tap the music, okay?
Love isn't wrong. Tapi jika melibatkanku dengannya, itu salah besar. Hal klasik yang tak pernah kuduga akan terjadi padaku. Aku benci ketika pikiran ini muncul dan menghantuiku, terlebih jika sedang bersamanya.
"Mana mulutnya? Aaaaa!" ucap Beomgyu dengan mulutnya yang terbuka lebar dan hendak menyuapiku, tapi akhirnya memasukkan suapan itu ke mulutnya sendiri.
Teokbokki resto. Di sinilah aku. Bersama seorang lelaki yang sedikit gila, menurutku. Lihat saja, dia sekarang sedang tertawa sendiri melihatku dengan mulutnya yang penuh itu.
"Bisa diem nggak sih?" tanyaku kesal.
Beomgyu terkekeh melihatku marah. Dia tahu, rasa maluku lebih besar daripada rasa amarah. Dia senang menggodaku agar terus emosi. Memang bangsat.
"Galak banget kaya kalajengking," ocehnya. Aku hanya bisa memutar bola mata tanda sudah lelah menahan rasa emosi. Tapi apa boleh buat, di sini mungkin aku yang lebih bodoh, mau saja bersama dengan orang bodoh sepertinya.
Beberapa menit setelahnya, kita selesai makan malam. Aku menyandarkan kepalaku ke kursi yang didudukiku, karena pegal setelah makan dengan posisi duduk tegak.
"Nggak mau ke sini aja?" Beomgyu menepuk pundaknya sendiri.
Modus, batinku.
Beomgyu menyimpan kepalaku di pundaknya tak lama setelah ia menghembuskan napas kasar. Aku? Hanya bisa menerima tanpa berkata apa-apa. "Lebih enak kan?"
Aku tak menjawab apapun, lebih memilih untuk memejamkan mata untuk menikmati suasana ini. Tapi sial, yang datang ke pikiranku hanyalah masalah iniㅡmasalah yang membuat tanganku saat ini terkepal kuat.
"Gyu?" Aku memberanikan diri untuk membicarakan ini, lagi. Karena setiap kuungkit, ia selalu bungkam. Tapi bagaimanapun, aku harus kembali angkat bicara.
"Hm?" jawabnya.
Aku menelan ludah paksa, bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi setelah aku mengeluarkan 3 kata ini.
"Mau sampai kapan?" tanyaku, dengan sedikit ragu.
"Jangan bahas itu dulu," jawabnya dengan nada datar, berbeda dengan sebelumnya, sangat sesuai sengan dugaanku sebelumnya.
"Kita nggak bisa cari aman aja, Gyu," tuturku selembut mungkin. "Kita harus cari jalan keluar," lanjutku.
Beomgyu membenarkan posisinya dan aku otomatis melepaskan kepalaku dari pundaknya.
"Aku nggak mau kita cuma nikmatin ini, kabur dari masalah yang harusnya kita pikirin dari dulu, aku stress setiapㅡ"
"Jalan keluarnya cuma satu," ujarnya memotong pembicaraanku. Kini, aku yang bungkam. Aku tahu jelas apa yang dia maksud jalan keluar itu.
Beomgyu melanjutkan perkataannya, "Kita udah salah dari awal. Kita emang nggak mikir ke depannya bakal sesusah apa. Kalo kamu siap, aku bakal usaha buat keluar dari masalah ini."
Aku menundukkan kepalaku. Hatiku, sedang tak baik saat iniㅡralat, sangat tidak baik. Beomgyu berusaha menenangkanku dengan mengusap rambutku pelan, walaupun ia tahu, itu tak akan mengubah nasib mereka untuk ke depannya.
Hening. Aku tak berani untuk berbicara lagi.
"Maaf," tutur Beomgyu dengan susah payah. "Aku yang salah dari awal."
Batas antara aku dengannya. Bukan tentang jarak, tapi lebih jauh lagi. Perbedaan yang tak akan menyatu, layaknya air dan minyak. Saling mendoakan, tapi tak akan bisa disatukan.
Tuhan memang satu, tapi kita yang berbeda.
Aku kembali dengan lamunanku. Entah apa yang harus kulontarkan sekarang. Rasa sesak terus muncul tanpa henti.
Tak lama setelah itu, Beomgyu memalikkan mukanya ke arahku dan memintaku untuk bertatap muka dengannya, aku menurut.
Wajah yang akan aku rindukan ini berada tepat di depanku. Wajah menjengkelkan, namun sukses membuat detak jantungku berdegup kencang.
Kita maya, kita fana. Kita memaksa untuk ada. Tapi nyatanya? Kita hanyalah ilusi semata.
"So let's just break up?"
a mistake, end.

KAMU SEDANG MEMBACA
destiny ㅡ; txt
Fanfiction-; [an au//oneshoot] everybody felt lonely, unhappy, confuse, and mirthless. that's a normal thing. hanya kepasrahan yang harus kita lakukan untuk semua ini. "semua" yang biasa kita sebutㅡdestiny. ©phewlusboo, 2020.