BAGIAN 1

676 22 0
                                    

"Keparat! Goblok...!"
Brak!
Sumpah serapah terdengar dari dalam sebuah pondok kecil di dalam hutan yang sunyi ini, diiringi oleh terdengarnya suara benda pecah, seperti terpukul oleh tangan yang sangat kuat. Dan tak berapa lama, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun tengah tergopoh-gopoh berlari keluar menerjang pintu yang setengah terbuka.
"Jangan pulang kalau belum bawa kepalanya! Gobloook...!"
Terdengar lagi teriakan memaki dari dalam pondok itu. Sementara, pemuda yang berlari keluar itu disambut beberapa orang laki-laki bertampang kasar, yang gagang goloknya menyembul di balik ikat pinggangnya. Sedangkan pemuda berbaju merah muda yang di pinggangnya bergantung sebilah pedang itu terengah-engah, seraya menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Pipinya yang tampak memerah dielus-elusnya. Dan dari sudut bibirnya tampak keluar darah. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
"Kelihatannya dia marah besar padamu, Gondang," ujar seorang laki-laki bertubuh kekar dan berwajah penuh cambang, seraya menghampiri.
"Bukannya marah lagi. Bahkan malah ingin membunuhku!" dengus pemuda yang dipanggil Gondang itu kesal.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Gondang?" tanya seorang lagi yang sejak tadi menggigit-gigit batang rumput.
"Seperti semula," sahut Gondang lesu.
"Maksudmu...?"
"Apalagi kalau bukan membawa kepala Prabu Gelangsaka!" selak seorang yang berdiri di belakang Gondang.
"Benar, Gondang...?"
Gondang hanya mengangguk lesu saja. Maka semuanya jadi terdiam. Mereka semua tahu, siapa Prabu Gelangsaka itu. Dia adalah seorang raja yang memerintah Kerajaan Jatigelang. Tentu saja tugas itu sangat sulit. Sedangkan mereka sudah pasti harus berhadapan dengan para prajurit dan panglima-panglima berkepandaian tinggi yang mengelilingi Raja Jatigelang itu. Maka mereka kini semua jadi menggerutu dalam hati.
"Gondaaang...!"
Terdengar teriakan keras dari dalam pondok. Seketika semua laki-laki yang ada di sekitar depan pondok itu jadi tersentak kaget. Terlebih lagi, pemuda yang bernama Gondang. Wajahnya seketika jadi memucat.
"Kau belum pergi juga, Gondang...?!"
"Aku akan segera pergi, Nyai!" seru Gondang menyahut.
"Ingat, Gondang. Jangan kembali tanpa kepala keparat itu!"
"Baik, Nyai...."
Gondang mendengus dan menggerutu kesal. Sedangkan yang lain hanya diam saja membisu, memandangi pemuda itu. Entah apa arti pandangan mata mereka. Sementara, Gondang sudah melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.
"Ayo, kalian semua ikut aku," ajak Gondang, sambil melompat naik ke punggung kudanya.
Tidak ada seorang pun yang membantah. Walaupun sikap mereka jelas terlihat enggan, tapi semuanya menghampiri kuda masing-masing. Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka berlompatan naik. Tak berapa lama kemudian, sekitar tiga puluh orang berkuda itu sudah bergerak meninggalkan pondok kecil di tengah hutan lebat dan sunyi ini. Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Sementara, Gondang mengendalikan kudanya paling depan. Tampak jelas dari raut wajahnya, kalau Gondang merasa kesal mendapatkan tugas yang dianggap sangat mustahil dilakukan. Tapi, pemuda itu tidak bisa menolak lagi. Dia tahu, apa yang akan terjadi kalau menolak perintah ini.
"Huh! Edan...! Dasar perempuan sableng! Masak memerintah orang seenaknya saja!" dengus Gondang kesal.
"Tidak perlu mengomel begitu, Gondang. Kalau tidak suka, bukankah ada kesempatan untuk lari saja...? Semua pasti akan mengikuti jejakmu, Gondang," usul laki-laki bertubuh kekar yang berkuda di sebelah kanan Gondang.
Kata-kata itu rupanya langsung disambut yang lain dengan penuh semangat. Sedangkan Gondang jadi menghentikan langkah kudanya. Dipandanginya mereka satu persatu.
"Kalian akan tetap mengikutiku?" tanya Gondang seperti ragu-ragu.
"Di antara kami semua, hanya kau yang paling tinggi tingkat kepandaiannya, Gondang. Maka sudah sepantasnya kau jadi pemimpin kami semua," kata laki-laki kekar berbaju warna biru gelap itu tegas.
Gondang jadi terdiam dengan kening sedikit berkerut. Kelihatannya keinginan teman-temannya ini sedang dipikirkannya. Sungguh tidak pernah terlintas sedikit pun dalam kepalanya, pikiran semacam itu. Tapi, ke mana mereka akan pergi.,.? Apakah perempuan yang ada di dalam pondok itu tidak akan mencarinya? Dan kalau dia tahu, apa jadinya nanti...? Segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepala Gondang.
Memang sulit menentukan keputusan saat ini. Tapi mengingat kekesalan hatinya, agaknya usul laki-laki bertubuh kekar itu bisa juga diterima. Mereka semua memang sudah tertekan, sejak perempuan yang dianggap edan itu membunuh pemimpin mereka yang dulu, dan menguasai mereka semua sampai sekarang. Dan perempuan itu dikenal sebagai Nyai Ramit, seorang tokoh yang kepandaiannya cukup diperhitungkan dalam rimba persilatan.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Gondang? Kau tidak percaya pada kesetiaan kami semua...?" desak laki-laki bertubuh kekar itu.
"Aku percaya pada kalian semua. Tapi...," Gondang tidak meneruskan kata-katanya.
"Tapi apa lagi, Gondang? Bukankah ini kesempatan baik untuk kita semua agar terbebas dari perempuan sinting itu...?" desaknya lagi.
"Kalau Nyai Ramit tahu dan mencari kita semua, bagaimana...?" Gondang malah memberikan pertanyaan.
Tidak ada seorang pun yang bisa menjawab. Mereka hanya saling melempar pandangan saja satu sama lain. Sementara Gondang merayapi wajah-wajah yang kelihatan angker itu satu persatu. Memang, mereka semua bertampang angker dan mengerikan. Hanya Gondang saja yang kelihatan lain. Pemuda ini cukup tampan. Dan pakaiannya juga kelihatan selalu bersih. Bahkan senjatanya juga lain sendiri.
"Kami akan menghadapinya, Gondang," kata laki-laki bertubuh kekar itu.
Penegasan itu langsung disambut yang lain dengan suara gegap gempita.
"Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang, kita harus pergi jauh dari jangkauan perempuan itu!" ujar Gondang, akhirnya mengambil keputusan. Dan keputusan Gondang langsung disambut seruan gegap gempita, membuat seluruh isi hutan ini seakan jadi terbangun. Gondang kini nampak tersenyum.
"Ayo kita pergi!" ajak Gondang, agak lantang suaranya.
"Ke mana, Gondang?"
"Aku tahu ada pengiriman barang untuk kerajaan lewat Hutan Jatiwengker. Kita cegat dan rampas barang-barang itu," jelas Gondang.
"Kapan, Gondang?"
"Sekarang."
"Kalau begitu, jangan buang-buang waktu lagi."
"Yeaaah...!"
Mereka semua langsung saja menggebah kudanya mengikuti anak muda itu, tanpa peduli dengan lebatnya hutan ini. Bahkan kuda-kuda itu terus dipacu cepat, sehingga membuat daun-daun kering beterbangan tersepak kaki-kaki kuda.

103. Pendekar Rajawali Sakti : Gadis Bertudung BambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang