Dengan gerakan yang sangat ringan, Panglima Sela Gading melompat turun dari punggung kudanya. Begitu ringan gerakannya, pertanda kepandaiannya sudah cukup tinggi. Tapi orang-orang yang, berada di dalam kedai, hanya tersenyum sinis saja melihat cara Panglima Sela Gading melompat turun dari kudanya. Dan hanya Rangga saja yang kelihatan seperti tidak peduli.
Panglima Sela Gading melangkah tegap mendekati kedai itu. Kemudian panglima bertubuh tegap ini berdiri sambil berkacak pinggang, sekitar delapan langkah lagi di depan pintu kedai. Sedangkan mereka yang berada di dalam kedai, hanya diam saja memperhatikan gerak-geriknya.
"Kalian semua yang ada di dalam kedai, cepat keluar...!" terdengar lantang sekali suara Panglima Sela Gading. Tidak ada sahutan sama sekali dari dalam kedai. Namun saat itu, terlihat Rangga bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya mereka yang berada di dalam kedai. Sedangkan Pandan Wangi memandangi Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalian cari kesulitan saja. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi di sini," agak mendengus nada suara Rangga.
Setelah berkata begitu, Rangga melangkah mantap dan ringan sekali menuju luar kedai. Sementara yang lainnya hanya memandangi. Dan mereka juga sudah bangkit berdiri. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di ambang pintu, begitu Rangga berada di luar. Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah berhadapan dengan Panglima Sela Gading dalam jarak sekitar lima langkah lagi.
"Kisanak! Kau pasti bukan orang Jatigelang. Siapa kau?! Dan dari mana asalmu...?!" terdengar begitu dalam sekali nada suara Panglima Sela Gading.
"Namaku Rangga. Aku datang bersama adikku dari Karang Setra, dan hanya kebetulan saja singgah di kota ini, untuk melepas lelah di kedai itu. Maaf kalau tadi terjadi sedikit keributan. Prajurit-prajurit itu yang memulainya lebih dulu," jelas Rangga tenang.
"Kami sedang menjalankan perintah Gusti Prabu Gelangsaka. Dan berdasarkan laporan punggawaku, sikap kalian sudah membuat kami curiga. Maka sebaiknya kalian jangan mempersulit diri lagi. Biarkan kami memeriksa, apakah kalian orang yang kami cari atau bukan," tegas Panglima Sela Gading.
"Maaf, Panglima. Mungkin teman-temanku ini tidak suka melihat cara prajuritmu menjalankan tugasnya. Mereka terlalu menganggap kami seperti sampah. Jadi, maaf kalau ada di antara kami tadi terpaksa bertindak. Kami hanya sekadar membela diri," kata Rangga lagi, masih dengan suara tenang sekali.
"Apa pun alasannya, kau dan teman-temanmu sudah membunuh sembilan orang prajurit. Dan itu sudah membuktikan kalau kalian bukan orang baik-baik. Maaf, aku harus menangkap kalian semua untuk diadili," kata Panglima Sela Gading, tetap tegas.
"Aku yang membunuh prajuritmu, Panglima...!"
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara keras menggelegar. Dan belum lagi hilang suara itu dari pendengaran, tiba-tiba saja dari dalam kedai melesat cepat sebuah bayangan. Dan tahu-tahu, di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, dengan kumis tipis menghiasi bibirnya. Dialah Jangrana, yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Cambuk Api, karena seutas cambuk di tangan kanannya memang bagai lidah api.
"Kau tidak bisa mengadili kami semua, Panglima. Akulah yang membunuh sembilan orang prajuritmu. Jadi, aku yang harus kau tangkap. Tapi itu kalau kau mampu, Panglima," kata Jangrana, agak sinis nada suaranya.
"Hm.... Jadi kau biang keladinya...," desis panglima Sela Gading, dingin.
"Maaf. Mereka terpaksa kubunuh, karena akan menghancurkan kedai ini. Sedangkan aku dan yang lain sedang beristirahat di sini. Bahkan sikap mereka terlalu kasar, dengan menganggap kami seperti orang-orang yang tidak ada harganya sama sekali," tegas Jangrana.
"Kalian memang tidak ada harganya sama sekali!" sentak Panglima Sela Gading lantang.
