tap the music, it will be better!
Ini sama, namun berbeda. Aku dan Yeonjun, the guy who makes me smile everyday, dengan dunia yang senyap. Hanya suara mesin mobilnya yang masuk ke telingaku.
"Sepi, aku nyalain radio ya?" tanyaku. Hanya anggukan yang kuterima dari lelaki di sebelahku.
Aku menghembuskan napas kasar tanda bosan. Yeonjun melirikku dengan bingung, seperti ada yang ingin ia katakan. Tatapan mataku dan dia bertemu.
"Apa?" tanyaku.
"Laper?" tanyanya dengan wajah datar. Aku menggelengkan kepala untuk mengisyaratkan tidak.
Aku membalikkan arah pandanganku ke jendela, agar tak melihat wajahnya lagi. Aku selalu ingin menangis melihatnya saat ini. Padahal sebelumnya, aku selalu berpikir untuk selalu memastikan bahwa dia ada di pandanganku, selamanya.
Mobil tiba-tiba berhenti. Aku terkejut dan otomatis kembali memalikkan muka ke arah sang pengemudi, Yeonjun. Aku tak bicara apa-apa, hanya kernyitan dahi yang kuberi padanya.
"Tunggu di sini," tuturnya tanpa memberi penjelasan lagi. Ia keluar dari mobil dan meninggalkanku sendiri.
Aku hanya bisa mengutuk dirinya dalam hati. Bilang mau ke mana apa susahnya sih?
Beberapa menit berlalu. Ia kembali dengan kantung plastikㅡyang berisi makananㅡdi tangan kanannya. Setelah menutup pintu mobil, ia memberi makanannya padaku.
"Makan sendiri di rumah, maaf."
Rindu. Rindu dia dengan kelembutannya. Aku tak ingin melihatnya dengan kondisi seperti ini. Dingin, melihatku tanpa rasa.
"Makasih," jawabku.
Yeonjun kembali menyalakan mesin mobilnya. Sunyi kembali datang menghantui. Aku benci seperti ini. Tapi dunia mengatakan, memang harus seperti ini keadaannya. Bukan saatnya kukeluarkan egoku sekarang. Aku hanya bisa diam, menjalani takdir yang sudah ditentukan.
•••
"Bangun."
Mataku terbuka, dengan aku yang belum sadar sepenuhnya. Dengan sekuat tenaga, aku bangkit dari sandaran mobil dan melihat sekeliling. Dan sampailah aku di titik ituㅡtitik yang membuat dahiku berkenyit.
"Mata kamu, kenapa?" tanyaku. Mata Yeonjun merah, seperti habis menangis.
Yeonjun hanya menggelengkan kepala. "Udah sana."
Aku tahu jelas jika Yeonjun menangis, pasti ada bekas di matanya. Mata dan hidungnya merah. Ini sama persis.
"K-kamu nangis?" tanyaku terbata-bata.
Tak ada jawaban sama sekali. Aku berusaha tak peduli tentang itu. Aku membuka pintu mobil dengan berat hati. Tak ada salam perpisahan apapun dariku, apalagi darinya.
Baru saja aku hampir melangkahkan satu kakiku ke aspal, tangan Yeonjun menarik tanganku.
Aku terjatuh ke dalam pelukannya. Ini yang kubutuhkan sejak tadi. Tangannya yang dingin terkena ac, memelukku dengan erat. Detak jantungnya yang begitu cepat terdengar jelas olehku. Aku tak kuasa menahan tangis.
Lama-kelamaan, aku merasakan, baju bagian belakangku basah. Yeonjun, yang selalu tersenyum ketika bersamaku, ternyata bisa mengeluarkan titik terlemahnya di depanku. Ia ikut menangis, lalu mengusap rambutku lembut.
Seminggu menuju hari itu. Hari di mana aku tak akan mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi dengannya.
Yeonjun dengan penjodohannya. Sebuah perkara yang kuharap hanya mimpi. Tapi bagaimana lagi? Tuhan sudah berkehendak. Semuanya tak bisa diubah begitu saja. Ini jalan terbaik untukku, begitupun untuknya.
Aku melepaskan pelukan darinya. Aku tahu, jika aku lanjutkan, ini bisa lebih sulit untukku untuk melupakannya. Kita saling bertatapan dengan senyum yang terukirㅡsenyum paksa, untuk mengisyaratkan kita akan bahagia, walau tak bersama.
"I love you, for the last second."
Last, end.
KAMU SEDANG MEMBACA
destiny ㅡ; txt
Fanfiction-; [an au//oneshoot] everybody felt lonely, unhappy, confuse, and mirthless. that's a normal thing. hanya kepasrahan yang harus kita lakukan untuk semua ini. "semua" yang biasa kita sebutㅡdestiny. ©phewlusboo, 2020.