[ Husband Series ]
"Sayang, aku nanti lembur. Gak papa, ya?"
Aku yang tengah menyiapkan sarapan untuknya terhenyak sesaat. Lembur lagi katanya? Bahkan seminggu ini dia selalu lembur. Apakah sesibuk itu di kantor sampai hampir setiap hari lembur?
Aku menoleh sekilas lalu mengangguk singkat. Jujur, berat rasanya kalau membiarkan Seungcheol kerja lembur setiap hari. Terkadang dia pulang hampir tengah malam. Dia kelihatan sangat lelah, dan aku tidak menyukainya. Aku takut dia sakit. Entah apalah yang dia kerjakan di kantor itu sampai selalu pulang larut malam.
Aku sebagai seorang istri wajar kalau mengkhawatirkannya, kan? Aku hanya takut kalauㅡah, sudahlah. Tidak boleh berpikiran negatif. Seungcheol bekerja untuk keluarga. Untuk mencukupi aku juga. Seharusnya aku memberinya semangat bukan malah memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Hei." panggilnya. Aku yang sedang mencuci piring hanya berdehem singkat.
Hening sesaat. Aku mematikan kran air lalu diam di tempat. Kenapa dia tidak memanggilku lagi? Apa dia juga kesal karena sedari tadi aku tidak mengucapkan sepatah katapun?
Aku membalikkan tubuh. Begitu berbalik, sontak saja terkejut. Bagaimana tidak? Seungcheol tidak menyahut lagi karena sekarang dia berdiri tepat sekali di belakangku. Aku berani taruhan bahwa jarak antara aku dengannya tak ada sepuluh sentimeter.
"A-apa?" tanyaku gugup. Walaupun sudah sering berdekatan dengannya, aku tetap saja merasa gugup.
Tangan kanan Seungcheol memegang pipi kiriku. Dia mengusapnya pelan, dengan sepasang mata legam yang terus menatapku. Aku tidak berani menatapnya lagi. Aku menunduk.
"Kamu kenapa?"
Aku menggeleng. "Enggak. Nggak papa."
"Aku tau kamu nggak baik-baik aja." ujarnya, dengan telapak tangan yang masih setia berada di pipiku. "Kamu pasti mikirin aku karena aku akhir-akhir ini lembur terus, ya?"
Aku diam tidak berani menjawab. Aku terlalu sering kalah telak kalau berbicara dengan Seungcheol. Dia selalu menebak apa yang sedang aku pikirkan.
"Kamu mikir yang aneh-aneh?" tanyanya lagi. Dan, aku yakin dia masih menatapku.
Aku tetap diam. Rasanya mulutku ini terlalu kelu untuk menjawab barang sepatah katapun. Aku merasa malu karena kurasa aku masih terlalu kekanakan untuk hal seperti ini.
"Jangan diem."
"..."
"Kalo aku tanya itu dijawab. Bukan diem." katanya dingin. Suaranya yang rendah berhasil membangunkan bulu halus di kulitku. Badanku langsung panas dingin, rasanya ingin menangis saja.
"Udah jam segini. K-kamu berangkat aja. Aku siapin bekelmu dulu." sahutku mengalihkan pembicaraan. Aku berniat pergi dari hadapannya lalu menyiapkan kotak makan. Tapi, baru satu gerakan yang kulakukan, dia langsung mengepungku. Aku melotot terkejut. Sedangkan dia tetap menatapku dalam.
Maksudku, dia langsung menumpukan kedua tangannya di wastafel yang tepat di belakangku ini. Dengan kata lain, dia menghimpitku. Tidak membiarkan aku pergi dari hadapannya. Kedua lengannya berada di samping tubuhku.