Aku berhenti menjelajahi. Aku sudah tak tahan.Tapi tiba-tiba, aku melihat sesuatu.
Choi Soobin.
Dia, orang yang kutunggu-tunggu sedari tadi. Ia berlari ke arahku dengan tangannya yang mengisyaratkanku untuk tak berjalan lebih maju.
Ia semakin dekat, dekat, dekat, dan tersisa 90 cm antara aku dengannya. "Kauㅡterluka?" tanyanya.
Bodoh, dengan kondisinya yang lemah seperti itu, ia masih bisa menanyakan itu padaku. Aku buru-buru menarik tangannya agar ke luar, aku tak bisa membiarkan dirinya sama seperti keluargaku dulu.
Langkah terakhir, aku dan Soobin sudah sampai di depan gedung. Aku lega, sangat lega. Aku masih bisa menggenggam tangannya, dan ia masih bernapas.
"Kau tak apa-apa, kan?" tanyanya, lagi. "Kau benci api, kenapaㅡ"
Perkataannya terpotong. "K-Kak, temanku masih di dalam."
Anak yang tadi berbicara denganku, ia menangis setelah itu. Aku dan Soobin saling bertatapan. Tangan Soobin perlahan-lahan lepas dari tanganku.
"Kauㅡtunggu di sini," ucapnya tegas.
"Tidak!" tolakku gesit. Kedua tanganku kembali menggenggamnya tanpa takut. "Aku mohon, jangan."
"Dia muridku, aku harus mencarinya," jawabnya.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu bicara, "izinkan aku ikut."
Soobin melepas tanganku kembali dengan cepat. "Tapi kau takut api." Aku benci ketika ia seperti itu. Mengkhawatirkan orang lain, tapi dirinya sendiri ia abaikan. Ia selalu memposisikan keselamatan orang lain di nomor satu, sedangkan dirinya di posisi akhir.
"Tidak, aku mohon. Aku harus ikut, bin," mohonku dengan tangis yang sudah pecah.
Soobin menelan ludah. Ia benci melihatku menangis, aku tahu itu. Ia lebih suka melihatku yang sedang marah daripada melihat air mataku yang mengalir.
Soobin segera memelukku erat, erat sekali, hingga aku bisa merasakan jantungnya yang berdetak di balik kemeja hitamnya. "I'll be okay, hanya sebentar, aku akan kembali," ucapnya menenangkanku sembari menepuk pelan bahuku.
Pelukan ini hangat dan dingin di saat yang bersamaan. Aku sangat benci dengan pelukan seperti iniㅡpelukan yang hampa dan justru membuatku ketakutan.
"J-jangan pergi, aku belum menjawab pertanyaanmu di hari itu," ucapku terisak.
Soobin menggeleng. Ini sudah final.
"Aku janji akan kembali, aku akan mendengar jawabanmu setelah ini selesai, okay? I promise," ucapnya tanpa ragu. Soobin melepaskan pelukannya dariku. Kedua tangannya terangkat untuk mengusap air mataku yang semakin deras dengan ibu jarinya.
Soobin pergi, meninggalkanku yang masih terisak tangis. "Soobin."
Ia tidak menjawab, hanya menoleh sebentar lalu memberikan senyum paling tulus yang pernah ia beri padaku. Ia kembali berbalik, lalu pergi.
Terus menjauhㅡdan tidak pernah kembali.
•••
Aku, kopi, dan pikiranku. Tujuan hidupku sudah hancur berkeping-keping, karena kejadian seminggu lalu. Orang yang kusayangi semuanya telah hilang, tak ada harapan bagiku.
Entah sudah berapa liter cairan yang kukeluarkan dari mataku setiap malam. Bahkan sekarang, melihat semua orang menikmati kopi dengan orang yang mereka sayangi di kafe, membuatku ingin menangis lagi sederas-derasnya.
"Kak?" ucap seorang bocah kecil yang menghampiriku, bersama orang tuanya. Aku mengenali anak itu walau tak melihat wajahnya. Dia anak yang menghampiriku juga saat itu, seminggu yang lalu.
"Boleh aku duduk di depan kakak?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk pelan.
"Bunda, aku ingin bicara dengannya dulu, boleh?" tanyanya pada seorang perempuan tua di sebelahnya. Wanita itu hanya membalas, "jangan lama-lama, okay?"
Anak itu mengangguk dengan antusias.
Ia duduk di depanku tanpa ragu. "Kakak sedang sedih?" tanyanya.
Aku mengangguk, lagi. Aku benar-benar sedang tak mau berbicara dengan siapapun.
"Kita sama-sama kehilangan, kakak ingat temanku kan? Ia bersama kak Soobin waktu itu," ucapnya pelan-pelan. "Aku menangis setiap hari, aku harap temanku itu tiba-tiba ada di depanku sembari tersenyum," lanjutnya lancar.
Soobin, nama yang membuatku kembali ingin menangis.
"Tapi kata bundaku, aku menangis tak ada gunanya, seperti menumpahi air minum ke lautan," tuturnya.
Aku terdiam sejenak, menggarap semua yang bocah ini katakan.
"Temankuㅡmengingkari janjinya. Ia berjanji akan memberiku makanan kemarin, tapi ia sudah tiada sekarang," ocehnya.
Soobin, ia mengingkari janjinya juga.
"Aku janji akan kembali, aku akan mendengar jawabanmu setelah ini selesai, okay? I promise."
Ia berjanji akan mendengar jawabanku. Tapi nihil, ia sudah tiada.
Aku menangis lagi seperti malam-malam yang lalu. Namun, sebanyak apapun air mata yang jatuh, ia tidak akan pernah mampu mengembalikan Soobin. Air mata itu hanya sebagai simbol penyesalanku yang telah gagal melindungi Soobin.
"Aku harap, ini kali terakhir kakak menangis." Anak itu mendekatiku lalu tersenyum padaku dan bicara, "semakin sering kakak menangis, kak Soobin tak akan tenang di sana," ucapnya lembut.
"Kakak semangat ya, aku harus kembali ke bundaku," ucapnya dengan senyum yang masih terukir.
"T-terimakasih," jawabku.
No matter how much tears I had been shed, there's no chance Soobin would come back to me. To say "good morning". To protect me. To annoy out of my liking. To be my bestfriend and-to be my first love.
him, end.
KAMU SEDANG MEMBACA
destiny ㅡ; txt
Fanfiction-; [an au//oneshoot] everybody felt lonely, unhappy, confuse, and mirthless. that's a normal thing. hanya kepasrahan yang harus kita lakukan untuk semua ini. "semua" yang biasa kita sebutㅡdestiny. ©phewlusboo, 2020.