3. Let's Be Friend

4 1 0
                                    

Sejak kejadian itu, aku jadi lebih sering tenggelam dalam pemikiranku sendiri. Aku terjebak diantara dua hal; bimbang dan perasaan bersalah. Sejak saat itu aku jadi berasumsi bahwa mungkin saja tempat kerja kami memang berdekatan. Bisa jadi, sebab butik milikku memang berada di pusat kota dan banyak sekali area perkantoran disana. Tetapi sehari setelah kejadian tersebut, aku mencoba untuk mendatangi tempat itu lagi persis di jam makan siang, tetapi tidak ditemani dengan Hoseok oppa, melainkan bersama salah satu staffku yang kebetulan juga sedang istirahat. Namun nihil, presensi pria itu tidak lagi kutemui.

Dan itu yang menambah rasa bersalahku. Seharusnya permintaan maaf dariku sejak peristiwa itu adalah suatu hal yang lumrah dan sudah semestinya. Tetapi kembali aku teringat akan kejadian berikutnya yang membuatku menjelma menjadi gadis yang tidak sopan. Mungkin jika seandainya ia tidak mengetahui keberadaanku, tidak masalah juga jika aku tidak menunjukkan diri. Tetapi karena sudah kepalang basah, aku jadi menyesal karena aku jadi terlihat sengaja sekali menghindarinya.

Meski peristiwa itu sudah lewati tiga hari. Namun sepertinya memori didalam otakku masih menyimpan dengan jelas bagaimana bentuk wajah itu. Iya, kuakui ia pria itu tampan meski dilihat dengan sekilas. Dan terlihat sekali bahwa ia juga pria baik-baik. Tidak seperti karakter mafia yang akhir-akhir ini sering kutemui dalam novel yang tengah kugandrungi—tampan tetapi menyimpan segudang kejahatan. Itu fiktif sekali.

Aku menetapkan hari ini untuk menjadi hari liburku yang berarti aku memiliki waktu luang yang cukup untuk aktifitas pribadiku—meski tidak sepenuhnya. Keuntungan lain yang bisa aku syukuri, karena aku bisa fleksibel dalam mengatur hari kerjaku.

Pagi ini aku sempatkan waktu untuk berolahraga. Cukup sederhana, hanya memutari area komplek perumahan. Lalu melakukan beberapa gerakan di halaman belakang rumahku seperti pagi-pagi biasanya. Dan terakhir kusempatkan untuk berkutat didapur untuk mengolah bahan-bahan makanan. Aku memasak cukup banyak hari ini, setidaknya untuk jatah pagi dan siang hari, karena ibu juga sedang libur.

Dan tepat pukul sebelas siang aku sudah memecah jalanan yang beruntung belum terlalu ramai meskipun ini hari minggu. Rute hari ini adalah mengunjungi butik terlebih dahulu, menuju toko kue untuk mengambil pesanan, dan beikutnya aku akan mengunjungi seseorang untuk memberi kejutan. Oh, aku sudah senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana nanti.

Sampai didepan toko kue yang kumaksud, aku memarkirkan mobil ditempat parkir khusus pengunjung. Tetapi baru saja aku menutup pintu mobil hendak berjalan masuk, persis di pelataran toko kulihat ada seorang anak kecil yang berdiri sambil menangis, sedangkan sang ibu tengah berjongkok sembari memunguti beberapa cupcake yang sudah berantakan diatas lantai aspal—mengembalikan lagi kedalam kotak yang sepertinya akan dibuang karena memang sudah tidak layak untuk dimakan.

"permisi nyonya, apakah terjadi sesuatu?"

Sontak membuat ibu muda dihadapanku mendongakkan kepala guna menatap kearahku yang sedikit merendahkan posisi tubuh.

"a-ah, putraku tidak sengaja menjatuhkan kue yang baru saja kami beli. Kupikir kita bisa membeli lagi lain hari, tetapi dia masih saja menolak"

Mungkin karena merasa malu, sang ibu mengambil pergelangan sang balita dan menatapnya dengan sendu.

"Rowoon-ie, tidak apa-apa sayang, besok kita masih bisa membelinya lagi. Sekarang ayo kita pulang, ya?"

Si kecil bernama Rowoon tersebut menggeleng kuat memberikan sebuah penolakan. Membuat sang ibu semakin merasa payah sebab sang putra masih kukuh pada pendiriannya dan tidak berhenti menangis. Aku yang menyaksikan ini jelas merasakan iba. Serta merta aku memposisikan diriku untuk berjongkok tepat dihadapan si pria kecil. Meski sang ibu muda menatapku dengan sedikit kebingungan. Namun aku biarkan saja, malah tersenyum dengan hangat dihadapan putranya.

SerendipityWhere stories live. Discover now