Raga tanpa Jiwa

1.7K 67 6
                                    

Sendiri dikeramaian, diam di keributan, hening di kebisingan.
Kesunyian menamparku, lebam biru membekas dipipiku.
Aku berdiri tanpa kaki, bayangan berlari menjauh tanpa perduli.
Gelapnya rindu menyelimuti, seakan tak membiarkan aku bertemu.

Persetan dengan itu.
Kubiarkan mengalir rasa rindu, dengan harapan bermuara di keindahan dirimu.
Ku jaga intuisi, agar tak ada curiga dan pilu dalam sanubari, sembari aku menapak hari.

Namun, semesta bermaksud lain.
Tanpa sengaja, mesin waktu membawaku melihat suatu hal yang abstrak.
Merasuki tubuh dan berupaya memisahkan jiwa dari raga.

Apa? Apa ini?
Terang, namun bukan cahaya.
Membakar hati dengan panasnya.
Tajam, namun bukan pisau.
Merobek hati dengan bilahnya.

Aku tersentak merasakan sakit tak berdarah.
Darahku mendidih, susunan sarafku tak lagi rapih, dan detak jantungku perlahan berhenti.
Darahku tak lagi mengalir di arteri, melainkan berlinang di kulit mati.
Darahku tak lagi beredar, melainkan bercucuran hingga habis tak tersisa.
Darahku tak lagi merah, hemoglobin hilang dan menyisakan hidup yang tak berwarna.

Pantas.
Pantas mataku berhenti melihat, bibirku berhenti bicara, dan telingaku berhenti mendengar.
Mulutku disumbat perasaan tak karuan dan suaraku dilenyapkan harapan sebatas angan.

Pahitnya kenyataan harus kutelan di pangkal lidah terdalam dengan jelas.
Kini semua hancurlah sudah, hingga garis masa pun hadir tanpa suara.
Maka bukan tanpa alasan, umurku usai seraya membisikkan,

Aku tiada.

Pekanbaru, 2020

Puitis - Estetika Dalam BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang