Tap the music on top!
"Kau tunggu di luar, aku masih mengajar," ucap Soobin padaku lewat telepon.
"Semangat!" jawabku dengan tangan yang kuangkat dan kukepal, walaupun tak akan terlihat olehnya. "Aku sudah ada jawaban," ucapku lirih.
"A-apa?"
Soobin, tiga hari kemarin ia baru saja mengutarakan perasaannya padaku, dengan cara yang bisa dibilangㅡaneh? Ia memberiku satu butir telur yang dibungkus dengan kain bermotif kotak-kotak. Ketika kubuka, ada tulisan dengan pena merah di telur itu.
'be mine?'
Konyol, bukan? Aku tak bisa berpikir bagaimana jalan kerja otaknya saat itu, aish, sudahlah.
"Aku tutup teleponnya, selamat mengajar!" ucapku yang tak lama diikuti oleh kekehan. Aku tahu jelas, ia sedang kebingungan sekarang.
Aku duduk di bangku dekat pintu masuk sekolah, dengan earphone yang terpasang di telingaku. Tiba-tiba, ada seorang siswi SD yang mendekatiku.
"Kak?" panggilnya. Aku frontal membuka earphoneku dan menggubrisnya, "ada apa?"
Anak itu tersenyum dengan mata yang ikut tersenyum juga. Lalu bertanya, "kakak tunggu seseorang?"
"Kau tahu Soobin? Aku sedang menunggunya," tuturku lembut.
"Ah kakak itu. Kalianㅡpacaran?" tanyanya yang membuatku sedikit terkejut.
"Kau bahkan sudah tahu apa itu pacar, ckck," lontarku. Alih-alih menjawab, aku justru bertanya kembali, "bagaimana Kak Soobin di sini? Apa kamu suka?"
Dia menjawab dengan antusias. "Dia sangat baik, setiap orang yang bisa menjawab pertanyaannya, selalu diberi coklat, aku suka!" ucapnya. "Tapiㅡia sering sekali tersenyum sendiri, aku dan teman-temanku tak tahu apa penyebab ia tersenyum, apakah dia gila?" lanjutnya.
Astaga, lucu sekali, batinku sembari terkekeh. "Tidak, dia tidak gila, hanyaㅡsedikit gila."
Anak itu tertawa bersamaku.
"Ah benar juga, kau kenapa tidak masuk ke kelas?" tanyaku.
"Tak ada guru di kelasku, jadi aku ke sini," celotehnya lancar. "Temanku sedang jajan di kantin."
Belum aku mengiyakan, tiba-tiba ada suara dari gedung sekolah. Ituㅡtanda kebakaran. Tidak, aku tak bisa asal percaya. Semoga hanya kesalahan dan ketidaksengajaan.
Bagaimanapun, aku tetap panik. Seandainya ini benar, aku hanya ingin tak ada korban. I wish.
Tapi sial, lama-kelamaan banyak orang yang berlarian keluar gedung. Tandanya, ini benar.
Ini terjadi lagi. Aku sudah cukup geram dengannya. Api, hal yang paling kubenci. Karenanya, keluargaku telah pergi, dan tak akan pernah kembali. Aku tak akan membiarkan ini akan seperti dulu.
Aku berhenti dengan lamunanku. Aku baru tersadar, api sudah menyebar, aku melihatnya di jendela-jendela yang ada di lantai dua dan tiga.
Soobin, hanya nama itu yang kupikirkan.
"K-kak? Aku harus bagaimana?" tanya siswi tadi.
"Kau diam si sini, jika api semakin besar, kau harus berlari mundur, okay? Kakak harus masuk," ucapku pelan-pelan pada anak itu. Anak itu menurut.
Aku bergegas lari ke arah pintu masuk gedung sekolah danㅡotakku buntu. Aku sama sekali tak pernah masuk ke sini. Ini gedung yang cukup luas, ditambah keadaan seperti ini tidak memungkinkanku untuk menjelajahi setiap senti dari gedung ini.
Aku hanya terdiam di tengah lalu-lalang orang yang berusaha menyelamatkan diri. Aku hanya mengharapkan orang itu muncul di hadapanku saat ini.
Jarum menitku telah bergerak jauh, ia tak memunculkan dirinya sama sekali.
Aku tak bisa diam saja. Dengan niat yang kukumpulkanㅡtanpa melihat risiko, aku berlari sembari menangis. Aku benci melihat semua ini, hal yang kulihat lima tahun lalu. Seperti dejavu. Langkah kakiku tak berhenti, layaknya tangisanku.
Aku tak tahan dan akhirnya berhenti. Mungkin memang sudah takdirku untuk hidup sendiri. Aku menyerah, lagi.
If I could turn back time, I would skip the day we met. Karena seketikaㅡaku benci hari itu.
Him, tbc.
![](https://img.wattpad.com/cover/217898320-288-k25901.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
destiny ㅡ; txt
Fanfiction-; [an au//oneshoot] everybody felt lonely, unhappy, confuse, and mirthless. that's a normal thing. hanya kepasrahan yang harus kita lakukan untuk semua ini. "semua" yang biasa kita sebutㅡdestiny. ©phewlusboo, 2020.