rasa penasaran menjalar dalam diri Raka. Raka dapat melihat tatapan rapuh dari 'teman' barunya itu. Cantiknya tak terlihat karna wajah suram nan rapuh perempuan itu. Satu hal yang Raka suka adalah senyumnya.

Arghhh, baru kali ini dia menilai seseorang secara detail. Biasanya dia tak perduli dan ini? Sangat-sangat perduli.

"Gue harus belajar bahasa isyarat ke ayah. Bagaimana pun caranya, malam ini gue hafal seenggaknya 5 isyarat" Raka beranjak dari kasurnya. Menghampiri ayahnya yang sudah dipastikan sudah berada diruang keluarga bersama sang bunda tercinta.

"Yah, ajarin Raka bahasa isyarat"

"Buat apa?"

"Seenggaknya ayah berguna sedikit sebagai psikolog" Tenang saja. Raka tidak ada dendam kesumat dengan sang ayah. Itu hanya candaan semata kala ayahnya itu kepergok bermesraan dengan ibunya. Seperti sekarang ini.

"Ayah selalu berguna kali. Orang gila kan yang sembuhin ayah" Ucap lelaki paruh baya itu dengan sombong.

"Etdah yah, gangguan mental bukan orang gila. Orang gila itu bahasa kasar gak boleh"

"Iya terserah kamu aja Ka" Ferdi menyerah saat mulai mendengar ceramah sang anak.

"Ajarin Raka ya yah" Ferdi menatap Raka, menaikkan salah satu alisnya "Kasih papah sebuah alasan"

Protect MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang