2. Silent

10 0 0
                                    

"Nare, ini sudah jam delapan. kau tidak pergi ke butik?"

Itu suara ibu, yang sedikit berteriak setelah mengetuk pintu. Dan tidak membutuhkan pengulangan demi membangunkanku sebab aku cukup sensitif terhadap suara maupun pergerakan disaat tidur--aku mudah sekali dibangunkan.

"iya.." jawabku dengan suara serak khas bangun tidur.

Aku baru sadar jika semalam lupa memasang alarm. Biasanya aku akan terbangun sangat pagi, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan ibu sarapan. Namun nyatanya aku memang sudah berencana dari semalam akan bangun sedikit siang, setidaknya untuk hari ini sebab aku memang cukup kelelahan disebabkan aktifitasku seharian kemarin.

Aku sedikit menggeliat diatas tempat tidur demi meraup kesadaran penuh. Kutatap jam digital persegi diatas nakas, dan waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit sekarang. Bergegas kurapikan tempat tidur yang tentu saja berantakan karena ulahku. Setelahnya, aku beranjak ke kamar mandi guna membasuh diri secara menyeluruh dan baju tidurku kini sudah berganti dengan pakaian yang siap kukenakan untuk pergi bekerja. Celana kulot berwarna biru laut, kupadukan dengan atasan tanpa lengan berwarna cream.

Cukup memakan waktu hingga satu jam, dan aku sudah menyelesaikan aktifitasku didalam kamar. Padahal aku selalu menggunakan make up yang tipis, tetapi nampaknya memilih pakaian adalah kegiatan yang cukup menyita waktu jika itu aku. Kembali kutatap cermin untuk memastikan penampilan, namun yang ada aku teringat akan kejadian semalam yang membuatku menjadi kian lesu. Kuhembuskan nafas berat. Jujur aku masih merasa malu mengingatnya. Beruntung pria itu dengan berbaik hati maafkan dan tidak memakiku didepan banyak orang. Iya, dewi fortuna setidaknya masih memihakku malam itu.

Kulangkahkan kaki dengan segera menuju meja makan menemui presensi ibu yang sedang mengoleskan selai kacang diatas roti tawarnya. Diatas meja sudah tersedia segelas susu coklat yang kuyakini untukku dan secangkir kopi milik ibu sendiri. Dan sama sepertiku, ibu juga sudah memakai baju kerjanya.

"selamat pagi, bu"

"kupikir ibu tidak ada jam mengajar hari ini" tanyaku sembari mendudukan diri dihadapannya.

"tentu saja ada, sayang. kau mau selai apa?"

"kacang"

Ibu lantas mengoleskan selai diatas lembaran roti yang kutahu itu adalah jatahku. Kami memang selalu begini. Saling memahami dan tidak pernah sekalipun menuntut. Ibu tidak pernah memaksaku untuk melakukan pekerjaan rumah ini dan itu, sebab aku juga bekerja dan terkadang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah. Tetapi aku cukup mengerti bahwa ibu juga tidak mungkin melakukan segala hal seorang diri. Jadi aku berusaha menyempatkan waktuku dipagi dan soreku yang kosong untuk mengurus rumah atau sekedar menyiapkan makan untuk kami.

Selesai dengan aktifitas dimeja makan. Kini aku sudah berada didalam sebuah cafe yang telah dijanjikan bersama dengan tiga orang staffku (aku lebih suka menyebut mereka sebagai rekan kerja, sebenarnya) untuk memulai rapat kami. Rapat diisi dengan diskusi seputar produksi hingga pemasaran desain pakaian baru yang akan kami luncurkan. Sesekali diisi dengan berbagai obrolan ringan yang terkadang bisa memunculkan ide atau strategi baru yang tentunya berguna untuk meningkatkan penjualan.

Im Hyeong So dan Ahn Aeri, dua gadis ini sudah cukup lama bekerja denganku. Umumnya mereka terlihat seperti gadis yang asal-asalan dan hanya suka bermain. Tetapi nyatanya, mereka yang mampu bertahan sampai sekarang bahkan selalu ada didalam masa-masa sulit bisnisku. Oleh karena itu saat bisnisku sudah mulai berkembang, aku memposisikan mereka sebagai manajer bagian produksi dan pemasaran. Dan Kim Soobin, pria yang umurnya jauh lebih muda dari kami memegang peranan penting dalam hal keuangan butik. Dia memang baru saja lulus dari universitas, tetapi kuakui kepiawaiannya dalam mengatur keuangan memang tidak bisa diragukan. Dia adalah pegawai yang cerdas dan memiliki ambisi yang cukup tinggi.

SerendipityWhere stories live. Discover now