BAGIAN 7

338 18 0
                                    

Begitu tubuh Rara Ayu Endang Witarsih tegak, dari luar seseorang berbaju ketat warna hijau muda melesat masuk melalui jendela. Orang itu mengenakan tudung bambu yang menutupi hampir seluruh kepala dan wajahnya. Tampak sebilah pedang yang masih berada di dalam warangka tergenggam di tangan kiri.
"Siapa kau...?!" bentak Rara Ayu Endang Witarsih agak terperanjat.
"Kau tentu masih mengenali suaraku, Witarsih...."
"Diah Arimbi...," desis Rara Ayu Endang Witarsih, langsung bisa mengenali wanita bertudung bambu itu.
"Aku senang kau masih ingat padaku, Witarsih," ujar wanita bertudung itu sambil membuka tudung bambunya. Dan di balik tudung bambu itu, tersingkap seraut wajah cantik. Bibirnya merah, dan kulit wajahnya putih agak kemerahan. Namun sorot matanya begitu tajam, seakan hendak menelan Rara Ayu Endang Witarsih bulat-bulat. Perlahan kakinya melangkah beberapa tindak mendekati Rara Ayu Endang Witarsih. Tudung bambunya dilepaskan begitu saja, hingga menggeletak di lantai yang licin dan berkilat ini.
"Sulit sekali menemuimu, Witarsih. Kau bagai seorang putri raja yang selalu dikelilingi banyak pengawal," ujar wanita bertudung bambu yang ternyata Diah Arimbi, putri Raja Kerajaan Jatigelang terdahulu.
"Seharusnya kau sudah mati, Arimbi. Paman Panglima Sela Gading yang mengatakannya padaku. Kau mati di ujung pedangnya," agak bergetar terdengar suara Endang Witarsih.
"Hyang Widhi belum menghendaki nyawaku, Witarsih. Seseorang telah menyelamatkan nyawaku. Sayang orang sebaik itu juga harus cepat pergi. Aku tidak tahu, ke mana dia pergi. Tapi aku yakin, keberadaannya tidak jauh dari istana ini. Dan aku tidak akan mungkin dibiarkan seorang diri datang ke sini untuk menghukummu. Juga ayahmu, Witarsih."
"A.... Apa yang akan kau lakukan padaku...?" suara Endang Witarsih terdengar bergetar.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa, Witarsih. Kau sudah meracuni ibuku sampai mati. Kemudian, kau racuni juga ayahku. Dan sekarang, kau enak-enakan menjadi putri raja. Kau telah merampas hakku, Witarsih. Tidak ada hukuman yang lebih pantas lagi untukmu, selain mati...," terdengar dingin sekali nada suara Diah Arimbi.
Seketika wajah Endang Witarsih jadi memucat. Gadis itu langsung ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu. Memang, dialah yang membubuhi racun ke dalam minuman Gusti Permaisuri. Dan selang beberapa tahun kemudian, Raja Jatigelang yang merupakan ayah dari Diah Arimbi juga diracunnya. Tapi, sebenarnya semua itu dilakukan atas perintah ayahnya yang sekarang menjadi raja di Kerajaan Jatigelang ini. Dan dulu, ayahnya hanya seorang patih.
Kemudian dengan cara yang sangat halus, mereka berhasil merebut takhta kerajaan ini. Bahkan tidak ada seorang pun yang mencurigainya. Tapi, dari mana Diah Arimbi bisa mengetahui rahasia yang selama ini tertutup rapat....? Pertanyaan yang bergayut di benak Endang Witarsih cepat terjawab oleh munculnya seorang laki-laki tua berjubah putih. Dia masuk ke dalam ruangan ini dari jendela, sama seperti ketika Diah Arimbi masuk tadi.
"Eyang Jamus...!" desis Endang Witarsih tercekat.
