11. Alasan

23.8K 3.9K 188
                                    

Aku memperhatikan Si Kere yang tengah ngos-ngosan. Entah bagaimana cara dia bisa masuk rumah ini. Pintunya kan pakai gerbang otomatis, pun juga ada satpam dan pelayan yang bersiap menghadang.

Kayaknya dia pakai ajian menghilang pas lagi sayang-sayangnya, deh.

Kan jago banget tuh bocah mainin anak gadis orang. Ya kali kan bisa buat masuk ke sini tanpa ketahuan.

Eh, tapi kalau diinget-inget lagi, pernah juga dia jadi maling di komplek sebelah rumah. Sampe aku marahin dia buat tobat. Kan nggak berkah ya rezeki hasil mencuri itu.  Sesusah apa pun kita, harus mencari uang dengan cara halal. Biar jadi daging, bukan dosa. Dan syukur Kere mau denger. Kayaknya dia pakai kemampuan maling profesionalnya juga buat ke sini.

Nih anak emang nekat!

"Tunggu!" Dia menghampiri kami, lebih tepatnya aku yang tengah berdiri melongo saking kagetnya. "Nam, mana?"

"Hah?"

"Siniin deh kontraknya!"

Kalau dalam situasi biasa nih, aku bakalan geplak kepala Si Kere, tapi berhubung aku dalam mode bego bego imut. Jadinya ya pasrah aja kertas yang aku bawa direbut sama dia.

Kere membaca kertas itu, alisnya menukik, dahinya mengerut, tangannya menggenggam dengan erat. "Apaan-apaan, nih?"

Ini dia nggak bentak aku lho, ya. Kere melempar kertas itu ke meja Raja.

Eh, omegod, astaga, astagfirullah. Ini malah lebih parah. Si bocah kampret kesambet setan apa? Bisa kabur pundi-pundi uangku.

"Re!" Aku menyergahnya, dan bukannya takut tuh anak malah natap balik aku, mana nyeremin banget lagi. Jadi takut kan.

"Lo diem dulu. Duduk."

Dan bodonya, aku nurut dong. Duduk cantik deh sambil jadi penonton. Tinggal bawa popcorn kalau bisa. Lihat bergantian reaksi Si Kere sama Tuan Raja Yang Terhormat. Beda sama Kere yang udah dalam mode sangar. Nih jutawan---atau milyarwan, ya?---kalem-kalem aja.

"Jelasin! Kemarin katanya kalian cari pembantu, makanya gue rekomen Nama. Kenapa malah jadi kayak begini."

"Tenang, dulu." Pak Dahlan buka suara.

"Nggak bisa. Nggak ada aturan kayak begini."

"Duduk!" tegas Pak Dahlan, nggak kalah galaknya.

Ya Allah, kenapa orang-orang di sini kerasukan setan semua. Cuma Nama yang waras. Iya, tumben banget otakku jalan dengan benar hari ini.

"Kami cuma bilang, kami akan mengajukan sebuah pekerjaan menjanjikan. Tidak pernah berkata mencari pembantu."

"Lalu kenapa milih Nama? Kenapa nggak cewek lain aja. Banyak yang lebih cantik dan nggak bego kayak dia."

Eh, buju buneng! Ini bocah minta ditampol apa, yak? Aku masih di sini, woy! Pake ngatain bego lagi.

"Untuk masalah itu biar menjadi urusan internal kami."

"Nggak bisa, nggak bisa."

"Kamu---" Suara Pak Dahlan berhenti saat Raja mengodenya dengan tangan. Widih, bisa ya Pak Dahlan langsung kicep, kayak ada tombol on-off-nya gitu.

"Baik, saya jelaskan. Silakan duduk dulu." Raja nih ngomongnya kalem tapi tegas gitu. Bikin makin kesengsem, deh. Eh, Nama! Inget isi kontrak, woy! Jangan baper!

"Sepertinya Nama juga berhak tahu kenapa saya memilihnya."

Aku mendongak menatap Raja yang ternyata juga melihatku. Kami jadi tatap-tatapan. Moga aja dari mata turun ke hati, nih. Please, kamu aja yang baper ya, Raja. Jangan aku.

WANITA SATU JUTA DOLLARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang