Waktu ini tidak seperti yang sebelumnya. Tidak ada orang lain yang datang sebelum Namjoon di atas rooftop. Hanya ada ia, dirinya, Kim Namjoon. Inilah saatnya, pikir namja itu. Tidak ada yang bisa menghalanginya lagi kali ini.
Namjoon sudah berdiri di sana. Telah melewati pagar pembatas. Kini, di hadapannya hanya ada bentangan udara serta tanah yang siap menunggu hantaman darinya.
"Sepertinya, ini adalah waktu ku." gumamnya.
Kedua obsidiannya memandangi pemandangan yang ada di bawahnya. Sesaat, ingatan masa lalunya yang pahit kembali terlintas.
Sahabatnya yang merebut orang yang ia cintai dengan begitu bangganya.
Dirinya yang ditinggal oleh kedua orang tuanya setelah berpisah sehingga tidak ada lagi momen makan malam yang selalu hangat.
Ia yang bertingkah palsu di depan orang-orang. Hanya agar ada yang peduli padanya. Memberi kasih sayang. Memberi cinta kepadanya. Mengikuti apa yang orang lain inginkan darinya agar bisa mendapatkan semua itu.
Mimpi besarnya yang harus ia kubur dalam-dalam akibat tidak ada yang ingin dirinya menjadi apa yang ia impikan. Orang tuanya, semua orang. Tidak ada yang peduli. Mimpinya direndahkan, dihina, diinjak seenaknya.
Dirinya yang bertemu kelima namja di atas sana. Mengetahui rasa sakit yang mereka alami. Namun, tidak sesakit miliknya. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja pun tidak berguna. Malah semakin terasa sakit dan perihnya.
Semuanya menjadi bagian dari luka-luka yang melukis diri seorang Kim Namjoon. Namja bertubuh tinggi jangkung dengan surai blonde.
Tidak ada lagi air mata yang keluar meskipun baru saja mengingat segala rasa sakitnya. Ia hanya tersenyum miris untuk beberapa detik saja. Apa lagi yang ia harapkan di sini? Sudah tidak ada.
Namjoon kemudian melepaskan coat miliknya hingga kini hanya baju kaos abu-abu yang menutupi. Kepalanya ia dongakkan, memandangi hamparan langit biru di atasnya. Terlihatlah perban yang menutupi lehernya dan berbagai bekas sayatan acak di kedua lengan. Angin dingin berhembus, menerpanya, mengayunkan kalungnya, memainkan rambutnya, serta sebuah gelang perak berbentuk double helix yang bertuliskan sebuah nama lain.
Menghela nafas singkat. Ia sudah menentukan pilihannya Dan mulai bersiap untuk mencapai tujuannya. Menuju kebebasan dengan satu lompatan.
Grep!
Matanya terbuka saat merasakan ada yang menariknya. Menjauh dari pembatas itu dan beralih dalam sebuah dekapan erat. Ia hanya bisa tercengang sekaligus bingung mengenai apa yang terjadi.
Bukankah seharusnya ia sudah pergi?
Bukankah seharusnya ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan?
Bukankah seharusnya dirinya telah bebas?
Netranya menangkap gambaran bahu lebar yang tertutup coat hitam serta pintu rooftop bercat abu-abu. Tubuhnya terasa seperti tengah diikat erat oleh dua tangan yang entah milik siapa, namun ia merasa pernah merasakannya sebelumnya. Sampai telinganya mendengar sebuah suara yang dikiranya tidak asing.
"Dasar bodoh! Apa yang kau lakukan di atas sini hah?!"
Deg!
"S... Seokjin... hyung.." lirih Namjoon terbata.
"Hiks... pabo! Pabo! Paboya! Kenapa kau lakukan hal itu Kim Namjoon?! Kenapa?" bentak namja yang dipanggil Seokjin itu sambil memukul punggung Namjoon.
"A... aku..."
"Aku sudah mencarimu kemana-mana, aku benar-benar cemas denganmu kau tahu! Yang barusan hampir kau lakukan itu sungguh membuatku takut!" bentak namja itu lagi. Namjoon sendiri hanya diam.
Pelukan pada Namjoon dilepaskan berganti memegang kedua pundak dan menatap wajahnya. Namjoon bisa melihat wajah namja itu. Wajah yang sangat tampan melebihi dirinya dan rambut violet itu. Wajah dari sosok yang ia kira palsu selama ini.
"Aku salah Namjoonie, maafkan aku. Seharusnya aku tidak mengambil tawaran kerja itu dan meninggalkanmu sendirian. Padahal kau sangat membutuhkanku. Aku sungguh minta maaf." Namjoon hanya menggeleng lemah mendengar permohonan maaf tersebut.
"Seokjin hyung... mianhae..." cicitnya.
"Apa kau sudah lupa dengan janji kita?! Kau sudah janji untuk tidak melakukan hal itu lagi. Aku bisa gila jika kau pergi." namja itu menjeda kalimatnya. Ia meraih tangan Namjoon yang terdapat gelang dan mengangkatnya ke depan dadanya dan Namjoon. Ia juga mengangkat tangannya yang terdapat gelang yang berbentuk sama.
"Kau lihat ini kan? Gelang dan kalung yang kita pakai adalah simbol janji kita Namjoonie. Janjimu untuk tidak pergi serta janjiku untuk menjagamu. Apa kau lupa?" tanyanya.
Namjoon tertegun saat melihat gelang perak berbentuk double helix miliknya yang bertuliskan nama dari namja di hadapannya ini. Serta kalung nama yang juga namja itu gunakan.
'Kim Seokjin'
Satu-satunya orang yang menerima ia apa adanya selama ini. Orang yang memberinya cinta dan kasih sayang. Orang yang membantunya merasa lebih baik disaat banyaknya luka yang ia terima. Orang yang asli di depannya. Orang yang menghargai dan mendukung mimpinya. Orang yang tidak lain adalah kakaknya. Yang sempat pergi karena sebuah tawaran pekerjaan di luar kota yang telah ia anggap pembohong besar.
Namjoon beralih melihat gelang milik Seokjin yang berhiaskan namanya.
'Kim Namjoon'
Setelah menatap kedua gelang itu, air matanya mengalir membasahi pipinya. Dirinya yang dipikir tidak bisa menangis lagi kini telah menangis.
"Hiks... mianhae hyung. Aku benar-benar... minta maaf. Aku pikir hiks... aku pikir kau pembohong dengan meninggalkanku merasakan semua luka menyakitkan ini sendirian. Aku-"
"Sssstt... sudah Namjoonie. Tidak perlu minta maaf lagi. Hyung sudah ada di sini. Hyung akan kembali menjagamu dan kau tidak boleh seperti tadi, arraseo?" tanya Seokjin yang sudah memeluk adiknya kembali.
"Un, arraseo hyung."
The End
Tenang, belum benar-benar akhir kok. Bakalan ada bonus chapter. Ditunggu aja ya~
💜
KAMU SEDANG MEMBACA
My R
FanfictionTerkadang apa yang orang lain alami tidak seburuk apa yang ku alami dan anehnya aku yang lebih lama sadar kalau aku sudah tidak sanggup menahan semuanya dibanding mereka.