"Lo melarikan diri? Itu penthouse udah gue booking buat lo ama bini lo selama satu minggu. Gila aja, maen kabur aja lo, kul."
Gani hanya diam saja, mendengar ocehan kembarannya di ujung sana. Pasalnya, dia memang langsung pergi setelah pagi menjelang dari kamar hotel, yang memang khusus untuk bulan madunya. Dia bahkan sudah masuk kerja, tepatnya di klinik yang selama ini menjadi tempat mencari nafkah dirinya. Gani adalah seorang apoteker. Itu sudah menjadi cita-citanya sejak dulu, dia lebih memilih bekerja daripada harus mewarisi cafe ataupun hotel milik sang papa.
"Berisik."
Gani hanya mengatakan itu dan mematikan ponselnya. Dia tidak suka dicereweti oleh Gana. Hidupnya adalah miliknya. Tidak ada yang bisa mengaturnya, sejak wanita itu menorehkan kekecewaan di hatinya. Selama ini, dia sudah sangat menurut dengan keinginan kedua orang tuanya, menjalani perjodohan. Tapi, nyatanya dia tetap kecewa dan merasa dipermalukan oleh Kirana. Wanita itu, sudah menohok ego dan harga dirinya. Dia terpaksa menikah dengan Shifa, wanita yang belum dikenalnya sedikitpun. Keluarga Soni Wijaya, begitu saja menyodorkan Shifa, layaknya pengganti Kirana. Gani, tentu saja tidak mau membuat seorang wanita menangis, tapi nyatanya dia menikahi Shifa juga membuat wanita itu menangis.
"Gan, gak pulang? Klinik udah tutup loh."
Suara Bayu, salah satu karyawan klinik membuat Gani mendongak dari ponselnya. Dia menghela nafas sekali lagi. Hari ini, dia harus pulang ke rumah, bertemu dengan wanita asing itu lagi. Gani mengusap wajahnya dengan tangan, bagaimanapun dia harus menghadapi ini semua.
*****
Sejak bekerja, Gani memang sudah membeli rumah sendiri. Dia tidak mau menggunakan fasilitan keluarganya. Meski dia dipaksa, dia tetap menolak. Gani menghentikan motornya di depan rumah warna abu-abu itu. Lampu teras sudah menyala. Tapi pintu dan tirai tertutup rapat. Dia mengernyitkan kening, Shifa kemana? batin dia saat turun dari atas motor dan melepas helm. Tadi pagi, dia mengajak Shifa pulang ke sini. Mengatakan seperlunya untuk tinggal di rumah, sebelum dia pergi bekerja.
Gani mengetuk pintu rumah, dia lupa membawa kunci rumahnya, tadi pagi. Suara langkah kaki terdengar, lalu pintu terbuka. Shifa, wanita berkerudung putih itu kini tampak terkejut, mendapati dirinya sudah berdiri di ambang pintu.
"Owh, mas."
Shifa tampak canggung, saat membuka pintu lebih lebar. Gani hanya menganggukkan kepala. Dia melangkah masuk, tanpa menoleh ke arah Shifa lagi. Dia benci dengan kenyataan ini. Kenapa Shifa mau saja diperintah untuk menjadi pengganti Kirana? Sejak semalam, hanya itu yang mengganggu pikiran Gani. Dan siapa Shifa?
"Mas Gani, ehmmm aku udah masak buat makan malam. "
Suara Shifa menyusulnya saat Gani melangkah ke dalam kamarnya. Gani mengernyitkan kening melihat keadaan kamarnya yang sudah bersih dan rapi itu. Bahkan, lebih rapi dari biasanya dia merapikan. Ini pasti kerjaan Shifa, pikir Gani. Dia menoleh ke arah Shifa yang tampak takut-takut. Hal itu membuat Gani menghela nafas, "Kita harus bicara."
Gani melangkah ke dalam kamar, menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas kasur. Dia melirik Shifa yang masih berdiri saja mematung di ambang pintu. Gani kembali menghela nafas.
"Shifa. come here."
Shifa akhirnya menganggukkan kepala, Gani mengamati Shifa melangkah ke arahnya. Tapi kemudian tampak bingung. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Lalu saat melihat ada sebuah kursi, Shifa langsung menyeret kursi itu untuk mendekat. Hal itu membuat Gani semakin mengernyit, memangnya Shifa tidak mau duduk di sebelahnya? Itu yang dipikirkan Gani.
"Iya, ada apa?"
Gani akhirnya menatap Shifa yang kini sudah duduk di depannya, meski jarak begitu jauh darinya."Kamu, gak nyaman di sini?"
Pertanyaannya membuat Shifa kali ini yang mengernyitkan kening. Lalu tatapan wanita itu sepertinya terluka.
"Mas, gak suka ya aku di sini?", ujar Shifa dengan lirih. Hal itu membuat Gani kini menghela nafas. Dia bahkan mengedarkan pandangan ke sekitar kamarnya. Dia memang tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Dia paling sulit untuk mengutarakan apa yang sudah ada di pikirannya.
"Mas, Shifa perlu bicara juga. "Ucapan Shifa membuat Gani kini mengalihkan tatapannya lagi kepada wanita itu. Meski menunduk, lalu tangannya tampak bertaut di atas pangkuan, Ghani bisa mendengar tekat yang kuat.
"Bicaralah!"
Suaranya terdengar seperti memerintah, tapi sebenarnya bukan itu yang ingin dia katakan. Sudah dia bilang, dia memang tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Sifatnya, sejak dulu terlalu pendiam."Mas, terus terang.." Shifa kini menatapnya dengan ragu. Bahkan tangannya semakin bertaut di atas pangkuannya. "Shifa gak mau dijadikan pengganti buat Kirana."
Ucapannya itu membuat Gani merasa kesal. Dia tidak ingin diingatkan lagi tentang Kirana.
"Jangan, sebut namanya lagi."
Gani kini memotong ucapan Shifa. Wanita itu tampak terkejut, tapi kemudian menganggukkan kepala.
"Shifa merasa berutang budi kepada keluarga pak Soni. Shifa bukan dari kalangan kalian, dan kalau mas mau menceraikan Shifa...."
Mendengar ucapan Shifa, seketika itu juga Gani beranjak berdiri. Dia paling tidak suka kalau ada yang menentang apapun yang sudah dilakukannya.
"Kamu bersekongkol dengan Kirana kan? Mau mempermalukan lagi?"
Dia sudah mengira, kenapa ini begitu mudahnya terjadi. Shifa begitu menurut ketika dijadikan pengganti Kirana. Rupanya, ini yang akan dia lakukan. Gani sudah menatap Shifa dengan kesal. Tapi wanita di depannya ini, menggelengkan kepala."Enggak mas... Shifa..."
Gani menghela nafas lagi. Kalau meneruskan percakapan ini dia akan semakin emosi.
"Terserah."
Gani sudah melangkah keluar dari dalam kamar. Semuanya membuat pusing, ini gara-gara Kirana. Harga dirinya terluka karena wanita itu.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BITTER SWEET ICE
RomansaDua hati yang dipertemukan tanpa rencana. Dua hati yang saling menyatu dengan tiba-tiba. Bisakah semuanya berjalan sesuai yang diharapkan? Gani, tidak menyangka akan menikahi seorang wanita yang menjadi pengganti mempelai wanita aslinya. Dia merasa...