ONE BY ONED

33 2 0
                                    

Seminggu ini kamar Raya seperti diserang badai. Kertas dan buku berserak di mana-mana. Laptop-nya terus menyala. Matanya tampak lelah. Dia tidak bisa tidur nyenyak karena memaksa diri untuk menghabiskan buku bacaannya. Bahkan panggilan ibunya untuk makan sering kali diabaikan. Bagaimana tidak? Pasalnya, dia mendapat tugas untuk berorasi dalam rangka Hari Keberagaman Budaya tepat pada tanggal 21 Mei. Sebagai seorang aktivis, tentu berbicara di depan umum memang bukan hal yang asing lagi baginya. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya Raya mendapat kepercayaan dari Direktur Jendral UNESCO, Irina Bokova untuk berbicara di depan para duta dari berbagai negara tentang peran penting kebudayaan bagi peradaban manusia.

♫ ♫ ♫

Raya, wanita berusia 27 tahun ini lahir di Yogyakarta dan 100% berdarah Jawa. Dia dikenal sebagai wanita yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Baginya, setiap orang memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang harus saling dihormati dan dihargai. Tidak ada manusia paling benar atau pun paling salah. Semua sama di mata Raya. Itulah mengapa setiap orang yang dekat dengan Raya pasti akan merasa nyaman bahkan mengidolakannya, tidak terkecuali mahasiswa-mahasiswinya.

Raya tidak secantik Putri Indonesia atau Miss Universe. Dia wanita biasa. Hanya saja Raya memiliki cara berpikir, berbicara, bersikap yang menawan, dan berwibawa, meskipun dia membawakan dengan sederhana. Menurut orang yang dekat dengannya, sikap Raya ini merupakan paduan dari sikap ayah dan ibunya. Sebagai seorang pebisnis, ayahnya terus mengajarkan bagaimana cara melayani orang dengan baik tanpa harus mengorbankan harga diri dengan kecurangan-kecurangan demi mendapat keuntungan. Sedang ibunya yang seorang ibu rumah tangga selalu mengajarkannya cara menjadi wanita yang lembut namun tetap berwibawa. Jadi, jangan heran, kalau Raya bicara, maka dipastikan setiap mata dan telinga akan tertuju padanya.

♫ ♫ ♫

"Hari ini kamu seperi bukan Raya yang aku kenal," Ana menepuk bahu Raya yang sedari tadi mengawasi kemacetan jalanan Jakarta pada pagi hari dari kamar hotelnya di lantai 7. Ana, dia sahabat Raya, seorang psikolog sekaligus aktivis, seperti halnya Raya. Perjumpaan mereka pertama kali ketika sama-sama menjadi relawan bagi korban gempa di Yogyakarta tahun 2006 silam. Saat itu, mereka baru saja lulus SMA. Ana merasa bangga pada Raya yang mendapat kehormatan untuk menyampaikan orasi kebudayaan siang nanti di auditorium hotel tempat mereka menginap.

Ana memang sengaja diajak oleh Raya untuk menemaninya. Karena dengan kehadiran Ana, Raya merasa mendapatkan kekuatan lebih meskipun sebenarnya tidak jarang juga mereka bertengkar atau sekadar beradu pendapat.

Tiga tahun lalu, Ana adalah satu-satunya sahabat yang berani meyakinkan Raya untuk ikut menjadi relawan ke Palestina seusai menyelesaikan studi S-2. Dia juga berhasil membantu Raya untuk meyakinkan kedua orang tuanya agar memberikan izin. Raya pun menjadi relawan di Palestina selama satu tahun. Meskipun akhirnya Raya harus kembali setelah ibunya menyampaikan satu pesan yang tidak dapat lagi ditawarnya. Bagaimana Raya bisa menolak jika jurus pamungkas telah dikeluarkan oleh ibunya?

RAYA, HANYA SEKALI IBU MINTA.

TIDAK AKAN IBU ULANG.

KEMBALI KE INDONESIA SEKARANG!

Begitulah persahabatan Raya dan Ana. Sampai sekarang persahabatan itu masih tetap mereka jaga.

"Percaya deh, kalau peluru, bom dan granat aja kamu bisa tanganin, apalagi cuma manusia?" Ana melanjutkan pembicaraan sambil terus memakan donat kesukaannya.

"Manusia lebih bahaya dari itu semua, Na."

Ana hampir tersedak mendengar jawaban Raya. Dia memutarkan bola matanya dan menatap tajam ke arah Raya tanpa berkata apa pun. Raya yang merasa kurang nyaman dengan tatapan Ana langsung menjelaskan maksud kalimatnya.

"Peluru, bom, atau granat kalau tidak dibuat, ditembakkan atau dilemparkan oleh manusia, enggak akan ada dan enggak akan melukai siapa-siapa kan, Na?" Ana mengangguk. Dia membenarkan perkataan sahabatnya itu.

"Kamu benar, manusia itu berbahaya. Tapi coba, katakanlah mereka memang berbahaya untuk kamu. Bukankah itu berarti, sebagai manusia, kamu juga berbahaya untuk mereka kan, Ray?"

"Justru itu yang aku khawatirkan, Na. Aku khawatir mereka menganggapku berbahaya. Karena itu berarti aku akan berada pada situasi yang lebih berbahaya lagi," Ana tampak menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan penuh kesabaran.

"If you don't take a risk, you risk even more. Itu moto kamu, Ray. Aku cuma ngingetin aja, barang kali kamu lupa. Setiap keputusan yang kita ambil pasti ada konsekuensinya. Ada risikonya. Kamu pasti paham itu. Sekarang sudah kepalang tanggung. Jadi, mau enggak mau, kamu tetap harus menyelesaikan tanggung jawab itu.

"Iya, mau gimana lagi, Na?" Raya membalas sambil mengangkat kedua bahunya. Sebuah senyum masam mengembangkan di bibir tipisnya.

WHEREVER YOU AREWhere stories live. Discover now