NOTHING HELPS

13 1 0
                                    

Pukul 12.00, Raya semakin gelisah. Satu jam lagi dia harus sudah siap berorasi dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Kali ini, paduan busana luaran broklat berwarna hitam dan celana krem beserta jilbab bermotif abstrak menjadi pilihan Raya untuk mengantarnya pada pengalaman baru. Ana yang melihat Raya sedang mencoba memantaskan diri melalui cermin turut membantu merapikan jilbab dan memadu-padankannya dengan bross berwarna senada. Make up nuansa pink pastel dipolesnya ke wajah Raya agar tampak lebih segar.

Raya memang terlihat tenang. Namun sebagai sahabat, Ana tahu betul apa yang ada di pikiran dan hatinya. Karena itu dia terus meyakinkan Raya bahwa semua akan baik-baik saja. Sekarang bukan saatnya gelisah tapi saatnya membangun kepercayaan diri. Sebab, sebagai psikolog, Ana yakin bahwa percaya diri adalah modal utama untuk memikat perhatian orang. Dengan percaya diri seseorang akan lebih tenang sehingga bisa membawanya pada cara berpikir yang logis.

"Ana..." sebelum kalimat Raya selesai, Ana langsung menyahut sambil terus membenahi riasan di wajah Raya.

"Kamu cantik banget, Ray. Perfect. You are the best," Ana mencium pipi Raya. Dia menyiapkan tas dan berkas-berkas yang akan dibawa oleh Raya. Sedangkan Raya kembali berdiri di pinggir jendela dan menatap jalanan yang masih saja tampak riuh. Sepertinya jalanan di Jakarta cukup mewakili suasana hati Raya saat ini. Meskipun begitu, Raya sangat bersyukur. Dia memiliki sahabat seperti Ana. Dia juga mendapat kesempatan yang belum tentu didapat orang lain. Raya mendekati Ana dan memeluknya dari belakang. Dia mengucapkan terima kasih dengan suara yang lirih namun tetap terdengar tulus.

"Aduh, Ray. Rusak dandanan kamu kalau meluk-meluk gini. Lagian, geli tahu dapat back hug dari sesama cewek," Ana mencoba melepaskan diri dari pelukan Raya. Namun Raya semakin menguatkan pelukannya.

"Sebentar aja, Na. Aku lagi nge-charge energi," Ana membiarkan Raya memeluknya sambil mengelus punggung tangan Raya. Setelah beberapa saat Raya melepas pelukannya.

"Doain aku ya, Na."

"Itu pasti, Ray. Oh iya, jangan lupa kamu telepon ibu kamu dulu. Setelah itu, baru kita turun!" seusai menelpon ibunya, Raya dan Ana turun ke lantai 2, ke sebuah aula besar tempat acara berlangsung. Raya mengedarkan pandangan. Degup jantung Raya semakin kencang ketika melihat kursi di ruangan sudah hampir penuh. Ana yang menyadari hal itu langsung mengelus bahu Raya. Raya tersenyum dan merasa memeroleh ketenangan.

"Raya, sudah datang rupanya. Ayo kita ke depan," seorang lelaki seusia ayah Raya menyapa dan mengajak mereka ke kursi barisan depan. Dia adalah Prof. Dr. T. A. Fauzi Soelaiman, salah satu panitia penyelenggara sekaligus duta besar Indonesia untuk UNESCO. Dia orang yang mengusulkan nama Raya sebagai kandidat orator tahun ini. Hal itu tentu saja bukan tanpa halangan. Beberapa orang sempat menolaknya. Namun karena Prof. Fauzi terus meyakinkan dan dapat menunjukkan prestasi Raya maka usulannya pun disetujui.

Prof. Fauzi dan Raya bertemu pertama kali di bandara ketika Raya hendak ke Palestina. Saat itu pesawat yang akan Raya tumpangi mengalami delay. Kebetulan mereka duduk bersebelahan lalu saling bertegur sapa dan berbincang. Saat itu juga Prof. Fauzi tahu bahwa Raya akan ke Palestina untuk menjadi relawan sedang dirinya hendak bertemu koleganya untuk menyepakati kontrak kerja sama luar negeri. Prof. Fauzi sangat terkesan dengan Raya. Baginya, Raya merupakan sosok wanita muda yang cerdas dan berani. Mulai dari situlah, segala sepak terjang Raya diikuti oleh Prof. Fauzi. Menurutnya, cara pandang yang luas dengan tetap menjunjung tinggi sikap empan papan adalah hal paling menarik dari diri Raya. Sebab, di zaman sekarang banyak orang yang pintar tapi tidak empan papan atau tidak pandai menempatkan diri.

Prof Fauzi memperkenalkan Raya kepada beberapa tamu undangan. Setelah semua siap, pembawa acara segera memulai acara. Dia memandu acara demi acara hingga akhirnya sampailah pada saat yang mendebarkan bagi Raya.

"Raya Abiyasa Acitya Master of Arts disilakan," mendengar nama Raya dipanggil dengan gelar yang disandangnya, beberapa tamu tampak mencurigai kemampuan Raya. Wajar saja, sebagian besar tamu yang hadir bergelar profesor. Mereka ragu pada kemampuan Raya, seorang wanita muda yang baru menyandang gelar master. Jelas, Raya menyadari hal itu. Tetapi dia menghapus kekhawatiran di hatinya sesuai nasihat Ana. Raya bangkit dari tempat duduk dan menghadap kepada seluruh tamu undangan. Dia melempar senyum tipis khasnya sambil memohon izin ke podium. Semua tamu mulai terpesona dengan sikap santun Raya. Mereka memberikan tepuk tangan dan Raya bergegas menuju podium. Dia menyiapkan mental dengan menghirup napas dalam-dalam dan mengatur posisi microphone agar sesuai dengan dirinya. Raya mulai menyampaikan kalimat demi kalimat dengan santun, rapi, namun tetap penuh semangat. Kalimat-kalimat sederhana Raya nyatanya mampu menyentuh perasaan para tamu undangan.

"Jika kita percaya kebudayaan datang dari Tuhan untuk manusia, berarti seharusnya kebudayaan memberi kedamaian. Tuhan telah memberi kita kebudayaan, maka tugas kita adalah memanfaatkan kebudayaan itu dengan baik dan benar. Meskipun kadang kita berpikir bahwa itu sulit, tetapi kita tidak boleh berhenti atau menyerah. Kita harus saling membantu. Percayalah, Tuhan pasti tidak akan tinggal diam!" Raya langsung melanjutkan orasinya setelah mendapat tepuk tangan yang begitu riuh dari para tamu undangan.

Seusai orasi, hampir semua turut memberinya standing applause. Beberapa orang berkaca-kaca mendengar orasi Raya yang hampir satu setengah jam. Raya menyampaikan betapa budaya menjadi sesuatu yang begitu penting. Jika selama ini orang cenderung memisahkan budaya dengan agama dengan istilah sekulerisme demi mencapai suatu kemajuan, Raya justru mencoba menunjukkan bahwa kemajuan terjadi karena adanya sinergi antara budaya dan agama. Sebab jika budaya dan agama dipisahkan maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Kasus-kasus pencurian, pemerkosaan, korupsi, pelecehan antar golongan, sampai pembunuhan, semua terjadi karena manusia tidak menyadari bahwa budaya datang dari Tuhan sehingga antara agama dan budaya selalu dipisah-pisahkan bahkan dianggap bertentangan.

Raya masih belum percaya dengan hal yang baru saja terjadi. Tubuhnya gemetar namun dia tetap berusaha tenang. Dia tidak ingin hal yang memalukan terjadi karena kecerobohannya. Setelah orasi selesai, Raya kembali ke tempat duduknya dengan penuh wibawa. Raya mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Prof. Fauzi dan Ibu Irina Bokova. Setelah itu, Raya langsung memeluk Ana. Sekarang Raya benar-benar gagal membendung air matanya.

Raya mendapat jabat tangan dari para tamu sebagai tanda ucapan selamat. Duta besar Palestina, Riyad Mansour bahkan menjabat tangan Raya dengan kuat. Raya menjadi teringat saat-saat di Palestina. Raya merindukan orang-orang yang berjuang dengan penuh keberanian di sana.

"Saya ingin kembali ke Palestina," kalimat itu tiba-tiba terlontar dari mulut Raya.

"Saya salut dan menghargai keputusanmu saat itu. Jika suatu saat kamu kembali ke Palestina, apakah kamu akan mengajak serta ibumu?" Riyad Mansour menggoda Raya. Dia sangat paham bagaimana perasaan Raya saat itu. Surat dari ibu Raya diberikan sendiri olehnya kepada Raya. Bahkan Raya membaca surat itu di hadapannya. Raya tersipu malu mengingat kejadian itu. Tetapi dia tidak pernah menyasali keputusannya.

Setelah pembawa acara menutup acara, tamu undangan dipersilakan menikmati sajian. Suasana menjadi riuh karena para tamu kini sibuk berbincang dengan kolega mereka masing-masing.

"Ini untukmu Raya," Raya menerima satu kotak berisi lembaran-lembaran kertas dari duta Palestina itu.

"Apa ini?"

"Surat dari orang-orang Palestina yang mencintaimu. Termasuk dari Kapten Dzakki Heron," Riyad Mansour tersenyum kemudian meninggalkan Raya untuk menemui tamu yang lain. Raya masih tertegun. Ana yang berada di sampingnya langsung memandang curiga kepada Raya. Dzakki Heron, nama itu terdengar asing baginya. Sepertinya Raya belum pernah bercerita tentang nama itu padanya.

WHEREVER YOU AREWhere stories live. Discover now