19 | Dek, Jangan Lari!

8.6K 608 40
                                    

Mataku berbinar cerah saat Zahira akhirnya bisa menapakkan kakinya dan melangkahkannya sedikit demi sedikit. Enam belas bulan. Di usia enam belas bulan momen itu akhirnya bisa kulihat.

"Mas! Mas!" panggilku heboh.

"Ada apa sih?" Mas Ganjar datang tergopoh-gopoh dari arah kebun belakang rumah.

Hari ini hari Minggu dan dia terbiasa membantu bapaknya di kebun untuk mencari rumput yang dijadikan pakan kambing peliharaan bapak.

"Zahira, Mas. Zahira-"

"Zahira kenapa?" Wajahnya berubah panik.

"Zahira udah bisa jalan." Aku memangku Zahira lalu menggoyang-goyangkan kedua tangan Zahira dengan gerakan bersorak.

"Astagfirullah, kirain ada apa. Bikin panik aja." Mas Ganjar mengelus-elus dadanya. Butir-butir keringat masih tersisa di dahinya. Hari ini memang agak terik. Padahal sudah menjelang sore.

Dan seolah Zahira tahu bahwa ibunya sedang membanggakan keberhasilannya berjalan, bocah bayi itu pun segera beranjak dari pangkuanku dan melangkahkan kakinya pelan-pelan ke arah ayahnya.

"Eh, anak ayah pinter ya udah bisa jalan," puji Mas Ganjar setelah menangkap Zahira dalam pelukannya. Zahira tertawa-tawa bahagia.

Seperti bayi-bayi lain yang selalu "norak" setelah bisa berjalan, Zahira pun ketagihan main jalan-tangkap bersama ayah ibunya. Aku dan Mas Ganjar berjaga berhadap-hadapan dalam jarak tertentu kemudian Zahira akan berjalan menuju salah satu dari kami secara bergantian untuk kami tangkap. Kami bermain seperti itu hingga lima belas menit lamanya di teras rumah.

"Oalah, cucu simbah udah bisa jalan ya?" Bapak mertuaku bersuara ketika melihat Zahira asyik bermain dengan kami.

Zahira pun akhirnya menuju ke mbah kakungnya dengan berjalan. Kami tergelak melihat tingkah polah bocah bayi lucu itu.

"Liat nih girang bener mukanya." Bapak mertuaku menggendong dan menciumi pipi Zahira setelah Zahira berada persis di depannya.

"Mbah." Zahira menepuk-nepuk pipi mbah kakungnya sambil tertawa memperlihatkan deretan giginya yang sudah cukup banyak yang kadang membuatku waswas kala menyusui karena takut kejadian "gigit gemes" tempo hari terjadi lagi meski ternyata tidak terbukti.

"Eh, udah bisa manggil mbah ya?" Bapak mertuaku makin girang mengetahui cucu terkecilnya sudah bisa memanggilnya dengan sebutan yang benar.

"Pipis." Lalu tanpa komando, Zahira pipis di gendongan bapak mertuaku yang mengundang gelak tawa dari kami termasuk Zahira.

Dasar bocah tanpa dosa. Enak-enakan aja pipisin simbahnya, batinku.

"Oalah, mau wadul kalo mau pipis ya? Pinter ya." Alih-alih gusar karena dipipisi, bapak mertuaku justru mengacungkan jempolnya ke arah Zahira. Lalu bapak memberikan Zahira pada suamiku yang kemudian digilir kepadaku untuk diceboki.

Di usianya yang ke-16 bulan Zahira memang sudah mampu menirukan beberapa kosa kata yang sering kuucapkan dan mungkin sudah dia mengerti maknanya. Meski kadang ada kosa kata yang masih tertukar seperti eek untuk BAK dan pipis untuk BAB- yang kadang membuatku bingung- tapi perbendaharaan kata Zahira cukup bagus karena dia mampu menyerap dengan cepat kata-kata yang kuajarkan dan dengan mudah dia tirukan. Dia bahkan sudah hapal sebutan-sebutan untuk orang-orang dalam keluarga. Dia bisa memanggil mbah kepada ibu dan bapak mertuaku, akung-uti kepada ayah ibuku, ayah untuk Mas Ganjar, ibu kepadaku, budhe untuk Mbak Retno dan kedua kakakku Mbak Anjani dan Mbak Ajeng, kakak untuk anak Mbak Ajeng dan mbak untuk anak Mbak Anjani, serta mas untuk dua anak Mbak Retno. Dia juga bisa mengucap sepeda, naik, mam, mik, teh, putih (air putih maksudnya), dadah, dan buba untuk jilbab.

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang