Riuh rendah suara tamu yang memenuhi balroom, membuat Shifa hanya bisa diam. Sejak dia sah menjadi nyonya Argani, Shifa belum berkomunikasi dengan suaminya itu. Pria asing, yang tiba-tiba saja mau menikahinya. Meski awalnya, Shifa berdoa agar pria itu menolaknya. Itu akan menjadikannya mudah. Bukan karena dia tidak mau menikah, tapi karena pernikahan ini adalah suatu kesalahan dalam hidupnya.
Shifa Maharani, selama 23 tahun hidupnya, dia tidak pernah bermimpi akan menjadi ratu sehari, dalam pernikahan yang megah ini. Dia akan merasa sangat bersyukur, jika ada yang mau menikahinya. Wanita miskin yang hidup dengan pertolongan keluarga Soni Wijaya. Shifa, dipungut dari jalan, saat itu usianya baru menginjak 10 tahun. Putus asa karena kematian ibunya. Yang merawatnya dari kecil. Shifa tidak pernah tahu siapa bapaknya, yang dia tahu dia hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Shifa kecil akan sangat senang jika ibunya membawakannya makanan sisa dari restoran, tempat ibunya bekerja sebagai pramusaji. Tinggal di rumah kontrakan yang hanya satu kamar. Berdesak-desakan dengan sang ibu. Sampai suatu hari, ibunya pulang hanya tinggal nama. Dia tidak melihat jenasah ibunya, karena bosnya sudah mengurus semuanya. Tapi ada yang terlupa, Shifa tidak masuk dalam tanggungan sang bos. Dia hanya diberi uang seperlunya, yang habis untuk makan belum ada dari 1 minggu. Akhirnya dia menggelandang di jalanan, bersama puluhan anak-anak lainnya. Dan nasib, masih berpihak kepadanya. Dia dijadikan pembantu oleh keluarga Soni Wijaya. Sampai detik ini.
Shifa melirik sekilas ke arah suaminya. Pria tampan yang berbalut jas putih. Pria yang pernah menjadi mimpi-mimpi indahnya, ketika malam memeluknya di peraduan. Dialah, Argani. Pria yang dijodohkan kepada Kirana. Wanita yang sangat baik, bahkan dia sudah dianggap sebagai adik oleh Kirana. Meski Shifa tahu, kebaikan tetap tak bisa membeli statusnya. Yang notabene sangat berbeda dengan derajatnya.
"Kamu lelah?"
Pertanyaan itu menyadarkan Shifa dari lamunan. Dia menoleh ke arah sampingnya. Sosok wanita cantik dan anggun, tengah duduk di sebelahnya. Dialah Jenny. Mertua wanita dan juga mama dari Argani.
Shifa langsung menggelengakan kepala. Meski dia sudah sangat tersiksa dengan sepatu tinggi yang kini dipakainya. Bahkan dadanya terasa sesak karena kebaya yang dikenakannya. Ukuran kebayanya memang kekecilan. Karena ini harusnya dikenakan Kirana, sedangkan ukurannya tidak seramping Kirana.
"Enggak kok tante."
Jawabannya yang lirih, membuat Jenny tersenyum ramah.
"Mama, aku ini kan sudah jadi mama kamu juga."
Shifa hanya menganggukkan kepala. Percakapan mereka terpotong dengan kehadiran tamu yang mengucapkan selamat kepadanya. Semua ini asing baginya. Semua tamu undangan itu, tidak ada satupun yang dikenalnya. Bahkan saat tamu-tamu Kirana naik ke atas panggung, dan melihat dirinya, terkejut karena bukan Kirana yang ada di sana. Bagaimana Shifa menjelaskannya? Karena dia juga tidak tahu, kalau dalam kurun waktu 8 jam, dia harus menggantikan anak majikannya berdiri di sini.
Lantunan lagu romantis mengalun indah dari wedding singer yang disewa. Suara denting sendok dan piring yang beradu, menjadi selaras dengan riuh rendah percakapan tamu undangan. Semuanya menikmati hari ini, tapi bukan dirinya. Shifa merasa sangat kesepian di tengah hiruk pikuk dan segala kemewahan yang hadir. Tanpa terasa, dia meneteskan air matanya.
Shifa merasa panik saat menyadari pipinya sudah basah. Dia buru- buru mencari sesuatu, menoleh ke kanan dan kirinya. Sampai uluran tangan seseorang menghentikannya. Dia mendongak, dan melihat siapa yang memberikan tisu itu. Gani. Pria yang kini sedang menatapnya dengan datar. Tidak ada ekspresi di sana.
"Owh, makasih."
Shifa menerima tisu itu. Gani tidak menjawabnya, lalu mereka fokus lagi dengan tamu yang sepertinya tidak akan pernah berhenti. Shifa merasa sangat tersiksa untuk saat ini.
*****
Kepalanya berdenyut menyakitkan. Tubuhnya terasa begitu lemas, tapi Shifa harus memaksakan diri untuk terbangun. Ini hari pertamanya menjadi seorang istri.
Dia membuka matanya, lalu menoleh ke arah sampingnya. Tidak ada orang di sana. Berarti, dia memang tidur sendiri, sejak mereka masuk ke dalam kamar hotel, yang memang khusus dipersiapkan untuk mereka. Shifa kini beranjak bangun, menata rambutnya yang terasa kotor dan kaku karena hairspray semalam. Shifa meraih kerudungnya yang diletakkan begitu saja di atas nakas. Kamar mewah ini, terasa begitu dingin. Shifa lebih memilih tidur di kamarnya yang sempit di keluarga Soni. Daripada di kamar yang sudah mirip satu rumah ini baginya.
Shifa beranjak berdiri lalu mengecek jam tangan yang masih melingkar di tangannya. Dia lupa, semalam untuk membuka jam itu. Baru pukul 3 dini hari. Shifa bisa mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat tahajud. Melangkah perlahan, kakinya menginjak karpet yang sangat empuk. Sungguh sangat nyaman. Shifa membuka pintu kamar, dan mendapati ruangan lain. Ada sofa yang indah dan meja yang menghiasi ruangan itu. Ini Penthouse.
Lampu masih menyala terang, saat Shifa melangkah ke arah sofa, dia mendapati Gani, bergelung di sana dan tertidur pulas. Pria itu sudah berganti pakaian, dengan kaos oblong warna putih dan celana selutut. Gani tampak polos dalam tidurnya. Shifa menghela nafas, sebenci itukah Gani kepadanya?
Shifa masih ingat, setelah acara selesai, Gani tidak berbicara sedikitpun kepadanya. Hanya saudara dan sepupu-sepupu Gani yang mencoba mencairkan suasana. Tapi pria itu tetap diam seribu bahasa. Bahkan, sampai mereka diantar ke kamar ini, Gani tidak menatapnya. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu. Tapi Shifa bisa apa? Dia hanya pengantin pengganti, yang tidak diinginkan oleh mempelai pria.
Saat Shifa melangkah meninggalkan sofa, dia mendengarkan gerakan. Lalu pria itu memanggilnya.
"Shifa."
Shifa berbalik dan mendapatkan Gani sudah duduk. Wajahnya terlihat sangat lelah dan mengantuk. Rambutnya acak-acakan. Pria itu menatap dirinya.
"Ya?"
Gani beranjak dari duduknya, lalu melangkah mendekatinya. Shifa bahkan refleks melangkah mundur.
"Kamu sudah bangun?"
Shifa menganggukkan kepala. "Aku yang gantian tidur di kamar."
Setelah mengatakan itu, Gani langsung pergi begitu saja. Shifa masih diam di tempatnya, sampai akhirnya kesadaran mulai membuat otaknya berpikir.
Gani tidak tidur di atas kasur karena dirinya. Gani tidak mau tidur dalam satu ranjang dengannya. Shifa menghela nafas, ini baru permulaaan untuknya.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BITTER SWEET ICE
RomanceDua hati yang dipertemukan tanpa rencana. Dua hati yang saling menyatu dengan tiba-tiba. Bisakah semuanya berjalan sesuai yang diharapkan? Gani, tidak menyangka akan menikahi seorang wanita yang menjadi pengganti mempelai wanita aslinya. Dia merasa...