"Sejak semula sebenarnya aku sudah curiga waktu kau meminta bubuk racun padaku, Witarsih. Tapi sungguh tidak kusangka kalau racun itu kau gunakan untuk membunuh Gusti Prabu dan Gusti Permaisuri. Aku benar-benar menyesali tindakanmu, Witarsih. Rasanya memang tidak ada lagi hukuman yang pantas untukmu...," terdengar agak berat suara Eyang Jamus.
Memang setelah Raja Jatigelang yang sebenarnya tewas diracun, patih yang bernama Gelangsaka merebut tahta dengan menyingkirkan Diah Arimbi. Gadis itu dibujuk untuk menuntut ilmu kedigdayaan, namun di tengah hutan berusaha dibunuh oleh Panglima Sela Gading. Dan ternyata pembunuhan itu gagal, karena pada kenyataannya Diah Arimbi masih hidup. Hanya Dayang Layung saja yang berhasil ditewaskan. Diah Arimbi yang memang berhasil ditikam Panglima Sela Gading, dan disangka telah mati, ternyata ditolong oleh seorang pertapa tua yang tinggal di Hutan Jatiwengker.
Dia berguru beberapa tahun, dan berhasil mencapai tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Selama petualangannya, Diah Arimbi berhasil menguasai sekelompok perampok setelah berhasil membunuh pemimpinnya. Agar tidak dikenali pihak kerajaan, Diah Arimbi lalu berganti nama menjadi Nyi Ramit. Namun, rupanya anak buahnya yang bernama Gondang mengkhianatinya. Padahal, Diah Arimbi telah menyusun rencana untuk menebus dendamnya pada Raja Jatigelang yang sekarang, Prabu Gelangsaka.
"Tidak...! Kalian semua sudah mati. Kalian tidak bisa membunuhku...!" jerit Endang Witarsih, jadi kalap.
"Pergi kalian. Pergiii...!"
Memang Eyang Jamus yang disangka telah mati, ternyata masih hidup. Waktu itu setelah berhasil membunuh Raja Jatigelang yang dulu, Prabu Gelangsaka memerintahkan untuk membunuh Eyang Jamus, karena takut rahasianya akan terbongkar. Namun, memang Eyang Jamus belum ditakdirkan mati. Ketika tubuhnya dilemparkan ke jurang di pinggir Hutan Jatiwengker, dia tersangkut di sebatang pohon perdu.
Akhirnya, Eyang Jamus berhasil keluar, dan segera mengobati luka-lukanya akibat dikeroyok para Panglima Kerajaan Jatigelang, yang termakan fitnah kalau seakan-akan Eyang Jamuslah yang memberi racun pada ayahanda Diah Arimbi. Setelah berhasil menyembuhkan luka-lukanya, Eyang Jamus kemudian pergi ke dalam Hutan Jatiwengker, dan bertemu Diah Arimbi atau Nyai Ramit. Di situlah dia menceritakan segala rahasia yang ada di Kerajaan Jatigelang kepada Diah Arimbi.
Jeritan Endang Witarsih rupanya terdengar beberapa prajurit yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dan tahu-tahu, sekitar sepuluh orang prajurit sudah berada di dalam ruangan besar dan megah ini. Tapi, mendadak saja wajah mereka jadi terlongong begitu melihat Diah Arimbi. Tentu saja gadis cantik berbaju hijau muda ini sudah tidak asing lagi bagi mereka. Walaupun mereka tidak kenal dengan laki-laki tua yang berada di sebelahnya.
"Bunuh mereka...!" teriak Endang Witarsih jadi kalap.
Tapi perintah gadis itu seperti tidak didengar oleh sepuluh orang prajurit yang masih terlongong bengong ini. Seakan-akan mereka tidak percaya oleh penglihatannya sendiri. Tak lama kemudian, muncul prajurit-prajurit lain ke dalam ruangan ini. Dan mereka juga jadi terperanjat seperti mimpi, ketika melihat Diah Arimbi.
"Kenapa kalian jadi bengong, heh...?! Bunuh mereka kataku!" bentak Endang Witarsih kalap.
Teriakan-teriakan Endang Witarsih, rupanya sampai juga ke telinga Prabu Gelangsaka. Maka laki-laki setengah baya yang masih kelihatan tegap itu segera keluar dari kamar peristirahatannya, dan langsung masuk ke dalam ruangan ini. Dan dia juga jadi terbeliak lebar, begitu melihat Diah Arimbi ada di dalam ruangan ini bersama Eyang Jamus.
"Arimbi...," desis Prabu Gelangsaka hampir tidak terdengar suaranya.
Beberapa saat kesunyian melingkupi ruangan Balai Sema Agung Istana Jatigelang ini. Tiga puluh lebih prajurit sudah berada di dalam ruangan itu, tapi tidak ada seorang pun yang berani bergerak dari tempatnya. Sementara, Prabu Gelangsaka seperti terbius memandangi Diah Arimbi, tidak percaya oleh penglihatannya sendiri.
"Tidak.... Kau sudah mati, Arimbi. Kau sudah mati...," desis Prabu Gelangsaka seraya menggelengkan kepala perlahan beberapa kali.
"Aku belum mati, Paman Gelangsaka. Dan sekarang, aku datang untuk meminta tanggung jawabmu," ujar Diah Arimbi tegas.
"Tidak ada yang bisa kau tuntut dariku, Arimbi," desis Prabu Gelangsaka.
Sret!
Prabu Gelangsaka langsung saja mencabut pedangnya. Sedangkan Endang Witarsih sudah sejak tadi menggenggam sebilah pedang pendek yang selalu terselip di pinggangnya.
"Kau sudah mati, Arimbi...," desis Prabu Gelangsaka agak bergetar. Perlahan laki-laki setengah baya itu melangkah menghampiri gadis berbaju hijau muda itu. Pedangnya yang berkilatan terhunus lurus ke depan, ke dada Diah Arimbi.
"Mungkin waktu itu Panglima Sela Gading mendustaiku. Tapi sekarang, kau harus mati di tanganku, Arimbi."
Semakin dekat saja jarak Prabu Gelangsaka dengan Diah Arimbi. Tapi kelihatannya, gadis cantik ini tetap tenang, tanpa bergeming sedikit pun juga. Padahal, ujung pedang Prabu Gelangsaka sudah begitu dekat dengan dadanya.
"Mampus kau, Arimbi! Hih...!"
"Haiiit...!"
Cepat sekali Diah Arimbi mengegoskan tubuhnya ke kanan, tepat di saat Prabu Gelangsaka menusukkan pedangnya. Dan mata pedang yang berkilatan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Arimbi.
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Diah Arimbi menghentakkan kakinya. Langsung dilepaskannya tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi, dengan tubuh masih tetap doyong ke kanan.
"Hih!"
Wut!
Namun Prabu Gelangsaka memang bukan tokoh kosong. Begitu kaki Diah Arimbi terhentak, cepat sekali pedangnya diputar ke arah kaki. Arimbi jadi terhentak kaget, tidak menyangka. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang, dan melompat ke belakang dua langkah.
"Serang! Bunuh mereka...!" teriak Prabu Gelangsaka keras menggelegar.
Tapi tidak ada seorang prajurit pun yang bergerak menyerang, mematuhi perintah itu. Dan ini membuat Prabu Gelangsaka jadi terhenyak. Cepat kakinya ditarik ke belakang tiga langkah. Dipandanginya prajurit-prajurit yang ada di sekitar ruangan ini yang hanya di-am saja seperti patung.
"Prajurit goblok! Sebaiknya kalian mampus saja semua! Hih...!"
Sambil mendesis geram, Prabu Gelangsaka cepat menghentakkan tangan kirinya. Dan seketika itu juga, melesat beberapa bilah pisau kecil ke arah para prajurit yang berada di sebelah kirinya. Begitu cepatnya pisau-pisau kecil itu melesat, sehingga para prajurit hanya bisa terbeliak, tanpa dapat menghindar lagi.
