Bingkai foto di ruang tamu rumah Jeri menjadi fokus Riko saat ini. Potret keluarga lengkap plus bahagia tampak di sana, keluarga yang begitu Riko dambakan. Kehangatan yang tampak, membuat Riko merasakan iri. Membuat Riko merasakan ingin memiliki orang tua, dan bisa hidup bahagia. Hingga mata Riko memanas, menahan air matanya agar tidak jatuh walau setetes.
Senyuman indah menggantikan sedih yang masih bersarang. Senyum indah palsu, yang tidak pernah pudar dari wajah tampan juga lusuh milik Riko.
"Kenapa berhenti di sini? Kan tadi gue udah bilang, masuk dulu. Terus bilang ke asisten rumah tangga gue, namanya Mbak Yani. Tanya ke dia letak kamar, lo. Eh, malah di ruang tamu aja, senyum-senyum sendiri pula, kayak orang gila," kata Jeri setelah memarkirkan mobilnya.
"Pas masuk, sepi. Kayak nggak ada orang. Mau ke dalam, takut khilaf buat ngambil barang berharga, takut tersesat juga."
"Ya udah, gue aja yang nganterin lo ke kamar. Hari ini gak usah kerja dulu. Lo masih sakit. Besok baru mulai kerja."
Kamar kosong samping ruang pribadi Jeri di lantai dua menjadi tujuan mereka. Kamar yang dulunya disiapkan untuk anak kedua di keluarga Jeri, tetapi tak pernah nyata adanya.
Adik untuk Jeri hanya angan belaka dan hal itu tidak pernah terjadi. Saat program hamil anak kedua, mama Jeri tiba-tiba divonis memiliki penyakit kanker rahim. Yang mengakibatkan rahimnya harus diangkat. Hingga mereka harus mengubur keinginannya untuk memiliki anak kedua.
Sebenarnya kamar tukang kebun sudah disediakan di lantai bawah. Tepatnya ada di sebelah ruang cuci baju. Namun, Jeri tidak memberikan Riko kamar itu. Bukan kasihan, dia hanya ingin berbagi kenyamanan. Apalagi selama ini Riko tidak pernah tidur beralaskan kasur yang empuk.
Bagi Jeri, selagi bisa berbagi, maka lakukan. Jangan malah membuang kesempatan itu, sebab ada beberapa orang yang membutuhkan bantuan, dan ada juga orang yang memiliki rezeki berlebih. Manusia hidup saling melengkapi, tidak malah merasa menang sendiri dan sok berkuasa.
"Kasurnya empuk, kan? Gue mah kalau ngomong gak pernah bohong," ucap Jeri dengan nada sombong.
"Ada kamar yang lebih sederhana, kak? Gede banget ini, mana ada kamar mandinya lagi. Kalau tiba-tiba ada setan nongol dari kamar mandi gimana? Aku penakut, lho."
"Kamu tidur di emperan ruko aja gak takut, kenapa di tempat nyaman kayak gini malah takut. Setan ada gak untuk ditakutin, tapi untuk ditakut-takuti."
"Beda, di depan ruko, banyak lalu lalang kendaraan. Disini nggak ada, sepi banget."
"Ya udah ntar malem gue temenin tidur, tapi jangan banyak gerak, gue gak mau ketiban badan kurus lo. Takut badan gue ketusuk tulang," jawab Jeri yang dibalas kekehan hambar oleh Riko.
Riko kembali diam, mengisi pikirannya dengan kehangatan keluarga. Ia berada di rumah Jeri sebatas bekerja, tidak lebih. Namun, Riko sungguh tidak tahu malu, ia juga berharap untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tua Jeri. Orang asing yang akan ia kenal. Orang asing yang akan memberinya upah sebagai tukang kebun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minority Life [ON HOLD]
Storie brevi[Minoritas] Hidup hanya sebatang kara, tanpa keluarga dan tanpa kerabat. Bingung cara untuk bertahan hidup, hingga segala cara ia lakukan sekuat tenaga. Intinya, dia kuat. Dia punya keinginan yang kokoh untuk selalu bertahan melewati semua ujian hid...