1. Penglihatan Pertama

28 1 0
                                    

"Tahun baru merupakan hal yang kuharapkan jadi penuh suka cita." –Giovani.

Di mulai dari awal Januari 2017 , orang-orang belahan dunia berharap dan berkeinginan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berbagai resolusi berhasrat dalam interes agar bisa terwujud. Termasuk aku ikut andil mewujudkan putusan tahun lalu di tahun ini.

Tak ada perbedaan berarti dari tahun kemarin. Seperti biasa yang sudah kulalui, selalu sendiri. Oh, mungkin tidak terlalu sendiri selain ditemani bunyi hujan, wangi embun yang bicara tentang kesunyian.

Perbedaannya hanya dua, tak ada pengulangan babak belur di rumah dan perdana merayakan di desa, diteras rumah Mbok.

Kau tak perlu heran denganku, kesunyian sudah jadi makanan sehari-hari sejak aku remaja. Ayolah, semua orang punya pilihan untuk menjalani hari-harinya. Kenapa orang-orang lain itu selalu terobsesi mengubah orang lainnya jadi "normal" dengan kebenaran absolut versi keyakinan mereka? Padahal kebenaran absolut itu tidak terikat dengan keyakinan mana pun 'kan?"

Baiklah aku akan memulai ceritanya,

Bulan Desember 2015 aku memutuskan angkat kaki dari Jakarta, dari rumah lama neraka sejak kepergian ibu tiriku.
Aku tahu kau mungkin penasaran apa sebabnya aku bisa kabur tanpa diketahui Ayah pada awalnya 'kan? Sabar dulu... aku akan menceritakannya sebentar lagi.

Kau tak usah menghakimi pihak aku atau pun ayahku. Siapa yang salah dan yang benar itu tidak ada. Semua mempunyai prinsip masing-masing serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri. Hanya berupa pilihan, tetap tinggal dengan segala duka atau pergi membawa duka tapi berakhir bahagia? Jelas saja, aku akan lebih memilih pilihan nomer dua.

Sudah kubilang jangan menghakimi aku atau ayahku. Ayahku cuma keras dan didikannya merupakan didikan zaman lampau dengan kekerasan sehingga tak cocok untuk kami sebagai anak-anaknya yang hidup di masa sekarang. Bukan cuma aku, kakak, adik hingga mendiang ibu kandung dan tiri.

Kalian berpikir aku pasti keras kepala dan pembangkang. Iya 'kan?

Aku memang keras kepala dan pembangkang. Aku hanya mempertahankan pilihan mana yang terbaik untukku. Maaf, aku tidak senegatif dan semurahan kalian pikir. Aku bukan wanita jalang yang selalu tidur bersama laki-laki di luar sana sejak pergi dari rumah.

Aku sudah mengalami kasus perkosaan dan pelecehan sewaktu SMA. Jika kalian berpikir akulah yang penggoda, maaf salah besar! Justru aku semakin takut dengan laki-laki terkecuali orang itu benar-benar dekat. Seperti kakak tiri dan kandung misalnya.

Kamu... iya kamu di luar sana, tak usah berkata kasar dengan hal kualami. Tak usah membawa keyakinan dan asumsi bahwa setelah ini aku akan meneruskan kebiasaan seks bebas dengan merayu semua laki-laki termasuk dirimu kelak.

Suatu hari kau akan bertemu denganku. Bisa menjadi teman atau malah berpisah cuma karena asumsimu semata. Lagu lama spotify eror. Kalimat yang akan kukatakan jika suatu hari kau kelak memilih untuk berpisah berdasarkan asumsi pikiranmu.

Rasanya begitu campur aduk ketika aku hidup nomaden[1] dari satu daerah ke daerah lain. Bertahan sebagai pekerja di beberapa koloni. Mengadu nasib menjadi penulis naskah tetap sebuah studio seni dan pembaca kartu Tarot di kota pelajar, DI Yogyakarta bulan Juli 2016.

Pepatah lama berkata, tak ada jalan mulus untuk sukses. Keadaan ini benar-benar memaksaku untuk kembali ke Tokyo selama beberapa hari pada pertengahan bulan Juli guna membantu bibi mengurus Karisma, kakak tiriku. Saat itu dia ambruk di rumah sakit.

Masa depan tetap menjadi misteri meski satu menit yang akan datang. Bisa saja katastrofe[2] terjadi tanpa diduga. Aku benar-benar mengalaminya di akhir Juli 2016.

My Dear Norlorn!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang