6. One Night Stand

21 0 0
                                    



"Kita akan bersama sampai semua menjadi kebahagiaan." ujaran dia berkumandang. Perkataan dia terlampau merunjam perasaan. Elusan yad dia di sirah membentuk rasa aman. Terbias ada rasa waswas kehilangan Norlorn.

Namun, tidak mungkin Norlorn bersamaku selamanya. Mata berupaya untuk berpalis namun saraf tak simultan. Memilih tetap memandang iris mata Norlorn. Aku merapat lebih dekat. Kiranya diri ini sudah terselap bagaimana mereguk dekapan?

"Aku memahami, Nona." kata Norlorn.

Apa iya? Masih ragu oleh ucapan dia padaku tadi.

"Nona belum percaya padaku?" Pertanyaan dia menggerendel pikiran.

Aku menggeleng. Aku bermaksud memutuskan perbincangan tapi tidak bisa. Hati menetapkan ingin berhubungan. Pretensi lengkara kuharapkan. Lebih-lebih lagi, kami bertentangan makrokosmos dan faset. Apa benar, mayoritas makhluk tak kasat mata itu licik? Jika iya, bagaimana dengan penulis sekaligus praktisi paranormal seperti Risa Saraswati dan aktris, Sara Wijayanto bersama "teman-teman" mereka? Tumbuh bersama bahkan terlihat maju.

"Maaf,"

"Aku mengerti, karena baru malam ini kita berbincang lebih lanjut." ujar Norlorn.
"Bukan belum percaya, aku perlu waktu." elakku.
"Baik. Aku tunggu sampai kau siap, Nona." Norlorn tersenyum, sembari memperlihatkan barisan geraham bersih dia.

Ada panorama memikat pada sela gigi, menyembul selarap caling mungil di bagian kanan dan kiri. Gigi taring itu mencelikkan pada sebagian teman laki-laki Karisma di Jepang, nyaris seluruhnya mempunyai caling. Ibarat keturunan vampir.

Berdasarkan kabar, gigi gading merupakan salah satu standar kecantikan Jepang. Desas-desusnya, gigi sangir membuat penampilan lebih memukau. Memang benar saat aku melihat Norlorn dia tambah menawan selagi mengunjukkan gigi. Aku termangu sampai—

Anak jari Norlorn mengejutiku, "Apa yang kau pikirkan, Nona?" Kebingungan terdengar di pertanyaan dia.

Aku tersenyum sambil menggeleng.

"Yakin tidak memikirkan apapun?"
"Aku bersumpah,"

Dia meneroka mataku dalam memeriksa ingatan. Beberapa detik setelahnya, pupil dia menyempit.
Kemudian, Norlorn tersenyum seiring corak ahmar di pipi. Ekspresi dia berubah haluan laksana roller coaster.

"Aku percaya padamu, Nona." cetus dia.

Syukurlah Norlorn percaya. Dia tidak mengerti giginya interesan. Bibirku melengung ke bawah mencairkan suasana. Gerak nyarik jarum jam dinding mengusik kelengangan. Hanya ada mata baku pandang satu sama lain.

"Nona..."

Sebuah pembukaan terdengar dari mulut Norlorn. Tidak menyangka, materi obrolan serasa timbul lagi. Batas perbedaan seakan hilang, hanya ada dua makhluk berbeda dimensi sama-sama pasif.

"Menarik,"
"Apa?"
"Rahasia." Lidah terjulur menggoda.
"Huh...."

Aku tahu dia ikut penasaran dengan kata menarik ku bilang selintas.

"Ada apa?"
"Katakan padaku Nona, apa yang menarik?"
"Penasaran ya?"

Norlorn menyomasi dengan memajukan bibir. Aku mesem seraya bersuara, "Aku perlu bilang?"

"Katakan padaku sekarang, Nona!"
"Baiklah. Aku mau bilang senyumanmu menarik." ucapku.
"Menarik?" Norlorn terpegun.

"Kamu mau tahu, kenapa senyumanmu menarik?"
"Aku ingin tahu,"
"Karena taring kecil milikmu,"
"Aku tidak mengerti...." Dia menggeleng.
"Sebentar..."

My Dear Norlorn!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang