Desa ini menjadi sepi dan gelap.Beberapa hari terakhir, listrik sering padam. Sarah duduk di teras depan rumah bersama beberapa teman sekolahnya.
"Fitri, gang kamu serem enggak setelah Mbok Piti meninggal," tanya Firza.
"Iya, katanya orang-orang sering dengar tongkatnya. Trus masih ada beberapa rumah yang di ketuk pintunya," Fitri.
Sarah dan ketiga temannya yang lain ikut bergidik, ngeri.
"Udah ahh ... jangan bicarain dia," sahut Sarah.
"Jaelangkungnya di buang kemana?" tanya Samsul.
"Di kintirno nang kali ( dihanyutkan di sungai )," jawabnya.
Malam semakin larut. Keempat teman sarah akhirnya pulang. Fitri mengambil jalan pintas bersama Upil, melewati rumah Mbok Piti. Gadis itu menggenggam erat lengan temannya.
"Aku wedi, Pil (aku takut, Pil )," bisiknya.
Mereka berjalan sangat cepat. Sebelah kiri mereka persawahan dengan beberapabayangan pohon kelapa yang menjulang tinggi. Hanya kerlip kunang-kunang dan suara binatang malam yang menemani. Hembusan lirih angin malam, terasa menyapa tubuh mereka.
"Astaghfirullah!" sentak Fitri tiba-tiba.
"Opo ... ono opo?( ada apa?)" bentak Upil.
Mereka berhenti sejenak.Jari Fitri menunjuk ke arah jalan yang menuju sendang.
"A-aku ... seperti melihat bayangan dengan badan yang bungkuk dan seperti membawa tongkat," ujar Fitri.
Kemudian mereka berdua saling beradu pandang, dan kompak menjerit, "Mbok ... Pitiii ...."
Keduanya berbalik arah dan berlari tunggang langgang.Kedua gadis itu mengurungkan niatnya untuk melewati jalan tercepat, dan akhirnya memutuskan melewati jembatan panjang yang hanya cukup dilewati satu mobil.
Dengan napas terengah-engah, mereka terus berlari.Melewati rumah Sarah yang pintunya telah tertutup rapat.
"Bentar , Pit!" ujar Upil dengan memegang perutnya.
"Kok malam ini sepi sekali, Yo.Ndak ada orang lewat blas."
"Bukannya Mama Sarah membuang jaelangkung itu, di sungai ini yo," cetus Fitri.
"Huuussst!Udah jangan cerita tentang itu lagi ... ahhh!"
Mereka berdua terus berjalan menyusuri jembatan yang sudah ada sejak jaman Belanda.Deburan suara air sungai yang mengalir terdengar kencang.Tepat di tengah jembatan, mereka berhenti sejenak dan mengambil napas panjang.
"Heh, itu ada orang," tunjuk Fitri ke arah belakang mereka.
"Haaah! Syukurlah, Pit. Aku jadi ndak terlalu takut."
Mereka sengaja menunggu orang itu lewat.Tanpa mereka sadari, orang yang berjalan di belakang mereka pun ikut berhenti. Seolah memandang kearah mereka.
"Kok, orangnya malah berhenti toh," celetuk Upil.
Fitri hanya mengangkat bahunya.Kemudian, bayangan itu kembali berjalan.Semakin mendekati mereka. Dengan bermodalkan senter dari ponsel jadul milik Fitri, samar mereka melihat dia seorang wanita. Rambutnya di gelung ke atas.Kini bayangan wanita itu hanya berjarak 5 meter dari mereka.
Tiba-tiba, Upil menarik pergelangan tangan Fitri.
"K-ka-mu ... lihat enggak," tanya Upil.
"Opo?D-dia berjalan membungkuk dengan membawa tongkat, Pit."
Deg!
Jantung mereka bagai berdentum kencang.Detaknya mulai tak beraturan.Mereka berdua berjalan mundur.
YOU ARE READING
KEMATIAN MBOK PITI
HorrorSiang itu, warga gempar. Saat masjid di sekitar rumah mereka, mengumumkan kematian Mbok Piti. Berbagai pertanyaan mulai menjadi perbincangan warga.Mbok Piti sudah berumur 90 tahun. Berjalan pun dia masih kuat, walau harus menggunakan tongkat. Ketuka...