BAGIAN 6

359 18 0
                                    

Malam terus merayap semakin larut. Saat itu, Panglima Sela Gading bersama sekitar lima puluh orang prajurit dan lima orang punggawa tengah mengelilingi kotaraja ini, mencari orang yang telah menewaskan lima orang prajuritnya. Semua rumah digeledah, dan semua penghuninya ditanyai. Sampai akhirnya, mereka tiba di pinggiran kota yang sudah begitu jarang sekali terlihat rumah berdiri. Keadaan sekitarnya begitu sunyi dan gelap.
Malam ini bulan memang tidak bersinar penuh. Langit tampak menghitam kelam, tanpa satu bintang pun menghias. Malam ini memang tidak seperti malam-malam sebelumnya. Angin berhembus begitu dingin menusuk tulang, membuat tubuh jadi menggigil. Dan kesunyian begitu terasa, sampai binatang malam pun seakan enggan memperdengarkan suaranya. Panglima Sela Gading memerintahkan prajuritnya untuk berhenti. Kemudian, dia sendiri melompat turun dari punggung kudanya. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, tiba-tiba....
Wusss...!
"Heh?! Ups...!"
Cepat-cepat Panglima Sela Gading memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu terlihat sebuah benda berwarna kuning keemasan meluncur deras ke arahnya. Maka benda kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Panglima Sela Gading yang miring ke kanan, dan langsung menghantam dada seorang prajurit yang berdiri tepat di belakangnya.
Jleb!
"Aaa...!"
Jeritan panjang yang melengking tinggi, membuat semua prajurit yang berada di belakang Panglima Sela Gading jadi terperanjat kaget. Tanpa diperintah lagi, mereka langsung saja menghunus senjata.
"Setan keparat! Keluar kau...!" teriak Panglima Sela Gading lantang menggelegar.
Namun, jawaban yang datang justru adalah benda-benda berwarna kuning keemasan yang meluncur cepat bagai kilat, berhamburan menghujani prajurit-prajurit itu. Dan seketika itu juga, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul berjatuhannya prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang. Sedangkan Panglima Sela Gading terpaksa harus berlompatan sambil cepat membabatkan pedangnya, menghalau benda-benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan itu.
"Hap!"
Tap!
"Yeaaah...!"
Begitu berhasil menangkap sebuah benda yang menghujaninya, dengan kecepatan bagai kilat, Panglima Sela Gading melemparkannya ke arah datangnya.
Srak!
Slap!
Tepat di saat benda bulat kecil berwarna kuning keemasan itu menembus semak, terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat begitu cepat ke luar dari dalam semak. Dan bersamaan dengan itu, serangan benda-benda kecil berwarna kuning keemasan juga berhenti. Namun, sudah lebih dari setengah jumlah prajurit yang bergelimpangan saling tumpang tindih tak bernyawa lagi.
"Hiyaaat...!"
Panglima Sela Gading langsung melesat tinggi ke udara, mengejar bayangan hijau itu. Dan bagaikan kilat, pedangnya dibabatkan ke arah bayangan hijau yang masih berada di udara.
Wuk!
Namun sabetan pedang Panglima Sela Gading hanya mengenai udara kosong saja, karena bayangan hijau itu sudah demikian cepat meluruk ke bawah. Panglima Sela Gading bergegas turun. Dan begitu kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak di depannya sudah berdiri seorang wanita berbaju ketat warna hijau muda. Kepalanya mengenakan tudung bambu lebar, sehingga menutupi sebagian besar wajahnya.
"Siapa kau?!" bentak Panglima Sela Gading langsung bertanya.
"Aku pencabut nyawamu, Pengkhianat!" sahut wanita itu, dingin menggetarkan.
"Heh...?!" Panglima Sela Gading jadi terperanjat mendengar jawaban atas pertanyaannya tadi. Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlompat dua langkah ke belakang. Dicobanya untuk melihat wajah di balik tudung bambu itu. Malam yang gelap, dan wajah yang hanya bagian bibir serta dagunya saja terlihat, memang sulit sekali untuk bisa mengenali wanita ini.
"Siapa kau, heh...?!" bentak Panglima Sela Gading lagi.
"Sudah kukatakan, aku pencabut nyawamu, Panglima Sela Gading!" sahut wanita itu, terdengar bernada kesal.
"Setan...! Berani kau menghinaku, heh...!"
"Tidak ada yang ditakutkan pada pengkhianat sepertimu, Panglima Sela Gading. Yang pantas untukmu, hanya lubang kubur!"
"Keparat! Kurobek mulutmu, Perempuan Setan! Hiyaaat...!"
Panglima Sela Gading tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil menggeram dahsyat, langsung saja panglima itu menyerang dengan kecepatan tinggi sekali. Pedangnya seketika berkelebat berputar begitu cepat, langsung mengurung seluruh tubuh wanita bertudung bambu ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun wanita bertudung bambu ini begitu gesit gerakannya. Sehingga, tebasan pedang Panglima Sela Gading tidak satu pun yang mengenai sasaran. Sementara prajurit-prajurit yang mengiringi panglima itu sudah bergerak rapat mengepung. Mereka memang tinggal menunggu perintah saja dari panglimanya.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Panglima Sela Gading melompat ke belakang, langsung menghentikan pertarungannya. Begitu ringan gerakannya. Sehingga ketika kedua kakinya menjejak tanah, sedikit pun tidak menimbulkan suara. Sementara, wanita bertudung bambu itu berdiri tegak dengan sikap menantang, siap bertarung.
"Seraaang...!" Panglima Sela Gading memberi perintah dengan suaranya yang lantang menggelegar, bagai guntur membelah angkasa.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
Seketika itu juga, para prajurit yang memang sejak tadi tinggal menunggu perintah, langsung berlompatan menyerang wanita bertudung bambu ini.
"Hap! Hiyaaat...!"
Sret!
Cring!
Menghadapi keroyokan yang begitu banyak, tampaknya wanita ini tidak mau mengambil akibat yang lebih parah. Dengan cepat, pedangnya dicabut. Langsung saja tubuhnya berlompatan membabatkan pedangnya dengan cepat, menghajar para prajurit. Dalam beberapa gebrakan saja, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya tiga orang prajurit secara bersamaan.
"Hup! Hiyaaat...!"
Wanita bertudung bambu itu tidak berhenti sampai di situ saja, setelah merobohkan tiga orang prajurit secara bersamaan. Sambil berteriak nyaring, cepat dia melompat ke kanan sambil memiringkan tubuhnya sedikit. Dan pedangnya seketika berkelebat begitu cepat membabat dada seorang prajurit yang berada dekat dengannya. Begitu cepat sabetannya, sehingga prajurit itu tidak dapat lagi menghindar.
Cras!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, diiringi ambruknya seorang prajurit dengan dada terbelah menyemburkan darah segar.
"Hup! Yeaaah...!"
Wanita bertudung bambu itu segera menarik kakinya ke belakang satu langkah sambil menarik tubuhnya hingga doyong ke belakang, begitu Panglima Sela Gading menyerang dengan membabatkan pedang ke arah dada. Dan sedikit saja ujung pedang Panglima Sela Gading lewat di depan dada wanita ini.
"Hup!"
Cepat-cepat wanita bertudung bambu itu melompat ke belakang. Tapi pada saat itu juga, salah seorang punggawa yang berada di belakangnya melepaskan satu pukulan keras ke punggung. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali serangan punggawa itu, sehingga wanita bertudung bambu ini tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, keseimbangan tubuhnya belum sempat dikuasai, akibat menghindari serangan Panglima Sela Gading. Dan pukulan punggawa itu telah menghantam punggungnya.
"Akh...!"
Wanita bertudung bambu itu jadi terpekik kecil, dan tubuhnya kontan terdorong ke belakang tiga langkah. Pada saat itu juga, Panglima Sela Gading sudah melompat menerjang sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Ikh...?!"
Wanita bertudung itu tampak terkejut. Maka cepat-cepat tangan kirinya dikibaskan, untuk melindungi dadanya dari tendangan Panglima Sela Gading. Hingga....
Plak!
"Akh...!"
"Ukh!"
Mereka sama-sama terpental ke belakang, begitu telapak kaki Panglima Sela Gading menghantam lengan wanita bertudung yang menyilang di depan dada itu. Tampak panglima itu meringis menahan nyeri pada telapak tangan kanannya. Sedangkan wanita bertudung ini merasakan, seakan-akan tulang tangan kirinya remuk, akibat menangkis tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
Bet!
Dan belum lagi wanita bertudung itu bisa menguasai keadaan, seorang prajurit yang berada di sebelah kiri sudah melompat, sambil menghunjamkan tombaknya yang panjang ke arah lambung.
"Hih!"
Wuk!
Trak!
Cepat sekali wanita bertudung bambu itu mengibaskan pedangnya, membabat tombak prajurit ini. Seketika, tombak itu patah jadi dua bagian. Dan dengan kecepatan bagai kilat, wanita itu mengibaskan pedangnya setengah berputar.
"Yeaaah...!"
Bret!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat. Prajurit yang menyerang dengan tombak tadi, kini terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terbelah mengeluarkan darah.
"Seraaang...!" teriak Panglima Sela Gading, memberi perintah.
"Hiyaaat...!" "Yeaaah...!"
Kembali wanita bertudung bambu itu dikeroyok puluhan prajurit. Sementara, Panglima Sela Gading sendiri terus menerjang, sambil berteriak-teriak memberi semangat. Serangan dari segala arah ini membuat wanita itu jadi kelabakan juga. Tubuhnya berlompatan sambil memutar cepat pedangnya, untuk melindungi diri dari sabetan pedang dan hujaman tombak.
Namun di saat keadaannya tengah terdesak begitu hebat, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul dari bagian belakang para prajurit. Dan saat itu juga, terlihat beberapa prajurit yang mengeroyok wanita bertudung bambu ini berpelantingan, roboh tak bangun-bangun lagi.
"Heh...?! Apa itu...?!" desis Panglima Sela Gading terperanjat. Keterkejutan Panglima Sela Gading cepat terjawab oleh terlihatnya sepasang anak muda yang tengah mengamuk menghajar prajurit-prajurit. Amukan kedua anak muda itu membuat kepungan prajurit ini jadi berantakan. Dan kesempatan yang hanya sedikit ini, tidak disia-siakan wanita bertudung bambu itu. Dengan sisa-sisa tenaga dan kekuatannya, dia melompat sambil membabatkan pedangnya diiringi teriakan keras menggelegar.
"Hiyaaat...!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling susul. Dan tubuh-tubuh bersimbah darah semakin banyak bergelimpangan di sekitar pertarungan. Sementara, Panglima Sela Gading jadi terperangah melihatnya. Kini tinggal beberapa orang lagi prajuritnya yang masih bertahan.
"Setan! Bisa mati aku, kalau begini terus...," dengus Panglima Sela Gading.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu merasa ada kesempatan, cepat sekali Panglima Sela Gading melompat keluar dari kancah pertarungan. Dia langsung naik ke punggung kudanya, dan cepat menggebahnya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Kuda coklat berbelang putih milik Panglima Sela Gading segera melesat bagai anak panah lepas dari busurnya. Sementara, sisa prajurit yang ditinggalkan tidak dapat lagi menahan gempuran tiga orang lawannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka semua sudah bergelimpangan tak bangun-bangun lagi. Kini di tempat pertarungan, terlihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di samping kanan gadis cantik berbaju biru muda. Dan di depan mereka, berdiri wanita bertudung bambu yang mengenakan baju warna hijau muda ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang indah.
"Terima kasih, kalian sudah membantuku. Kalau tidak ada kalian, aku pasti sudah mati tercincang," ucap wanita bertudung bambu itu.
"Kebetulan saja kami berdua memang sedang mengejar mereka semua," kata Rangga.
"Oh...?! Apa persoalan kalian dengan Prajurit-prajurit Jatigelang?" tanya wanita bertudung itu tampak terkejut.
"Hanya mencoba menghentikan tindakan liar mereka saja. Terutama sekali panglimanya," sahut Rangga kalem.
"Sayang, dia bisa lolos," selak Pandan Wangi agak mendengus.
"Hm...," wanita bertudung bambu itu menggumam kecil.

***

Brak!
"Goblok...!"
Sebuah meja dari kayu jati yang cukup tebal seketika hancur berkeping-keping, terhantam pukulan keras dari tangan yang kekar dan berotot. Tampak Prabu Gelangsaka berdiri tegak di samping meja yang hancur berantakan. Di depannya, terlihat Panglima Sela Gading duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk begitu dalam, seakan tidak sanggup memandang wajah Prabu Gelangsaka yang memerah menahan kemurkaannya.
"Berapa orang prajurit yang kau bawa, Panglima?" tanya Prabu Gelangsaka.
"Sekitar lima puluh orang, Gusti Prabu," sahut Panglima Sela Gading.
"Lima puluh orang tidak sanggup menghadapi tiga orang...?!" tinggi sekali nada suara Prabu Gelangsaka. "Memalukan...! Kau tidak ada gunanya, Panglima."
"Tapi, Gusti.... Mereka sangat tangguh dan berkepandaian tinggi. Mereka bukan tandingan para prajurit, Gusti."
"Aku tidak sudi mendengar alasan apa pun darimu, Panglima! Sekarang juga, siapkan seribu prajurit. Bunuh mereka semua. Mengerti...?!"
"Hamba, Gusti Prabu."
