Riko, seorang pemulung dengan baju lusuh penuh keringat. Umurnya masih muda—14 tahun. Namun, hidupnya begitu memprihatinkan. Sebatang kara, tanpa ada seorang pun yang peduli dengannya. Orang tuanya entah dimana, saudara pun ia tidak tahu punya atau tidak. Sehari-hari ia tidur beralaskan kardus bekas di depan ruko. Tak jarang pula, ia diusir oleh pemiliknya, hingga ia kelimpungan mencari tempat lain untuk tidur.
Riko tidak pernah menginjak lantai sekolah untuk menimba ilmu. Hidupnya hanya penuh dengan mencari uang, memenuhi kebutuhannya walau sekadar makan untuk kenyang dan bertahan hidup. Bahkan, ia pernah mencari makanan sisa di tempat sampah untuk mengisi perut akibat rasa perih di perut yang menyakitkan. Baju pun ia hanya punya satu, setelah benar-benar lusuh, bajunya dibuang dan ia membeli satu baju baru di pasar.
Seringkali Riko menahan tangisnya hingga dadanya sesak dan matanya perih. Namun, ia menguatkan dirinya sendiri dengan mengembangkan senyum palsu. Pernah saat ia mengamen di lampu merah, ada seorang pengendara mobil yang bertanya, ingin tahu soal hidup Riko. Namun, ia hanya tersenyum dan beranjak pergi, tanpa menjawab satu kata pun.
Terkadang Riko memang mengamen saat malam. Alih-alih untuk mencari uang, ia juga ingin menghibur diri dengan riuh suara kendaraan bermotor dan mendengar riuh tawa orang-orang.
"Bu, kayak biasanya," ucap Riko pada ibu yang berjualan di warung biasa ia makan. Setelah dapat yang ia mau, Riko duduk dan menyantap pesanannya hingga tandas. Bahkan satu butir nasi pun tidak tersisa. Setelah perutnya kenyang, ia pun mengeluarkan uang lima ribu untuk dibayarkan.
"Bu, boleh numpang ke toilet? Dimana ya, Bu?" tanya Riko yang mendapatkan tatapan sinis dari ibu tersebut.
"Gak ada toilet, disini. Mending kamu pergi aja." Riko menurut. Sebenarnya, ia hanya ingin menumpang mandi, uang hasil mulungnya hari ini tidak cukup banyak. Hanya dua belas ribu, untuk makan siang dan malam.
Sayang juga kalau harus ke toilet pom bensin. Dua ribu bisa ditabung untuk menyewa kamar kos. Ia kadang merasa lelah tidur bersama dinginnya udara juga amukan pemilik ruko. Tapi, ia tetap melakukan itu. Toh, tidak ada hal lain yang dapat ia lakukan selain itu.
Selama ini, ia terlalu boros, sering naik angkot keliling kota, menyegarkan otak, pikirnya. Selain itu, kadang-kadang Riko juga makan dengan lauk yang lumayan enak. Jadi, tidak ada sisa uang untuk ditabung. Hingga lelahnya datang dan mengharuskan Riko untuk berhemat.
Malam ini, sebenarnya Riko merasa sangat ngantuk. Namun, ia ingin menabung untuk bisa menyewa kamar kos. Jadi, ia memaksakan tubuhnya untuk mengamen. Tanpa alat tentunya, hanya berbekal suara yang merdu. Riko mengintip satu per satu mobil yang berjajar di lampu merah sambil meloloskan suaranya. Hingga terkadang uang recehan ia dapatkan sebagai imbalan.
Sebenarnya mengamen lebih menghasilkan banyak uang daripada mulung. Namun, takut juga dengan pengamen senior yang suka marah-marah di siang hari. Jadilah, Riko memilih mulung, yang penting ia bisa makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minority Life [ON HOLD]
Short Story[Minoritas] Hidup hanya sebatang kara, tanpa keluarga dan tanpa kerabat. Bingung cara untuk bertahan hidup, hingga segala cara ia lakukan sekuat tenaga. Intinya, dia kuat. Dia punya keinginan yang kokoh untuk selalu bertahan melewati semua ujian hid...