Kata-kata Panglima Sela Gading, tentu saja membuat orang-orang di kedai itu jadi memerah telinganya. Terlebih lagi, Jangrana. Pendekar Cambuk Api itu langsung mengeretakkan gerahamnya. Bahkan wajahnya seketika jadi memerah.
"Sikapmu seperti bukan seorang panglima saja. Bagiku, kau tidak lebih dari kepala gerombolan liar...!" desis Jangrana tidak bisa lagi menahan amarah.
"Keparat! Berani kau menghina Panglima Sela Gading, hah...?! Kurobek mulutmu, Bangsaaat...!"
"Hhh! Aku khawatir, malah cambukku yang akan merobek isi perutmu!"
"Setan! Serang, bunuh mereka semuaaa...!" teriak Panglima Sela Gading tidak bisa lagi menahan amarahnya. "Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Shaaa...!"
Rangga yang semula bermaksud hendak mencegah terjadinya pertarungan, tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Nyatanya, Panglima Sela Gading sudah memerintahkan prajuritnya untuk menyerang. Dan tentu saja perintah itu tidak bisa dicabut lagi. Maka seketika semua prajurit yang memang sudah mengepung tempat itu langsung saja berhamburan seperti kumpulan ayam melihat butiran beras.
Teriakan-teriakan pembangkit semangat bertarung seketika pecah menggelegar, bagai hendak merobek angkasa. Dan saat itu juga, beberapa buah tombak sudah berhamburan ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pendekar Cambuk Api yang berdiri berdampingan. Maka kedua pendekar itu langsung saja berlompatan, menghindari sambaran tombak-tombak yang mengancam, bersamaan dengan meluruknya para prajurit yang menyerang.
"Sial! Hih! Yeaaah...!"
Rangga jadi menggerutu sendiri dalam hati, karena tidak mungkin lagi bisa keluar dari pertarungan ini. Buktinya dalam waktu sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah dikeroyok puluhan orang prajurit. Sementara, Pendekar Cambuk Api juga sudah berlompatan ke sana kemari, mempertahankan selembar nyawanya. Bukan hanya mereka saja yang harus berjumpalitan menghadapi serangan para Prajurit Kerajaan Jatigelang ini.
Tapi para pendekar lain pun menjadi sasaran serangan pula. Sehingga, mereka terpaksa keluar kedai menyambut prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang ini. Sementara itu sambil bertarung, Rangga terus bergerak mendekati Pandan Wangi yang dikeroyok puluhan prajurit. Dari gerakan-gerakan yang dilakukan, jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti hanya berkelit dan menghindar saja. Malah sedikit pun tidak memberi serangan balasan.
Sementara yang lain sudah mulai merobohkan lawan-lawannya. Bahkan Pandan Wangi sendiri sudah menjatuhkan lima orang prajurit yang menyerang. Hanya Rangga saja yang belum melukai seorang prajurit pun.
"Hup!" Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melesat mendekati Pandan Wangi. Maka hanya sekali lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di samping si Kipas Maut.
"Pandan, ayo pergi dari sini...!" seru Rangga, agak ditekan suaranya.
"Tidak mungkin. Mereka terlalu banyak, Kakang!" sahut Pandan Wangi, sambil meliukkan tubuhnya menghindari hunjaman tombak. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung saja menghentakkan tangannya, mengirimkan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, ke arah kepala prajurit yang baru saja menghunjamkan tombaknya. Begitu cepat pukulannya, sehingga prajurit itu tidak dapat lagi menghindari.
Prak!
"Aaakh...!"
"Pandan...!"
Rangga jadi tersentak kaget, begitu melihat Pandan Wangi menghantam kepala prajurit itu sampai pecah. Maka, darah langsung menyembur deras dari kepala prajurit itu. Beberapa saat dia terhuyung-huyung, kemudian jatuh menggelepar tak bernyawa lagi. Memang sungguh keras pukulan yang dilepaskan si Kipas maut tadi, sehingga kepala prajurit itu sampai pecah tidak berbentuk lagi.
"Kau keterlaluan, Pandan. Hih...!"
"Eh...?!" Pandan Wangi jadi tersentak begitu tiba-tiba saja Rangga sudah menotok tubuhnya. Seketika tubuh Pandan Wangi jadi lunglai tak berdaya. Dan sebelum si Kipas Maut jatuh ke tanah, Rangga sudah menyambar tubuhnya yang telah pingsan tertotok. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat sambil memperdengarkan siulan pendek. Saat itu juga, terdengar ringkikan kuda yang sangat keras, meningkahi suara gaduh pertarungan. Dan tidak lama kemudian, terlihat Rangga sudah berdiri di atas punggung kuda hitamnya sambil memanggul Pandan Wangi.
"Cepat pergi dari sini, Dewa Bayu...!" seru Rangga.
"Hieeegh...!"
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sementara, Rangga mengimbangi dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh di punggung kuda hitam ini. Kuda hitam Dewa Bayu langsung melesat cepat bagai kilat, membawa Rangga yang berdiri di punggungnya sambil memanggul Pandan Wangi.
Beberapa prajurit yang mencoba menghadang kuda itu langsung diterjang tanpa ampun. Sambil mendengus-dengus dan sesekali meringkik, Dewa Bayu terus berlari cepat menerobos kepungan para prajurit Kerajaan Jatigelang. Dan begitu sudah berada di luar kepungan, Dewa Bayu langsung saja melesat dengan kecepatan bagai kilat meninggalkan pertarungan. Sementara, Pandan Wangi tetap pingsan di pundak Pendekar Rajawali Sakti. Sementara pertarungan masih terus berlangsung sengit.
Teriakan-teriakan pertarungan terus terdengar membahana, ditingkahi jeritan-jeritan kematian yang melengking. Tampak tubuh-tubuh bersimbah darah semakin banyak saja yang berjatuhan. Sedangkan dari empat orang yang dikeroyok, belum ada seorang pun yang kelihatan terdesak. Dan memang, tingkat kepandaian para prajurit masih terlalu rendah untuk menghadapi orang-orang dari kalangan persilatan seperti mereka ini.
"Edan...! Bisa habis prajuritku kalau begini terus!" dengus Panglima Sela Gading, begitu menyadari kalau prajuritnya semakin banyak saja yang bergelimpangan bersimbah darah. Maka seketika mulai gentar juga hati panglima itu melihat ketangguhan empat orang yang tidak dikenalnya ini. Hatinya mulai khawatir, kalau pertarungan ini diteruskan, jelas prajuritnya bakal habis terbantai. Apalagi, kemampuan yang dimiliki prajuritnya tidak ada artinya bila dibandingkan empat orang persilatan itu.
"Munduuur...!" teriak Panglima Sela Gading.
Begitu terdengar perintah, prajurit-prajurit yang sejak tadi sebenarnya juga sudah gentar, langsung berlompatan mundur. Dan sebentar saja, pertarungan berhenti. Namun keempat tokoh persilatan itu sudah dikepung kembali oleh puluhan prajurit yang masih tersisa. Mereka seperti tidak menyadari kalau Rangga dan Pandan Wangi sudah pergi sejak tadi.
"Kita tidak mungkin mengalahkan mereka semua. Jumlahnya terlalu banyak...," bisik Dewi Selendang Emas, pelan.
"Coba kalian lihat di sebelah sana...," selak Eyang Jamus.
Mereka semua langsung memandang ke arah yang ditunjuk Eyang Jamus. Tampak serombongan prajurit lain yang berjumlah besar, bergerak menuju ke tempat ini. Empat orang itu jadi saling berpandangan. Namun belum juga sempat berpikir, tiba-tiba saja Rangga muncul kembali ke tempat itu tanpa Pandan Wangi. Entah ditinggalkan di mana gadis itu.
"Kalian pergilah. Biar aku yang akan menghadang mereka," kata Rangga.
"Jangan menganggap enteng mereka, Anak Muda," dengus Eyang Jamus, merasa tersinggung.
"Aku hanya akan menghadang saja. Kalau kalian sudah jauh, aku juga akan pergi dari sini," jelas Rangga. Sebentar mereka saling berpandangan.
"Cepatlah pergi. Prajurit-prajurit itu sudah semakin dekat," desak Rangga.
"Bagaimana...?" tanya Jangrana meminta pendapat.
"Kita pergi saja. Tapi, jangan terlalu jauh," sahut Eyang Jamus.
Tanpa menunggu waktu lagi, mereka langsung cepat berlompatan pergi dari tempat itu. Sementara, Rangga sudah mengepalkan kedua tangannya di samping pinggang. Dan begitu empat orang itu sudah jauh....
"Aji Bayu Bajra! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merentangkan kedua tangannya ke samping. Lalu begitu dihentakkan ke atas, tepat ketika kedua telapak tangannya menyatu rapat di atas kepala, seketika terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Panglima Sela Gading dan prajurit-prajuritnya jadi tersentak kaget. Tapi belum juga rasa terkejut itu hilang, mereka sudah berpelantingan terlanda hembusan angin badai yang tiba-tiba saja tercipta begitu Rangga mengerahkan aji Bayu Bajra.
"Hup! Yeaaah...!"
Di saat prajurit-prajurit itu sedang kalang-kabut, cepat sekali Rangga melesat pergi sambil mencabut ajiannya yang sangat dahsyat itu. Dan memang, Rangga sengaja hanya membuat mereka kalang-kabut saja. Dan di saat yang sangat tepat, tubuhnya langsung melesat pergi dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu cepatnya, hingga sebelum ada yang menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh pergi tanpa terlihat lagi bayangannya.
Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, keluar dari Kotaraja Kerajaan Jatigelang ini. Dan dia baru berhenti, setelah tiba di tempat Pandan Wangi ditinggalkan tadi. Gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu terlihat tergolek seperti tidur di bawah sebatang pohon. Tak jauh dari tempat Pandan Wangi tergolek, terlihat dua ekor kuda seperti menjaganya. Dan kuda-kuda itu menyingkir, saat melihat Rangga datang menghampiri.
Tuk! "Ohhh...!"
Rangga langsung saja membebaskan totokannya di tubuh Pandan Wangi. Gadis itu sebentar kemudian menggeliat sambil mengeluh lirih, seakan-akan baru saja terjaga dari tidur nyenyak. Namun begitu tersadar, Pandan Wangi cepat melompat bangkit berdiri. Dia jadi celingukan, kemudian menatap Rangga yang ber-diri dengan kedua telapak tangan terlipat di depan dada.
"Di mana ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi terlihat agak kebingungan.
"Di tempat yang aman," sahut Rangga kalem. Pendekar Rajawali Sakti kemudian duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi tubuhnya dari sengatan sinar matahari yang sangat terik.
"Lalu, di mana mereka? Prajurit-prajurit itu...?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Mungkin mereka masih ada di sana," sahut Rangga.
Saat itu, terlihat empat orang berjalan melenggang menghampiri kedua pendekar dari Karang Setra ini. Mereka adalah Eyang Jamus, Dewi Selendang Emas, si Golok Setan, dan Jangrana yang juga dikenal sebagai Pendekar Cambuk Api. Mereka langsung saja menggeletak di atas rerumputan, begitu sampai di tempat Rangga beristirahat. Tampak butir-butir keringat membasahi tubuh mereka semua, dengan tarikan napas terdengar memburu. Sementara Pandan Wangi sudah mengambil tempat, duduk di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau benar-benar hebat, Anak Muda. Belum pernah aku melihat aji kesaktian sedahsyat itu...," ujar Eyang Jamus, langsung memuji Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana caranya kau menciptakan badai topan sedahsyat itu, Kisanak?" sambung Jangrana, ingin tahu.
"Ah, tidak ada yang kulakukan," sahut Rangga merendah.
"Sejak pertama kali melihatmu, kau selalu diam dan tidak banyak bicara. Aku yakin, kau seorang pendekar berkepandaian tinggi. Siapa namamu, Anak Muda?" ujar Eyang Jamus lagi. Tampak sekali orang tua itu begitu kagum melihat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga. Dan ini adikku. Namanya Pandan Wangi," sahut Rangga sambil memperkenalkan Pandan Wangi.
Mereka pun saling memperkenalkan diri masing-masing. Dan kini mereka yakin, kalau masing-masing mempunyai satu jalan dan sealiran. Hanya saja, tidak ada yang tahu, untuk apa berada di wilayah Kerajaan Jatigelang ini. Dan memang tidak ada seorang pun yang mau terus terang mengatakannya. Tapi mereka juga bisa memaklumi, hingga tidak ada yang mendesak.
"Rasanya sudah cukup beristirahat. Maaf. Aku mohon diri lebih dulu, karena harus melanjutkan perjalanan," ucap si Golok Setan seraya bangkit berdiri.
"Mau ke mana kau, Paman Golok Setan?" tanya Jangrana.
"Aku harus sampai di Kadipaten Bukakambang secepatnya. Ada yang barus kuselesaikan di sana. Maaf, aku terpaksa meninggalkan kalian di sini," sahut si Golok Setan sambil menjura memberi hormat.
"Hati-hati di jalan, Golok Setan. Hindari bentrokan dengan Prajurit Jatigelang," pesan Dewi Selendang Emas.
"Terima kasih, Nyai Dewi," sahut si Golok Setan.
Setelah menjura memberi hormat sekali lagi, si Golok Setan melangkah meninggalkan tempat ini. Baru setelah si Golok Setan tidak terlihat lagi, Jangrana bangkit berdiri. Pemuda itu juga segera berpamitan, hendak melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya yang masih sangat jauh. Memang hanya dia yang menceritakan tentang tujuannya, dan kenapa berada di Kerajaan Jatigelang ini.
Sebenarnya, Jangrana hanya sekadar singgah saja. Tapi memang tidak ada yang menyangka bisa bentrok dengan prajurit kerajaan. Dan kini, tinggal Rangga, Pandan Wangi, Dewi Selendang Emas, serta Eyang Jamus saja yang masih ada. Untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka suara lebih dulu. Entah apa yang ada dalam kepala masing-masing.
"Kau tidak pergi, Rangga?" tanya Dewi Selendang Emas.
"Aku masih ada urusan di Jatigelang ini," sahut Rangga seraya tersenyum.
"Dengan para prajurit itu...?" goda Eyang Jamus.
Rangga jadi tertawa mendengar gurauan laki-laki tua itu. Dan yang lainnya juga tertawa. Memang, peristiwa yang baru saja dialami bersama, bisa membuat perut mereka serasa tergelitik. Tapi, terasa sekali kalau suara tawa Pendekar Rajawali Sakti terdengar sumbang. Kelihatannya seperti ada sesuatu yang sedang disimpan di lubuk hatinya.
"Lebih dari itu, Eyang. Dan sebenarnya juga, aku tidak ada urusan dengan mereka," kata Rangga setelah berhenti tawanya.
"Sayang sekali, keadaannya sangat buruk untukmu, Rangga," ujar Dewi Selendang Emas.
"Bukan hanya untuknya, Nyai. Tapi juga untuk kita semua," selak Eyang Jamus, jadi agak jengkel suaranya.
"Ya! Semua ini gara-gara Jangrana," dengus Dewi Selendang Emas lagi.
"Aku sendiri heran, untuk apa dia cari gara-gara dengan prajurit-prajurit itu...? Kini kita semua kena getahnya. Huh...!"
"Aku pernah mendengar sedikit tentangnya. Dia memang pemarah, dan cepat sekali naik darah. Tapi segala tindakannya selalu membela yang lemah. Hanya saja tindakannya pada lawan tidak pernah memberi ampun, walaupun hanya persoalan yang kecil sekali," kata Eyang Jamus lagi.
"Huh! Menyesal aku bertemu dengannya. Semua jadi rusak gara-gara dia!" dengus Dewi Selendang Emas lagi.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan mereka saling mengumpat.
"Maaf, kami berdua mohon diri," ujar Rangga seraya bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan Pandan Wangi, dan mengajaknya berdiri. Setelah menjura memberi hormat, kedua pendekar muda itu meninggalkan Eyang Jamus dan Dewi Selendang Emas. Setelah Rangga dan Pandan Wangi pergi, Eyang Jamus baru beranjak. Kemudian Dewi Selendang Emas pun ikut melangkah meninggalkan tempat itu.***
KAMU SEDANG MEMBACA
103. Pendekar Rajawali Sakti : Gadis Bertudung Bambu
AzioneSerial ke 103. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.