Kedatangan dua pedati yang masing-masing hanya berisi wanita serta peti-peti kayu berisi emas tanpa seorang pun prajurit pengawal, tentu saja membuat seluruh penghuni Istana Kerajaan Jatigelang jadi gempar. Terlebih lagi, di antara wanita itu terdapat Rara Ayu Endang Witarsih, putri tunggal Prabu Gelangsaka. Memang perjalanan Rara Ayu Endang Witarsih sebenarnya adalah menuju Kerajaan Soka, untuk menemui calon suaminya di sana. Dan anak Raja Soka memang telah dijodohkan dengan Rara Ayu Endang Witarsih.
Sudah menjadi kebiasaan bagi para raja, bila ingin berkunjung ke kerajaan lain akan selalu membawa oleh-oleh berupa emas dan barang-barang berharga lainnya. Maka tak heran kalau Rara Ayu Endang Witarsih harus dikawal sepasukan prajurit kerajaan. Dan begitu mereka berada di Balai Sema Agung, Rara Ayu Endang Witarsih menceritakan semua yang terjadi di perjalanan. Prabu Gelangsaka jadi menarik napas lega, karena akhirnya Rara Ayu Endang Witarsih selamat. Namun demikian masih tersirat pada raut wajahnya, kalau dia menyimpan kemurkaan atas tewasnya Panglima Wanengpati di tangan para perampok itu.
"Aku sendiri juga bingung, Ayah. Pemimpin perampok itu sama sekali tidak mengganggu kami. Malah meninggalkan begitu saja. Yang diambil hanya pedati yang berisi barang-barang emas saja," jelas Rara Ayu Endang Witarsih lagi.
"Mereka tidak tahu kalau kau ada di antara dayang-dayangmu, Anakku?" tanya Prabu Gelangsaka.
"Tidak, Ayahanda Prabu. Aku berada di tengah-tengah. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang memeriksa ke dalam pedati," sahut Rara Ayu Endang Witarsih.
"Lalu apakah kau tahu, siapa yang membasmi perampok-perampok itu?" tanya Prabu Gelangsaka lagi.
Rara Ayu Endang Witarsih hanya menggeleng saja, menjawab pertanyaan ayahnya ini. Sedangkan semua dayang yang duduk bersimpuh di belakang Rara Ayu Endang Witarsih juga menggelengkan kepala, saat Prabu Gelangsaka memandanginya satu persatu. Seakan-akan meminta jawaban dari pertanyaannya tadi.
"Tapi, Ayahanda Prabu...," ujar Rara Ayu Endang Witarsih bernada terputus.
"Ada apa, Witarsih?"
"Aku melihat ada bekas tapak kaki kuda di antara mayat-mayat perampok itu."
"Hm...," Prabu Gelangsaka jadi menggumam pelan.
"Tapi tadi kau mengatakan, perampok-perampok itu semuanya menunggang kuda...."
"Benar, Ayah. Tapi jejak kaki kuda yang kulihat, justru arahnya menuju ke sini. Ke kotaraja ini...," sahut Rara Ayu Endang Witarsih.
"Oh..., apa mungkin ada di antara mereka yang menyelusup ke sini...?" nada suara Prabu Gelangsaka seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mungkin, Ayah," ujar Rara Ayu Endang Witarsih.
"Kalau begitu, mereka harus segera ditangkap," kata Prabu Gelangsaka, agak mendesis suaranya. "Berapa orang mereka, Witarsih?"
"Hanya dua orang."
"Dua orang...," gumam Prabu Gelangsaka perlahan.
Beberapa saat Raja Jatigelang yang berusia enam puluh tahun itu terdiam dengan kening berkerut. Sedangkan Rara Ayu Endang Witarsih juga terdiam membisu.
"Beristirahatlah dulu, Anakku. Perjalananmu pasti sangat melelahkan," ujar Prabu Gelangsaka.
"Baik, Ayahanda Prabu." Setelah memberi sembah hormat, Rara Ayu Endang Witarsih meninggalkan Balai Sema Agung Istana Kerajaan Jatigelang ini, diikuti dayang-dayangnya dengan sikap begitu hormat.
Mereka juga memberi sembah hormat pada Prabu Gelangsaka, sebelum meninggalkan ruangan yang megah ini. Sementara Prabu Gelangsaka masih terdiam sambil bertopang dagu memikirkan cerita anak gadisnya barusan.
"Aneh...! Siapa perampok-perampok itu...? Aneh sekali tindakan mereka. Tidak seperti perampok lainnya. Hm....," gumam Prabu Gelangsaka, bicara pada diri sendiri.
Perlahan laki-laki tua ini mengangkat kepalanya. Dan tatapan matanya langsung tertuju pada seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, mengenakan seragam prajurit berpangkat panglima. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang yang cukup panjang. Panglima itu segera memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Panglima Sela Gading...."
"Hamba, Gusti Prabu."
"Kerahkan prajurit-prajuritmu. Cari dua orang perampok itu, dan bawa ke sini dalam keadaan hidup. Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada mereka," perintah Prabu Gelangsaka.
"Segala titah Gusti Prabu akan hamba laksanakan," sahut Panglima Sela Gading.
"Kerjakan sekarang juga, Panglima Sela Gading."
"Hamba, Gusti Prabu."***
Siang yang panas ini, semakin bertambah panas dengan menyebarnya para prajurit Kerajaan Pringgada ke seluruh pelosok kerajaan ini. Mereka memang dipe-rintahkan untuk mencari perampok-perampok yang dikatakan masih ada dua orang lagi. Dan diduga, kedua perampok itu berada di dalam kotaraja ini. Semua rumah digeledah, dan penghuninya ditanyai. Dan mereka yang dicurigai, langsung ditangkap tanpa mengenal ampun.
Bahkan tidak jarang prajurit-prajurit itu bertindak kasar. Siapa saja yang dicurigai, langsung dirantai, digiring ke istana. Tindakan yang dilakukan Panglima Sela Gading dan para prajuritnya, tentu saja membuat kekacauan di seluruh pelosok Kotaraja Jatigelang ini. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, penyebab dari semua tindakan kasar para prajurit itu.
Semua orang hanya saling bertanya saja, tanpa tahu sebabnya. Sementara itu tidak jauh dari gerbang perbatasan kota, di sebuah kedai kecil yang terbuka, Rangga dan Pandan Wangi juga menyaksikan semua tindakan para prajurit. Di dalam hati mereka, tentu saja timbul pertanyaan. Prajurit-prajurit itu memang bertindak kasar. Dan siapa saja yang mencoba melawan, langsung ditangkap tanpa ampun lagi. Bahkan ada beberapa prajurit yang secara kasar mengobrak-abrik beberapa rumah penduduk.
Jerit dan tangis mewarnai seluruh pelosok kerajaan ini. Dan semua tindakan prajurit itu tidak terlepas dari pengamatan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut dari dalam kedai. Bahkan bukan hanya mereka. Beberapa pengunjung kedai yang semuanya berasal dari kalangan persilatan juga menyaksikan.
"Tindakan mereka benar-benar liar! Sama sekali tidak menampakkan kalau mereka adalah prajurit!" dengus Pandan Wangi mulai muak.
"Jangan bicara sembarangan, Nisanak. Kalau mereka dengar, bisa ditangkap nanti," tegur laki-laki setengah baya pemilik kedai ini memperingatkan.
Pandan Wangi hanya melirik sedikit saja pada pemilik kedai itu. Sedangkan pengunjung lain mulai melirik gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Di antara mereka, ada seorang pemuda berwajah cukup tampan. Bajunya warna putih bersih. Wajahnya juga dihiasi kumis tipis. Dan matanya terus memandangi Pandan Wangi dengan sinar mata sulit diartikan. Sedangkan Pandan Wangi sendiri, sama sekali tidak tahu kalau sejak tadi dipandangi terus-menerus.
"Apa yang mereka cari sebenarnya...? Kenapa sampai menyusahkan rakyat begitu...?" gumam Pandan Wangi, seperti bertanya sendiri.
"Mereka mencari dua orang perampok," selak salah seorang pengunjung kedai ini.
Pandan Wangi segera memutar tubuhnya ke arah sahutan tadi hingga berhadapan dengan laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Memang dia sejak tadi sebenarnya duduk tepat di depannya. Walaupun usianya sudah hampir setengah baya, tapi wajahnya masih kelihatan tampan. Dan senyumnya begitu menarik. Dari pedang yang tergeletak di atas meja panjang ini, bisa dipastikan kalau dia dari kalangan persilatan.
"Perampok...?" nada suara Pandan Wangi seperti bertanya.
"Kemarin rombongan Rara Ayu Endang Witarsih disergap perampok. Seluruh prajurit dan panglimanya mati terbunuh. Perampok itu mengambil pedati yang penuh berisi emas dan perak. Tapi Rara Ayu Endang Witarsih bersama dayang-dayangnya selamat. Mereka kini telah kembali ke istana dan melaporkan semuanya," jelas orang tua itu gamblang.
"Tentu jumlah perampok itu sangat banyak," ujar Pandan Wangi, agak menggumam suaranya.
"Memang. Tapi, mereka sudah mati semua."
"Mati...?!" Pandan Wangi tampak terkejut
"Mereka mati terbunuh di tengah jalan. Tapi dengar-dengar ada dua orang yang berhasil melarikan diri, dan diduga sekarang ada di kota ini. Sedangkan pedati yang berisi perhiasan emas dan perak bisa diselamatkan."
"Hm.... Bagaimana mungkin itu bisa terjadi...?" gumam Pandan Wangi lagi, seperti bertanya pada diri sendiri. Sedikit Pandan Wangi melirik Rangga yang sejak tadi diam saja, duduk di sebelah kirinya.
Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mendengarkan pembicaraan ini. Sementara, terlihat sepuluh orang prajurit menda-tangi kedai ini. Sedangkan semua orang yang berada di dalam kedai itu sudah memperhatikannya sejak tadi. Keenam orang berada di kedai memang dari kalangan persilatan, semuanya membawa senjata yang beraneka ragam bentuk dan ukurannya.
"Kalian semua yang ada di dalam kedai, keluar...!" teriak salah seorang prajurit berpangkat punggawa, dengan suara lantang menggelegar.
Laki-laki setengah baya pemilik kedai, bergegas keluar dengan raut wajah dan sikap ketakutan sekali. Langsung tubuhnya berlutut di depan sepuluh orang prajurit itu.
"Hanya ada enam orang tamu di kedaiku. Gusti Prajurit. Dan aku tidak mengenal mereka sama sekali," kata pemilik kedai itu, tanpa ditanya lagi.
"Suruh mereka keluar semua!" bentak punggawa itu, terdengar kasar sekali suaranya.
Tiba-tiba saja terdengar sahutan dari dalam kedai. "Kami semua tidak ada urusan denganmu, Prajurit. Pergilah, jangan merusak istirahat kami di sini...!"
"Heh! Kurang ajar...!" desis punggawa itu, jadi berang.
Wajah punggawa itu seketika memerah. Sedangkan kedua bola matanya menyorot bagai bola api, menatap tajam ke arah kedai. Sementara enam orang yang duduk mengelilingi meja panjang di dalam kedai itu kelihatan tenang sekali, seperti tidak menghiraukan prajurit-prajurit yang mulai berang.
"Minggir kau! Hih...!"
Duk!
"Akh...!"
Pemilik kedai itu terpekik dan jatuh terguling di tanah, begitu tubuhnya terkena tendangan punggawa yang cukup keras ini. Punggawa itu melangkah mendekati kedai, dan langsung saja meloloskan pedangnya. Sementara, sembilan prajurit yang bersamanya sudah siap dengan tombak tergenggam erat.
"Aku perintahkan sekali lagi, keluar kalian...!" bentak punggawa itu lantang menggelegar.
"Atau, kalian ingin kedai ini kuhancurkan...?!"
"Hati-hati dengan ucapanmu, Prajurit. Bisa-bisa, mulutmu yang hancur...!" Terdengar lagi sahutan kalem dari dalam kedai.
"Heh...?!" Punggawa itu jadi tersentak kaget mendengar kata-kata yang jelas sekali bernada tantangan itu. Padahal sejak tadi matanya merayapi keenam orang di dalam kedai ini, tapi tidak ada seorang pun yang membuka mulutnya. Tapi suara itu, jelas sekali terdengar dari arah kedai.
"Bangsat keparat...!" geram punggawa itu berang.
"Hancurkan semuanya...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sembilan orang prajurit itu langsung berlarian ke arah kedai. Tapi belum juga sampai ke pintu, mendadak saja dari arah kedai melesat deras potongan-potongan kayu bagai anak panah lepas dari busur. Dan seketika itu juga....
"Akh!"
"Aaa...!"
Prajurit-prajurit itu menjerit melengking, begitu tubuh mereka tertembus potongan kayu. Dan mereka langsung ambruk menggelepar dengan darah mengalir dari bagian tubuh yang menjadi sasaran potongan kayu.
"Heh...?! Keparat...!" geram punggawa itu terkejut.
Betapa tidak...? Sembilan orang prajuritnya seketika tewas, sebelum mencapai pintu kedai. Apalagi hanya potongan kayu saja yang membuat mereka menggeletak tidak bernyawa lagi. Wajah punggawa itu jadi memerah menahan amarah. Tapi melihat keadaan sembilan orang prajuritnya, hatinya jadi gentar juga. Maka cepat disadarinya kalau saat ini sedang menghadapi orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi. Beberapa saat punggawa itu memandangi satu persatu mereka yang ada di dalam kedai itu. Lalu sambil menggereng menahan geram, tubuhnya cepat berbalik dan melangkah cepat-cepat meninggalkan kedai itu.
Sementara, laki-laki setengah baya pemilik kedai itu bergegas masuk kembali ke dalam kedainya yang kecil ini.
"Sebaiknya kalian cepat pergi. Punggawa itu pasti kembali lagi bersama prajurit yang lebih banyak lagi," ujar pemilik kedai itu dengan suara tersendat ketakutan.
"Kalau kami pergi, lalu dengan apa kau akan menghadapi mereka, Paman?" selak pemuda tampan yang tadi memandangi wajah Pandan Wangi terus-menerus. Suaranya terdengar begitu lembut, bagai seorang pangeran. Dan matanya kini memandangi yang lain, seakan meminta dukungan atas ucapannya barusan.
"Benar, Paman. Kami tidak akan beranjak dari sini. Kecuali, kalau kau memang mau menghadapi mereka sendiri," kata laki-laki bertubuh kekar dan berkumis tebal melintang, hampir menutupi bibirnya yang tebal. Goloknya yang terselip di pinggang dikeluarkan dan diletakkan di atas meja. Dari ciri-ciri goloknya, orang pasti sudah bisa tahu kalau dia adalah si Golok Setan.
"Seribu prajurit pun, tidak akan sanggup menghadapi kami, Paman," sambung seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang sejak tadi diam saja.
Walaupun usianya sudah berkepala empat, tapi raut wajahnya masih terlihat cantik. Bentuk tubuhnya pun masih ramping, padat dan berisi. Bahkan rasanya masih sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya. Kelihatannya, dia tidak membawa sebuah senjata. Tapi di pinggangnya, terlilit sehelai selendang berwarna kuning keemasan. Dan semua orang tahu, selendangnya adalah senjata andalannya. Di kalangan orang-orang persilatan, wanita ini dikenal sebagai Dewi Selendang Emas.
Sedangkan dua orang lagi bernama Jangrana. Dan dialah pemuda tampan yang sejak tadi terus-menerus memandangi Pandan Wangi. Sementara seorang lagi, yang duduk di samping Dewi Selendang Emas, adalah seorang laki-laki tua berjubah putih. Rambut, kumis, dan jenggotnya juga sudah memutih semua. Hanya sebatang tongkat kecil saja yang berada di tangan kirinya. Sebenarnya, dia bernama Eyang Jamus. Tapi di kalangan rimba persilatan, julukannya adalah Malaikat Bayangan Putih. Sementara itu, dua orang lagi tentu saja Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Dan mereka juga seringkali disebut sebagai Sepasang Pendekar Karang Setra.
"Pergi sajalah kalian semua. Kalian malah akan menghancurkan kedaiku ini, kalau prajurit-prajurit itu datang lagi," kata pemilik kedai itu dengan suara yang sangat memelas.
"Pergi atau tidak, keadaannya akan tetap sama, Paman. Biarlah kami sedikit memberi pelajaran pada mereka, agar bisa bertindak lebih halus lagi. Jangan seenaknya saja menyiksa rakyat lemah," tegas Dewi Selendang Emas, agak mendengus suaranya.
"Tapi...."
"Sudahlah, Paman. Berapa harga kedaimu ini? Biar kubayar semuanya," selak Jangrana sambil mengeluarkan sebuah pundi dari kulit.
Pemuda tampan itu langsung saja melemparkan pundi kulit itu ke depan pemilik kedai ini. Melihat pundi yang kelihatan penuh itu, kedua bola mata pemilik kedai ini jadi terbeliak juga. Dengan tangan agak bergetar, dibukanya tali pengikat pundi itu. Dan wajahnya seketika semakin bersinar, begitu melihat pundi itu berisi kepingingan emas yang tentu saja terlalu banyak bila untuk membayar kedainya.
"Den...," tersendat suara pemilik kedai itu.
"Ambil semua, Paman. Dan pergilah dari sini, sebelum prajurit-prajurit itu datang," kata Jangrana cepat, memutuskan ucapan pemilik kedai itu. Belum juga pemilik kedai itu bisa mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan yang disertai hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Maka seketika tanah di sekitar kedai ini jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan tak lama kemudian, terlihat kurang lebih seratus prajurit berkuda mendatangi kedai ini. Tampak di antara mereka, punggawa yang tadi datang bersama sembilan prajuritnya.
"Mereka datang...," desis pemilik kedai bergetar.
"Pergilah, Paman. Dari belakang," ujar Dewi Selendang Emas.
Tanpa bicara apa pun juga, pemilik kedai itu bergegas pergi melalui jalan belakang. Sebentar dia tertegun setelah berada di bagian belakang kedainya, namun kemudian sudah cepat-cepat melangkah lagi, mengambil jalan memutar. Setelah melewati beberapa rumah, pemilik kedai itu berhenti dan berlindung di balik sebatang pohon. Dipandanginya kedainya yang kini sudah terkepung tidak kurang dari seratus dua puluh orang prajurit. Tampak di antara prajurit-prajurit yang sudah mengepung rapat kedai itu, ada Panglima Sela Gading.***
KAMU SEDANG MEMBACA
103. Pendekar Rajawali Sakti : Gadis Bertudung Bambu
AcciónSerial ke 103. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.