Setelah menyembah memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, Panglima Sela Gading beranjak pergi meninggalkan Balai Sema Agung Istana Jatigelang ini. Begitu berada diluar, langsung ditemuinya para panglima lain yang kedudukannya masih berada di bawahnya. Lalu, mereka diperintahkan untuk mengumpulkan seribu orang prajurit secepatnya.
Tanpa ada yang membantah, enam orang panglima itu segera meniup sangkala, untuk mengumpulkan seluruh prajurit di alun-alun istana. Sebentar saja, alun-alun yang luas itu sudah dipenuhi prajurit bersenjata lengkap. Tampak Panglima Sela Gading didampingi enam orang panglima bawahannya, berada di punggung kuda masing-masing. Mereka memeriksa kesiapan para prajurit yang berjumlah sangat besar ini.
Dari sekian banyak prajurit, dia memilih seribu prajurit yang kelihatan masih segar, kokoh, dan berhati baja. Dengan jumlah seribu orang, mereka harus menghadapi tiga orang saja. Dan sebenarnya pula, Panglima Sela Gading merasa malu melakukannya. Tapi perintah Prabu Gelangsaka tidak bisa ditolak lagi. Tiga orang itu harus ditangkap dengan mengerahkan prajurit dalam jumlah sangat besar.
"Perintahkan mereka bergerak ke selatan!" perintah Panglima Sela Gading.
Maka seketika iring-iringan para prajurit pun bergerak keluar dari lingkungan benteng istana. Bumi serasa berguncang oleh derap langkah prajurit-prajurit yang bagaikan sedang menuju medan perang. Mereka terus bergerak cepat, menuju selatan. Sementara, Panglima Sela Gading yang didampingi enam orang panglima bawahannya berkuda paling depan. Kepergian prajurit-prajurit itu tidak terlepas dari perhatian Prabu Gelangsaka dari balik jendela ruangan Balai Sema Agung. Tampak jelas dari raut wajahnya, terpancar kecemasan yang tidak dapat lagi disembunyikan. Hanya tiga orang saja yang harus dihadapi, tapi harus mengerahkan prajurit dalam jumlah sangat besar, seperti hendak berperang dengan kerajaan lain. Dan yang tersisa di istana ini, hanya sekitar seratus orang prajurit saja.
"Ayah...."
"Oh...?!"
Prabu Gelangsaka tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Cepat tubuhnya berputar berbalik. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri Rara Ayu Endang Witarsih.
"Ayah! Apakah tidak terlalu berlebihan dengan mengerahkan begitu banyak prajurit, hanya untuk menghadapi perampok-perampok itu...?" ujar Rara Ayu Endang Witarsih.
"Memang, jumlah mereka hanya tiga orang, Witarsih. Tapi mereka bukan orang-orang biasa. Aku yakin, mereka bukan perampok biasa. Tapi, ada maksud tertentu di balik semua ini," kata Prabu Gelangsaka.
"Maksud, Ayah...?"
"Hm.... Aku menduga, gadis bertudung itu adalah Rara Ayu Diah Arimbi...," gumam Prabu Gelangsaka perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.
"Mustahil dia masih hidup, Ayah. Bukankah Paman Panglima Sela Gading sendiri yang membawa mereka ke dalam hutan, dan membunuhnya di sana bersama Bibi Layung...? Jadi, mustahil kalau mereka masih hidup, Ayah," bantah Rara Ayu Endang Witarsih.
Prabu Gelangsaka hanya diam saja, seperti ada yang tengah dipikirkannya saat ini. Sesuatu yang membuat hatinya jadi gelisah penuh kecemasan. Kakinya lalu melangkah perlahan, dan menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang yang ada di dalam ruangan berukuran besar ini. Sedangkan Rara Ayu Endang Witarsih masih tetap berdiri saja. Bahkan kini berdiri membelakangi jendela berukuran besar yang terbuka lebar, membuat cahaya matahari leluasa menerobos masuk menerangi seluruh ruangan ini.
"Aku ingin istirahat dulu. Jangan ganggu aku, Witarsih," ujar Prabu Gelangsaka, seraya beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.
Sementara Rara Ayu Endang Witarsih masih tetap berdiri diam membelakangi jendela. Keningnya terlihat agak berkerut, pertanda ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Perlahan kakinya melangkah sambil menghembuskan napas panjang. Namun, ayunan kakinya tiba-tiba saja terhenti. Dan....
Wusss...!
Gadis itu cepat berbalik sambil memiringkan tubuhnya, tepat di saat sebuah benda bulat kecil berwarna kuning keemasan melesat cepat menerobos dari jendela.
"Hap...!"
Slap!

***

103. Pendekar Rajawali Sakti : Gadis Bertudung BambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang