Prolog

19 4 0
                                    

Malam ini gue lapar lagi. Ini salah satu alasan gue keluar malam-malam selain untuk sekedar menikmati semilir angin malam yang menyapu-nyapu rambut panjang tanpa ikatan.

Tempat yang ingin gue tuju adalah minimarket terdekat. Motor metic scoopy yang telah menemani gue selama tiga tahun belakangan ini berjalan pelan menunjukan eksistensinya dijalan raya yang sudah mulai sepi.

Andai saja Mamsky gue nggak sedang berada di kampung halamnya, tepatnya London, pasti diri ini nggak akan pergi kemanapun malam ini. Masalahnya kalau Mamsky nggak ada dirumah, makanan jumlahnya akan semakin berkurang tanpa ada yang mau membeli ulang. Kata ayah gue, oke gue gak biasa manggil dia ayah atau ayahanda, karena sejak kecil gue manggil dia 'abah'. So, kita ulang, kata abah gue dia nggak ngurusin stok makanan, dia juga kalau lapar palingan pergi ke warteg.

Untung saja gue bukan anak manja yang mau makan harus sudah tersedia semuanya, jadi pergi ke minimarket sambil lihatin mas-mas kasir yang ganteng, nggak ada masalah buat gue.

Akhirnya gue dan Si Mput sampai dipelataran parkir minimarket itu. Bye the way, Mput itu nama motor gue ya, karena memang warna motor itu putih.

Kaki gue melangkah ringan menuju tempat bertemparatur ruangan dingin itu, dan benar saja, sudah ada mas-mas ganteng yang menyambut kedatangan gue dengan senyum manis tapi nggak bikin diabetes, soalnya dia alami kaya tropicanaslim. Aduh jangan sebut merek!

Sampai dijajaran rak yang berisi mie instan, gue memilih-milih beberapa mie yang kelihatanya enak. Gue mengambil sekitar sepuluh bungkus mie instan itu lalu meletakanya diatas keranjang yang berada tepat disamping gue.

Gue kembali berjalan hendak mengambil beberapa cemilan, kayaknya coklat atau permen pilihan yang bagus. Gue gak menghitung berapa jumlah coklat dan roti yang gue ambil, lagi pula makanan itu bukan hanya untuk gue, tapi untuk seisi rumah kalau mereka mau. Kalau enggak, ya sudah gue makan sendiri.

Mata gue dengan jeli menatap satu persatu merek permen yang berada dijajaran rak itu. Tapi saat gue menengok kesamping, sepertinya gue bukan satu-satunya orang yang sedang memilih-milih makanan manis itu, ada seorang cowok berhoodie biru tua yang juga melihat-lihat bungkus permen itu tanpa menyentuhnya.

Yang gue ingat dari dia hanya... matanya yang sipit.

Selebihnya gue kembali fokus kepada permen mana yang akan gue beli.

Tapi, kalau dilihat-lihat dari gerak –geriknya cowok itu sedikit mencurigakan. Gue mencoba untuk tidak peduli. Setelah mendapat apa yang menjadi pilihan gue, gue memasukan permen berbungkus plastik merah itu ke keranjang yang berada di tangan sebelah kiri.

Tangan cowok itu yang terbalut dengan hoodie biru itu terlihat menyabet permen yang ditempatkan di dalam wadah bundar kecil yang terbuat dari kaleng. Wadahnya sangat kecil, hingga jika kita menggenggamnya pun nggak akan kelihatan. Lalu dengan cepat ia memasukan permen itu ke kantung hoodie birunya.

Lalu tanpa berucap apapun lagi, cowok itu pergi dengan memanfaatkan kondisi minimarket yang memang terdapat beberapa pengunjung. Cowok itu sepertinya sengaja keluar minimarket berbarengan dengan seorang ibu-ibu yang telah selesai melakukan transaksi di kasir.

Gue masih bergeming di tempat.

Cowok tadi... mencuri?

Mencuri untuk permen yang bahkan harganya nggak sampai sepuluh ribu?

Seriously?

Kenapa dia enggak bilang ke gue kalau dia gak bawa uang? Pasti tanpa banyak bertanya gue bayarin dia. Sumpah.

Kenapa juga gue bego enggak teriak dan enggak lapor siapapun bahwa ada yang mencuri disini? Tapi yang ada dipikiran gue cuma... kenapa permen? Kalau dia memang dia enggak punya uang dan lapar kenapa dia nggak mencuri sesuatu yang lebih mengenyangkan seperti roti dan sebagainya?

Dan juga pertanayaan besarnya, DISINI KAN TERPASANG BANYAK CCTV! KENAPA SEAKAN NGGAK ADA YANG TAHU KALAU ADA YANG MENCURI?

Princess nggak paham.

MY LAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang