Semuanya terjadi begitu cepat. Laki-laki di depanku terkapar begitu lemah dengan darahnya yang mengalir deras dari bagian kepalanya."Tunggu di sini, jangan ikut masuk."
Seberapa kuat tubuhku untuk melawan perawat di depanku, aku tak akan bisa mengalahkan mereka. Aku terlalu lemah, aku benci. Aku tak bisa melindunginya, seperti ia melindungiku.
Aku berakhir di tempat duduk ini, ditemani kerasnya tangisanku yang entah kapan akan berhenti. Aku tahu, tak ada gunanya untuk menangis. Tapi aku berharap, alunan tangisku ini bisa memberinya kekuatan untuk melawan semuanya.
Hueningkai, the reason why am i crying right now. Bocah kecil yang bisanya hanya membual.
Setiap saat aku bertanya keadaannya, ia selalu bilang baik-baik saja. Padahal aku melihat jelas ia sedang terluka. Ia terlalu sering membual dan menutupi semua masalah yang dihadapinya, agar orang-orang di sekitarnya tak khawatir.
Senyumnya adalah senjata yang ia punya. Senyum yang ia punya yang tak bisa dibedakan, mana yang palsuㅡsenyum untuk menutupi semua yang ia sembunyikanㅡdan mana yang asli.
Flashback on
"Mau ke mana lagi?" tanya Hueningkai.
"Terserah," kataku.
Ia memasang wajah malasnya. "Terserah lagi, saat aku ajak pacaran, kau tak pernah menjawab terserah," katanya diikuti oleh kekehan.
Aku memutar bola mata tanda kesal lalu mengumpat, "bocah."
Aku dengan dia berselisih dua tahun, dengan aku yang lebih tua.
"Sepertinya yang kau bisa katakan hanya itu, aku menyerah," jawabnya.
Aku tersenyum. Lalu seketikaㅡ
Malhaejwo what should i choose
Cheonsawa angma duljungDering handphoneku berbunyi. Aku mengambil handphoneku di saku lalu melihat sekilas siapa yang menelepon. Ternyata Soobin, teman sekolahku. Aku mengangkatnya.
"Kenapa, Bin?" tanyaku sembari melirik ke arah Hueningkai.
Hueningkai menghela napas kasar lalu bergumam kecil, "Soobin lagi, Soobin lagi."
Aku hanya bisa tertawa kecil, lalu menjauhkan handphoneku dari telingaku dan bicara pada Hueningkai, "Kau duluan saja, di seberang ada toko roti, aku akan menyusul."
Ia hanya mendecak lalu pergi meninggalkanku untuk ke toko roti yang kutunjuk tadi. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari tertawa kecil, lalu berbalik badan untuk melanjutkan pembicaraanku dengan Soobin.
Brak
Sontak aku terkejut dan membalikkan badanku.
Lelaki yang baru saja kutertawakan, kini terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Hueningkai.
Aku benci ketika seluruh tubuhku mendadak terpaku seperti ini. Di saat-saat ini, seharusnya aku bisa bergabung dengan kerumunan orang di sana dan membantu lelaki itu agar terbangun.
Tapi sial, tubuhku rasanya seperti tercekat.
Flashback off
Aku duduk dengan lemas. Air mata yang kukeluarkan sudah cukup banyak sedari tadi. Aku hanya terus berharap hal buruk tak akan menimpaku lagi. Aku tak sadar, bahwa harapanlah yang membuatku terus jatuh.
"D-dimana dia?" ucap wanita paruh bayaㅡyang tak lain adalah ibunya Hueningkaiㅡpadaku.
"Dia di dalam," jawabku lembut, berusaha untuk tak terisak.
Wanita itu terus menangis sembari jalan mondar-mandir di depanku, dengan harapan di dalam lubuk hatinya, sama denganku.
Tak lama, ia duduk di sebelahku dan berusaha menghentikan tangisannya untuk memulai pembicaraan. "Kauㅡpenyebabnya."
Aku tersentak dan otomatis menoleh ke arah wanita itu dengan penuh tanda tanya.
"Kau sedang bersamanya, bukan?" Tanyanya serius.
Aku mengangguk dan berharap mulut ini bisa bergerak sesuai keinginanku. Tapi nihil, bibirku terlalu kelu.
"Jangan temui dia lagi," lanjutnya dengan wajah datar.
Aku hanya menunduk, simbol untuk segala yang kupikirkan sekarang. Aku marah, marah pada diriku sendiri. Aku menyesal atas semuanya. Aku terlalu bodoh untuk menghadapi ini semua.
Aku menelan ludah lalu bicara, "i-izinkan aku bicara."
Tapi nyatanya, tak ada gunanya aku merespon itu semua. Wanita itu tak akan tertarik dengan apa yang baru saja ingin kukatakan. Aku bungkam, dengan sakit yang sudah tertancap sejak tadi.
"Kau pulang saja," ucapnya enggan.
Aku berdiri dengan terpaksa, lalu berjalan meninggalkannya, dengan tangis yang kembali muncul tanpa permisi.
Sepertinya, pertemuan memang diciptakan untuk perpisahan.
•••
Aku berjalan layaknya mayat hidup. Kejadian sebulan yang lalu masih menghantui pikiranku. Ditambah lagi, jalan yang kutempuh sekarang adalah jalan ituㅡjalan di mana kecelakaan itu terjadi.
Cukup aku saja yang begini. Aku benar-benar berharap, ia bisa melupakanku. Semua kenangan, senyumku, bahkan namaku sekalipun, aku ingin ia melupakannya.
Brak
"Maaf."
Lamunanku terhenti, hanya karena suara itu. Suara dari bibir seseorang yang baru saja menabrakku tanpa sengaja.
"Kau tidak apa-apa?"
Aku mendongakkan kepala dan bersiap untuk apa saja yang akan kulihat nanti.
Lelaki itu, berdiri tegap di depanku, dengan hoodie kuningnya. Aku benar-benar tak bisa bergerak. Aku tahu ini berlebihan, tapi aku juga tidak menginginkannya.
"H-Hueningkai?" tanyaku perlahan.
Ia tersenyum.
Aku rindu senyumnya, sangat.
Tapi setelah itu, ia memiringkan mukanya lalu berkata, "kau siapa?"
Aku putus akal dan mengedipkan mataku kuat-kuat. Aku sangat yakin, ini nyata. Ini bukan halusinasiku dan pria di depanku ini benar-benar Hueningkai.
"Bagaimana kau tahu namaku?" Tanyanya yang sukses membuat napasku berhenti seketika. Satu hal yang baru kuketahui, diaㅡamnesia.
Tak lama, ada wanita paruh bayaㅡtak lain adalah ibunyaㅡyang menariknya agar tak melihatku lagi.
Sedangkan aku, masih tertegun akan apa yang telah terjadi tadi.
Kukira, melupakan segalanya adalah hal baik. Tapi ternyata, ini lebih menyakitkan dari apapun. Dadaku sesak, sangat sesak.
Seberapa kuat aku menenangkan diriku sendiri, itu tak akan membantu. Aku berlari kencang, berharap ingatanku akan tersapu juga oleh angin. Tapi nihil, justru tangisanku yang mengalahkan suara angin.
Saling melupakan memang menyakitkan. Tetapi melupakan seseorang yang bahkan tak tahu siapa diriku, itu lebih menyakitkan.
Ini adalah titik akhirku.
Thank you for being a part of my lifeㅡeven though I'm the only one who remembers.
an accident, end.
KAMU SEDANG MEMBACA
destiny ㅡ; txt
Fanfiction-; [an au//oneshoot] everybody felt lonely, unhappy, confuse, and mirthless. that's a normal thing. hanya kepasrahan yang harus kita lakukan untuk semua ini. "semua" yang biasa kita sebutㅡdestiny. ©phewlusboo, 2020.