Empat

251 37 2
                                    

Assalamualaikum.
Sebelum kita lanjutin bab 4 nya aku mau ucapin makasih buat siapapun yang udah baca cinta untuk ayah sampai bab ini, walaupun ini cerita baru dengan rentan yang lumayan jauh dari cerita sebelumnya. Tapi semoga feel-nya bisa kali dapatin dan kalian suka sama cerita ini.
Tetap #dirumahaja dan nikmatin cerita-cerita di wattpad 👌

🌷🌷🌷

Cinta Untuk Ayah 04

***

Seminggu sebelumnya....

Tepat pukul empat pagi, seperti biasa Afiya langsung bangun saat alarm ponselnya berbunyi. Dia beranjak mematikan alarm lalu merubah posisinya menjadi duduk, berusaha mengumpulkan setengah kesadarannya yang belum pulih. Tak lama ia beranjak mengambil wudhu untuk sholat tahajud dan kemudian dilanjutkan dengan membaca Al- Quran sambil menunggu waktu subuh. Keadaan seperti inilah yang selalu Afiya rindukan setiap bangun pagi.

Selesainya melaksanakan sholat dan membaca Al Qur'an, Afiya melipat mukena serta sajadahnya dan kemudian meletakkannya ke atas meja belajar. Hal tersebut merupakan hal yang selalu rutin Afiya lakukan sejak masuk asrama, karena Almarhumah ibunya selalu berpesan untuk selalu menyempatkan membaca Al Qur'an setelah sholat.

Pesan yang sama pun telah disampaikan Rasulullah Muhammad SAW kepada umat Islam agar rutin membaca Alquran. "Bacalah Alquran karena kelak ia akan memberikan syafa'at kepada orang yang membacanya." (HR. Muslim)

Tak sengaja pandangannya tiba-tiba tertuju pada ijazah dan beberapa surat penting lainnya yang ada atas meja. Afiya menghembuskan napas kasar, memandanginya.

"Harus berapa rumah sakit lagi, yang harus aku kirim lamaran. Padahal udah banyak rumah sakit yang aku kirim, tapi ngga ada satu pun balasannya." Gumam Afiya kecewa.

Afiya tak pernah membayangkan akan sesulit ini mencari pekerjaan. Dia pikir setelah lulus beberapa bulan lalu dari salah satu sekolah kesehatan di Jogja akan mudah untuknya mendapat pekerjaan. Memang setelah lulus, Afiya tidak langsung melamar pekerjaan karena ia harus merawat sang ibu yang sakit. Hingga baru kali inilah Afiya benar-benar mengirim lamaran, mempergunakan ijazah yang dimilikinya.

Afiya langsung mengambil kerudung instannya untuk turun kebawah dan menghampiri bi Inah. Sudah beberapa hari Afiya tinggal di rumah Nisa, Afiya hapal apa yang biasa dilakukan Bi Inah di dapur pagi-pagi. Ya, tebakannya tepat. Bi Inah tengah memasak dan menyiapkan sarapan untuk majikannya itu.

"Assalamualaikum, pagi bi." Sapa Afiya pada bi Inah yang terlihat sibuk di dapur dengan berbagai macam bahan dapur diatas meja.

"Eh non, walaikumsalam.." Bi Inah terperanjat melihat kedatangan Afiya di dapur. "Ada perlu bibi bantu non? Non butuh apa, bilang aja?" Bi Inah menghentikan kegiatannya.

"Nggak kok. Afiya ngga butuh apa-apa," Afiya menggeleng cepat.

"Terus non kesini teh, mau apa?" Tanya Bi Inah dengan logat sundanya.

"Afiya mau bantu bibi," Afiya mengutarakan niatnya datang ke dapur. Bukanlah hal sulit untuknya, apa yang dilakukannya sama seperti waktu almarhumah ibunya masih ada.

Dulu setiap ia pulang dari asrama, setelah subuh Afiya tak pernah tidur lagi. Dia langsung membantu mengerjakan pekerjaan rumah, tidak jarang pula ia membantu ibunya memasak untuk kemudian dijual di kios kecil depan rumah.

"Jangan ahh, biar bibi aja. Nanti kalau Bunda tau, Bunda bisa marah non. Non ini kan tamunya Bunda." Jelas Bi Inah yang secara jelas menolak bantuan Afiya.

"Ngga apa-apa kok bi, biar nanti Fiya yang ngomong sama Bu Nisa. Lagian ini kan kemauan Fiya bi," bujuk Afiya.

"Yaudah atuh, kalau itu maunya non." Ucap Bi Inah pasrah.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang