8 bulan kemudian...
Sudah terlalu lama aku menekan perasaan dan tidak bisa terus seperti ini. Seolah-olah alam semesta memaksa aku memerhatikan apa yang aku rasakan. Perasaan tidak nyaman dan menyakitkan mulai muncul seiring berjalannya waktu. Aku masih belum bisa melakukan yang terbaik untuk diriku sendiri. Tak mampu menggali lebih dalam dan mencari inti dari semua kekacauan hidupku.
Sepertinya aku terlalu keras pada diriku sendiri. Tak begitu banyak yang bisa kukendalikan. Tak ada waktu untuk menghabiskan hari baik dan memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi. Terlalu banyak pekerjaan yang sama sekali tidak menunjukan hasil yang baik, terlalu membuang-buang waktu dan energi.
Sepertinya, keputusan enam bulan lalu itu adalah keputusan terburuk yang pernah aku ambil seumur hidup. Terlalu cepat mengukur sesuatu dengan cara yang salah. Ini tidak seperti yang aku harapkan, bahkan sekedar mendekati pun tidak. Seberapa keras aku bertahan dengan status "Kekasih Dito", semua itu tidak memberikan efek baik bagi hidupku. Sebenarnya tidak ada yang lebih penting jika hatiku tidak dipelihara atau dipahami. Pada dasarnya aku terlalu menurut pada titah orang lain, terlalu keras pada diriku sendiri.
Sebenarnya aku tidak bisa melemparkan semua kesalahan pada Dito. Dari awal sumber permasalahannya justru berasal dari diriku sendiri. Aku yang tidak bisa mengendalikan perasaanku pada Tommy, mengambil keputusan dengan menerima Dito sebagai kekasih, sampai memutus komunikasi dengan Tom setelah kejadian malam itu. Sepertinya apa yang dikatakan ibuku itu benar kalau anak kecil belum bisa mengambil keputusan.
Nasi sudah menjadi bubur. Hubunganku dengan Dito semakin hari terasa semakin rumit. Walau di awal kami berpacaran, Dito terlihat sangat menyayangiku, tapi akhir-akhir ini Dito seolah tengah menunjukan jati diri yang sebenarnya. Sisi positif dari Dito adalah sifatnya yang terbuka dan sabar, tapi sisi buruknya agak tidak bisa ditoleransi.
Seperti rumor yang beredar luas kalau Dito itu penjahat kelamin. Ya, hanya penjahat kelamin karena selama berpacaran denganku dia terbilang setia dan tidak mengkhianatiku. Namun julukan penjahat kelamin-nya itu memang belum sepenuhnya sembuh. Meski tidak berani jajan diluar, tapi libido Dito cukup berbahaya untuk gadis 20 tahun sepertiku.
Beruntung aku memberikan ciuman pertamaku pada Tommy dulu, karena setelah berpacaran dengan Dito, kesucianku sudah benar-benar tercemar. Sepertinya hanya vagina-lah satu-satunya anggota tubuhku yang belum dia jamah. Dia benar-benar berusaha merubahku menjadi gadis binal. Meski hal ini sudah biasa terjadi di Amerika, tapi aku tetap tidak nyaman dan tidak bahagia.
"Beli buah?" tanya Dito memecah lamunanku dan aku pun langsung meresponnya dengan anggukan kecil.
Saat ini kami tengah berada di supermarket untuk berbelanja bulanan. Rutinitas yang selalu kami lakukan di setiap awal bulan adalah berbelanja bulanan. Membeli segala kebutuhan pribadi, keperluan bersama, dan belanja kebutuhan apartmen. Meskipun kami tinggal terpisah, tapi kami memutuskan untuk selalu berbelanja bersama demi menjalin hubungan yang harmonis. Meskipun Dito adalah laki-laki, tapi dia sama sekali tidak keberatan saat berpergian bersamaku dengan banyak belanjaan di tangannya.
"Aku lolos audisi dan mulai pemotretan majalan musim panas tahun ini. Jika berkenan—aku ingin resign dari cafe dan lebih fokus di dunia modeling. " ujarku sambil diam-diam mengintip reaksinya.
Dito melirikku dengan tatapan tidak suka. "Reina, boleh aku berbicara jujur?" Aku pun mengangguk dan mendengar penuturannya. "Bisakah kamu berhenti dari pekerjaanmu? Kamu terlalu banyak memegang pekerjaan paruh waktu mulai dari: pelayan cafe, penyanyi BAR, sekarang kamu mengambil job sebagai model—lalu bagaimana dengan study-mu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sex Journey
Roman d'amourWarning! 21+ (Adult story) Reina terjebak di sebuah kota yang cukup kejam, Los Angeles. Bersama kekasihnya, Tommy. Mereka melewati hari-hari berat sebagai orang asing di sebuah apartmen di pusat kota. Cinta mereka masih menggebu-gebu. Keduanya mulai...