Crab!
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan melengking seketika terdengar menyayat, disusul robohnya beberapa prajurit yang terkena sambaran pisau-pisau yang dilemparkan Prabu Gelangsaka.
"Witarsih! Bunuh mereka semua!" teriak Prabu Gelangsaka memerintah anak gadisnya.
"Hup! Hiyaaat...!"
Tanpa diperintah dua kali, Endang Witarsih langsung saja melompat menerjang para prajurit yang tidak lagi mematuhi perintah ayahnya. Gerakan gadis itu memang sangat luar biasa cepatnya. Sehingga dalam beberapa kibasan pedang saja, sudah tergeletak sekitar lima orang prajurit
"Hiyaaat..!"
Prabu Gelangsaka langsung melompat menyerang Diah Arimbi. Pedangnya berputaran begitu cepat, mengibas mengurung setiap gerak gadis ini. Sementara dari arah lain, jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah. Memang, Endang Witarsih mengamuk bagaikan singa betina yang terluka.
"Edan...! Benar-benar iblis mereka!" desis Eyang Jamus yang sejak tadi hanya diam saja tanpa bertindak apa-apa. Namun melihat keganasan Endang Witarsih, Eyang Jamus tidak dapat lagi menahan diri. Dan....
"Mundur kalian semua...! Hup! Yeaaah!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, Eyang Jamus langsung saja melesat cepat bagai kilat menerjang Endang Witarsih. Dan secepat itu pula dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras, tepat mengarah ke kepala gadis ini.
"Haiiit...!"
Endang Witarsih memang bukan gadis lemah. Dengan sedikit mengegoskan kepala saja, pukulan yang dilepaskan Eyang Jamus berhasil dihindari. Namun belum juga kepalanya bisa ditarik tegak kembali, Eyang Jamus sudah menyerang lagi dengan kecepatan luar biasa.
Wusss!
Namun pada saat yang tepat, tiba-tiba saja Prabu Gelangsaka menghentakkan tangan kirinya ke arah Eyang Jamus. Padahal, saat itu dia sedang menghadapi Diah Arimbi. Maka seketika sebilah pisau kecil melesat begitu cepat bagai anak panah terlepas dari busur. Dan Eyang Jamus benar-benar tidak tahu akan mendapat serangan dari belakang seperti itu. Karena pada saat yang sama, dia tengah melancarkan serangan terhadap Endang Witarsih. Sehingga....
Jleb!
"Aaa...!"
"Eyang...!"
Diah Arimbi jadi terpekik, begitu melihat Eyang Jamus terhuyung-huyung setelah punggungnya tertembus pisau kecil yang dilemparkan Prabu Gelangsaka dari belakang. Dan tentu saja pekikan itu membuat Diah Arimbi jadi lengah, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan Prabu Gelangsaka. Maka dengan kecepatan kilat, dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga Diah Arimbi tidak dapat lagi berkelit.
Des!
"Akh...!"
Diah Arimbi terpental deras sekali ke belakang, begitu pukulan Prabu Gelangsaka mendarat telak di dadanya. Hampir saja punggung gadis itu menghantam dinding. Untung saja sebuah bayangan putih tiba-tiba saja berkelebat begitu cepat, dan langsung menyambarnya. Tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah memeluk Diah Arimbi dari belakang. Dan tidak berapa lama kemudian, terlihat seorang gadis berbaju biru muda, dengan paras wajah cantik, muncul dari jendela.
Gadis berbaju biru yang tidak lain Pandan Wangi itu langsung menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang masih menyangga tubuh Diah Arimbi. Pemuda tampan yang memang Rangga, dan dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu segera menyerahkan Diah Arimbi kepada Pandan Wangi. Dan tampaknya, Diah Arimbi tidak sadar diri setelah mendapat pukulan yang sangat keras dari Prabu Gelangsaka.
"Bawa keluar, Pandan," pinta Rangga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi segera memapah tubuh Diah Arimbi yang pingsan akibat terkena pukulan keras di dadanya tadi. Langsung gadis itu melompat keluar melalui jendela, setelah memanggul tubuh Diah Arimbi di pundaknya. Sementara itu, terlihat Endang Witarsih sudah melompat sambil mengarahkan pedangnya pada dada Eyang Jamus yang masih terhuyung limbung.
"Hup! Yeaaah...!"
Slap!
Melihat hal itu, cepat sekali Rangga melesat. Maka langsung disambarnya tubuh Eyang Jamus. Dan secepat kilat pula dilepaskannya satu pukulan yang tidak begitu keras ke arah dada Endang Witarsih. Begitu cepat dan tiba-tiba sekali datangnya, sehingga membuat Endang Witarsih jadi terpekik kaget.
"Ikh?! Hup...!"
Cepat-cepat Endang Witarsih melompat ke belakang, membatalkan serangannya. Dan pada kesempatan yang sangat sedikit ini, Rangga segera melesat pergi sambil membawa Eyang Jamus di pundaknya. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga belum juga ada yang bisa menyadari, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak terlihat lagi.
"Prajurit goblok! Cepat kejar...!" bentak Prabu Gelangsaka jadi berang pada prajuritnya yang masih tersisa.
Tapi prajurit-prajurit itu hanya diam saja, seperti tidak mendengar teriakan Prabu Gelangsaka. Dan ini tentu saja membuat amarah Prabu Gelangsaka jadi memuncak.
"Keparat! Kalian sudah berani membangkang, heh...?!" bentak Prabu Gelangsaka berang.
Prajurit-prajurit yang sebagian sudah bergelimpangan berlumuran darah akibat amukan Endang Witarsih, malah bergerak maju mendekati Prabu Gelangsaka dan anak gadisnya. Tampak berada paling depan adalah seorang punggawa berusia muda. Pedang yang tergenggam di tangan kanannya terangkat naik perlahan, dan ditujukan lurus ke wajah Prabu Gelangsaka. Akibatnya, laki-laki setengah baya itu jadi terkesiap.
"Terbongkar sudah kelicikanmu, Gelangsaka. Sekarang juga kau harus turun takhta...!" dingin sekali suara punggawa itu. Kemunculan Diah Arimbi memang membuat prajurit-prajurit itu sudah mengerti, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di kerajaan ini. Dan mereka kini tahu, kalau raja mereka yang terdahulu tewas akibat diracuni. Kata-kata yang diucapkan Diah Arimbi tadi, seakan-akan membuat mata mereka terbuka.
"Setan keparat..! Mampus kalian semua. Hiyaaat..!"
Prabu Gelangsaka tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil memaki dan berteriak keras menggelegar, kedua tangannya cepat dikibaskan, setelah memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Dan seketika itu juga, pisau-pisau kecil berhamburan dari kedua telapak tangan Raja Jatigelang ini.
"Hiyaaat...!"
Pada saat yang bersamaan, Endang Witarsih melompat sambil cepat membabatkan pedangnya bagai kilat. Maka jeritan-jeritan mengiringi kematian pun terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah tak bernyawa lagi. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka semua sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Lantai yang semula licin berkilat, kini tersiram darah menggenang.
"Huh...!"
Prabu Gelangsaka menghembuskan napas berat sambil memandangi prajurit-prajuritnya yang bergelimpangan saling tumpang tindih tak bernyawa lagi. Sementara, Endang Witarsih menghampiri ayahnya dan berdiri di sebelah kanannya.
"Kumpulkan orang-orang kita, Witarsih. Kita harus siap menghadapi keparat-keparat itu. Akan kupenggal leher mereka satu persatu!" perintah Prabu Gelangsaka dengan suara mendengus berat.
"Baik, Ayah," sahut Endang Witarsih.

***

103. Pendekar Rajawali Sakti : Gadis Bertudung BambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang