BAGIAN 2

422 18 0
                                    

Siapa yang tahu kalau gerombolan perampok yang menjegal pasukan prajurit Kerajaan Jatigelang ternyata dipimpin oleh Gondang. Dia memang telah memutuskan untuk memimpin anak buahnya lari dari Nyai Ramit, pemimpin mereka yang sekarang. Mereka kini cepat meninggalkan jalan itu, setelah mendapatkan satu pedati penuh berisi barang emas yang sangat berharga.
Kekecewaan anak buah Gondang yang mengharapkan wanita-wanita yang ada di dalam pedati lainnya, bisa terobati setelah mengetahui pedati yang dibawa penuh berisi barang yang tidak ternilai harganya. Namun belum begitu jauh mereka pergi, mendadak saja sesosok tubuh ramping sudah menghadang di tengah jalan. Kemunculan yang begitu tiba-tiba, membuat mereka jadi terkejut.
Gondang yang sudah diangkat menjadi pemimpin, melangkah maju beberapa tindak dengan sikap dibuat garang. Cukup sulit mengenali orang yang menghadang ini, karena memakai tudung bambu yang cukup lebar. Hingga, sebagian besar wajahnya tertutupi. Hanya bagian bibir dan dagu saja yang terlihat. Namun dari bentuk tubuh dan bibirnya yang merah, sudah bisa dipastikan kalau orang itu wanita. Tubuhnya yang ramping, terbungkus baju cukup ketat berwarna hijau muda. Sementara sebilah pedang tergenggam di tangan kanannya.
"Nisanak, menyingkirlah. Biarkan kami lewat," kata Gondang dibuat ramah suaranya.
"Kalian boleh lewat, asal tinggalkan pedati itu," tegas sekali suara wanita bertudung ini.
"Jangan bermain-main, Nisanak. Kami tidak ingin menyakiti wanita. Menyingkirlah, sebelum anak buahku merajang tubuhmu," kata Gondang, mulai bangkit amarahnya.
"Aku hanya berkata sekali. Tinggalkan pedati itu, atau kalian semua akan merasakan akibatnya!"
Gondang jadi menggereng geram mendengar kata-kata wanita bertudung ini. Wajahnya langsung saja memerah. Tapi belum juga pedangnya dicabut, dua orang anak buahnya sudah melangkah maju mendekati.
"Biarkan kami berdua yang menghajarnya, Gondang," kata salah seorang yang berbaju hitam. Bagian dadanya tampak terbuka lebar, memperlihatkan bulu-bulunya yang cukup lebat.
"Hm...," Gondang hanya menggumam perlahan saja. Dan Gondang lalu melangkah ke belakang beberapa tindak.
Sementara dua orang yang sudah berusia setengah baya itu melangkah maju beberapa tindak dan langsung menghunus golok. Sedangkan wanita bertudung ini hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Seakan tidak dipedulikannya dua orang yang sudah berada begitu dekat, di kanan dan kirinya.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, dua orang itu langsung saja melompat menyerang sambil membabatkan golok ke arah kaki dan kepala wanita bertudung ini. Tapi hanya sedikit saja menarik kakinya ke belakang sambil merunduk, serangan dua orang ini berhasil dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali, wanita bertudung bambu itu melakukan gerakan berputar yang begitu cepat. Dan pada saat itu juga, dilepaskannya dua kali pukulan.
"Hih! Yeaaah...!"
Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan wanita bertudung ini, sehingga dua orang anak buah Gondang tidak dapat lagi menghindarinya.
Plak!
Duk!
"Ugh...!"
"Aaakh...!"
Dan mereka kontan terpekik, begitu pukulan wanita bertudung ini mendarat telak di dada. Kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Tampak dari mulut mereka menyemburkan darah kental agak kehitaman. Hanya sebentar saja mereka masih bisa berdiri terhuyung, karena tak lama kemudian langsung jatuh menggelepar ke tanah. Sesaat mereka mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
Melihat dua orang anak buahnya ambruk hanya sekali gebrak saja, bola mata Gondang jadi mendelik. "Setan alas...!" geram Gondang berang.
Wajah pemuda itu kembali memerah menahan marah, melihat anak buahnya menggeletak tak bernyawa lagi.
Sret! Gondang langsung mencabut pedangnya. Maka seketika semua anak buahnya juga segera menghunus golok. Tanpa diperintah lagi, mereka langsung menyebar, mengepung wanita berbaju hijau muda yang kepalanya memakai tudung bambu lebar, sehingga menutupi wajahnya. Namun wanita bertudung itu kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak mempedulikan keadaannya yang sudah terkepung cukup rapat ini.
"Cincang dia...!" teriak Gondang lantang menggelegar.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Begitu mendapat perintah, mereka yang sudah mengepung langsung saja berlompatan menyerang. Tapi sungguh di luar dugaan, tepat di saat orang-orang ini berlompatan menyerang, wanita bertudung itu tiba-tiba melesat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di atas dahan pohon. Tentu saja hal ini membuat Gondang dan anak buahnya jadi terlongong bengong. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau gerakan wanita bertudung itu demikian cepat. Malah lesatannya saja sulit diikuti pandangan mata biasa.
"Panah...!" seru Gondang memberi perintah. Sepuluh orang anak buah Gondang yang membawa panah, langsung memasang anak panahnya pada busur. Dan begitu anak-anak panah dilepaskan, seketika itu pula berhamburan ke arah wanita di atas pohon.
"Hup! Hiyaaat...!"
Tapi, begitu cepat wanita bertudung ini melesat, membuat anak-anak panah itu tidak sempat mengenai sasaran. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, wanita bertudung ini berkelebat begitu cepat sambil mencabut pedangnya. Lalu....
"Yeaaah...!"
Bet!
Wuk!
Bagaikan kilat, wanita bertudung itu membabatkan pedangnya beberapa kali. Begitu cepat sabetannya, sehingga lima orang anak buah Gondang tidak dapat lagi menghindar. Seketika, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking saling sambut, disusul ambruknya lima orang dengan tubuh terbelah mengucurkan darah segar.
"Keparat...!" desis Gondang geram. "Hiyaaat...!"
Gondang tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dengan kecepatan bagai kilat, dia melompat menerjang wanita bertudung ini. Pedangnya yang sudah tercabut sejak tadi, langsung dibabatkan ke arah kepala wanita itu.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Hap!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, wanita bertudung itu bisa menghindari sabetan pedang Gondang. Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa, tubuhnya berputar sambil melepaskan satu tendangan berputar disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Heh...?!"
Gondang jadi terbeliak kaget setengah mati. Cepat-cepat pemimpin begal ini melompat ke belakang, menghindari serangan balasan wanita bertudung itu. Dan pada saat itu, satu orang anak buah Gondang yang berada di belakang wanita bertudung ini sudah melompat sambil menebaskan golok ke arah punggung.
"Haiiit...!"
Tapi wanita bertudung itu rupanya sudah mengetahui bokongan lawan. Maka dengan gerakan berputar cepat, pedangnya dikebutkan dengan tangan terentang lurus.
Wuk!
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan panjang kembali terdengar melengking. Maka seketika pembokong itu langsung ambruk menggelepar dengan dada terbelah mengucurkan darah.
"Setan...! Serang! Bunuh dia...!" seru Gondang menggeram berang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Kembali anak buah Gondang yang masih mengepung berlompatan begitu mendengar perintah pemimpinnya.
"Hup! Hiyaaat...!"
Namun bagaikan kilat, wanita bertudung bambu itu memutar tubuhnya sambil mengebutkan pedangnya di tangan kanan. Kemudian tubuhnya melesat menghajar para pengeroyoknya. Maka dalam beberapa gebrakan saja, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi, disusul ambruknya anak buah Gondang dengan tubuh bersimbah darah. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah setengah lebih anak buah Gondang yang ambruk tidak bernyawa lagi.
Sementara, wanita bertudung itu terus berkelebatan dengan kecepatan luar biasa sekali. Begitu cepat gerakannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hijau dan keperakan saja yang menyambar anak buah Gondang. Jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian pun terus terdengar saling susul.
"Phuih! Kubunuh kau, Perempuan Keparat! Hiyaaat...!"
Gondang semakin bertambah geram saja, melihat anak buahnya terus berjatuhan berlumuran darah dan tidak bangkit-bangkit lagi. Sambil memaki dan berteriak lantang, Gondang melesat menerjang wanita bertudung itu.
"Hiyaaat...!"
Bet!
"Haiiit...!"
Tepat di saat Gondang menyabetkan pedangnya, wanita bertudung itu cepat menggerakkan pedangnya pula untuk menangkis serangan. Begitu cepat gerakan yang mereka lakukan, sehingga benturan keras tidak dapat terelakkan lagi.
Trang! Bunga api terlihat memercik, saat dua pedang itu beradu keras sekali. Dan pada saat itu, terlihat wanita bertudung ini melesat ke belakang sambil menyabetkan pedangnya dua kali. Maka dua orang yang berada paling dekat dengannya langsung menjerit dan bergerak limbung sambil mendekap dadanya yang terbelah.
"Hih! Yeaaah...!"
"Awaaas...!"
Gondang berteriak keras, begitu melihat wanita bertudung itu melepaskan senjata rahasianya yang berbentuk sekuntum bunga mawar dari perak. Namun, teriakan Gondang terlambat. Beberapa senjata rahasia wanita itu ternyata sudah menghantam dada anak buah Gondang.
Crab!
Jleb!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan saling sambut, ketika senjata rahasia itu menghantam sasarannya. Saat itu juga, terlihat anak buah Gondang berjatuhan. Maka dalam waktu tidak berapa lama saja, tidak ada seorang pun yang masih berdiri, kecuali Gondang saja. Dan dia juga tadi tidak luput dari serangan-serangan senjata rahasia wanita bertudung ini. Namun berkat kepandaiannya paling tinggi, keselamatannya masih menyertainya.
"Kau juga harus menyusul yang lain, Gondang...!" desis wanita bertudung ini, menggereng geram.
"Heh...?! Kau tahu namaku...?" Gondang jadi terkejut.
Wanita itu tidak menyahut. Tudungnya diangkat, hingga raut wajahnya terlihat jelas. Seketika, kedua bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Dan saat itu juga, nafasnya terasa seperti jadi berhenti mendadak.
"Kau... kau...," Gondang jadi tergagap.
"Aku tidak suka melihat caramu yang seperti ini, Gondang. Kau tahu, apa akibatnya kalau tidak menuruti perintahku. Kau harus mati, Gondang," terdengar dingin sekali suara wanita berwajah cantik itu.
"Phuih! Apa yang aku takutkan darimu, Nyai Ramit?! Aku memang telah muak denganmu!" Gondang menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Perlahan, kakinya ditarik ke kanan. Memang tidak ada pilihan lain lagi, wanita ini harus dihadapinya. Sementara wanita bertudung bambu itu tetap berdiri tegak, mengikuti gerak langkah yang dilakukan pemuda di depannya.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
Sambil membentak keras menggelegar, Gondang langsung saja melompat menerjang. Pedangnya berputar begitu cepat, hingga bentuknya menghilang tak terlihat lagi. Hanya kilatan cahaya saja yang terlihat bergulung-gulung, mengurung wanita bertudung bambu ini. Namun sampai sejauh ini, sedikit pun tidak terlihat kalau wanita bertudung ini terdesak. Dan semua serangan yang dilakukan Gondang, mudah sekali dapat dihalau. Bahkan ketika pedang Gondang menyabet ke arah kaki, cepat sekali wanita bertudung itu melesat ke atas. Dan dengan satu gerakan yang sukar diikuti pandangan mata biasa, wanita bertudung itu melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan wanita bertudung bambu ini, sehingga Gondang tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Plak!
"Akh...!"
Gondang jadi menjerit, begitu tendangan wanita bertudung ini tepat menghantam kepalanya. Pemuda itu jadi terpental ke belakang, dan terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya. Tampak darah mengucur keluar dari pelipisnya yang robek, akibat terkena tendangan bertenaga dalam tinggi itu.
"Saatmu sudah tiba, Gondang! Hiyaaat...!" Sambil berteriak keras menggelegar, wanita bertudung bambu itu melompat cepat bagai kilat. Lalu, seketika dilepaskannya satu pukulan dahsyat, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sementara, Gondang sudah tidak mungkin lagi menghindarinya. Maka....
Diegkh!
"Hegkh...!"
Gondang hanya dapat mengeluh sedikit, begitu pukulan wanita ini menghantam tepat pada bagian tengah dadanya. Dari mulutnya kontan menyembur darah kental. Tampak pada bagian tengah dada pemuda itu tergambar telapak tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap. Kedua bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Darah terus mengalir keluar dari mulut dan hidungnya. Beberapa saat tubuhnya masih bisa berdiri limbung, kemudian ambruk ke tanah di antara mayat anak buahnya. Dan seketika itu juga, nyawanya melayang.
Sementara wanita bertudung itu berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Terdengar dengusan nafasnya yang begitu berat. Sedikit tudung bambu yang menutupi kepalanya diangkat dengan ujung jari telunjuk. Sehingga, terlihatlah seraut wajah cantik dengan pipi putih agak kemerahan. Bola matanya tampak bundar bercahaya, indah bagai bintang di langit. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam. Dan bibirnya yang merah, sedikit pun tidak mengembangkan senyum.
"Hhh! Sudah terlalu lama aku di sini. Sebaiknya aku kembali saja sebelum terjadi sesuatu lagi yang tidak aku inginkan," gumam wanita itu. Cepat sekali tubuhnya melesat pergi, meninggalkan lawan-lawannya yang sudah bergelimpangan jadi mayat. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Dan belum begitu lama wanita bertudung itu lenyap, dari arah jalan terlihat dua orang penunggang kuda menuju tempat pertarungan tadi ini. Dan tampaknya, kedua penunggang kuda itu sudah melihat mayat-mayat yang bergelimpangan, hampir memenuhi jalan tanah berbatu ini. Maka, segera mereka memacu kudanya lebih cepat lagi.
"Hooop...!"
"Hup!"
Kedua penunggang kuda itu langsung berlompatan turun, begitu sampai di tempat mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Mereka tampak begitu terkejut sekali. Salah seorang dari penunggang kuda itu memeriksa mayat Gondang. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan, dengan rambut panjang terikat pita putih. Sedangkan seorang lagi adalah gadis berwajah cantik, berbaju biru agak ketat. Dan dia hanya memandangi saja, apa yang diperbuat pemuda itu.
"Kelihatannya mereka baru saja meninggalnya, Kakang," ujar gadis cantik berbaju biru ketat itu, agak menggumam.
"Hm...." Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung itu hanya menggumam saja sedikit. Perlahan pemuda itu bangkit berdiri, dan kembali mendekati gadis cantik yang juga membawa pedang bergagang kepala naga berwarna hitam pekat di punggungnya. Tampak pada lipatan sabuk yang membelit pinggangnya, terlihat sebuah kipas berwarna putih keperakan.
"Tidak ada yang terluka akibat senjata tajam. Mereka tewas, akibat terkena pukulan bertenaga dalam tinggi," jelas pemuda itu pelan, seakan bicara pada diri sendiri.
Sedangkan gadis cantik berbaju biru di sebelahnya hanya diam saja. Pandangannya tertuju pada sebuah pedati yang ditarik dua ekor sapi putih, tidak jauh dari mayat-mayat ini. Gadis itu jadi tertarik, lalu melangkah menghampiri pedati itu. Dan pemuda berbaju rompi putih ini juga segera melangkah mengikuti.
"Penuh berisi peti kayu, Kakang," kata gadis itu memberi tahu, tanpa berpaling sedikit pun. Beberapa saat mereka mengamati pedati ini.
"Kakang, kau kenali lambang ini...? Seperti lambang sebuah kerajaan," kata gadis itu lagi, sambil menunjuk ke arah gambar yang tertera pada kain tebal penutup pedati.
"Lambang Kerajaan Jatigelang...," gumam pemuda berbaju rompi putih, langsung bisa mengenali gambar itu. Sesaat mereka jadi terdiam.
"Ayo, Pandan. Kita tinggalkan saja tempat ini," ajak pemuda itu.
"Eh...?!" Tapi belum juga gadis cantik yang dipanggil Pandan bisa berbicara, pemuda berbaju rompi putih ini sudah cepat menariknya, langsung kembali menghampiri kudanya.
Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya yang bernama Dewa Bayu. Sedangkan gadis cantik yang dipanggil Pandan itu masih tetap berdiri memegangi tali kekang kuda putihnya. Gadis cantik itu memang Pandan Wangi. Dan di kalangan rimba persilatan julukannya adalah si Kipas Maut, karena kedahsyatan senjatanya yang berbentuk sebuah kipas putih keperakan. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih yang kini sudah berada di atas punggung kuda hitamnya, tidak lain adalah Rangga. Dan dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, Pandan," ajak Rangga lagi tidak sabar.
"Kenapa harus pergi, Kakang...?"
"Nanti akan kujelaskan. Sebaiknya, cepat naik ke kudamu. Kita pergi dulu dari sini."
Meskipun masih belum mengerti, Pandan Wangi naik juga ke punggung kudanya. Dan tidak berapa lama kemudian, kedua pendekar dari Karang Setra itu sudah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan tempat itu. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagai dikejar setan.
Dan saat kedua pendekar itu sudah tidak terlihat lagi, dari arah jalan lain, terlihat sebuah pedati bergerak perlahan mendekati tempat ini. Pedati itulah yang berisi para wanita yang dikawal prajurit Kerajaan Jatigelang, yang dirampok kelompok Gondang tadi. Mereka kini terpaksa menjalankan pedatinya sendiri, setelah ditinggalkan oleh para perampok.
Wanita-wanita di dalam pedati itu jadi menjerit terpekik, begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan menghadang jalan. Kemudian, salah seorang wanita di dalam pedati itu bergegas turun, dan langsung menghampiri pedati yang berisi penuh peti-peti kayu berukir. Dan tidak lama kemudian, wanita itu kembali lagi ke pedati yang masih berisi wanita-wanita muda berwajah cantik ini.
"Kanjeng Putri..., semua barang di dalam pedati masih lengkap," lapor wanita itu.
Dan dari dalam pedati, menyembul sebuah kepala dengan raut wajah cantik sekali. "Kau bisa bawa pedati itu, Dayang Sambi?" lembut sekali suara wanita yang disebut Kanjeng Putri itu.
"Bisa, Kanjeng Putri."
"Bawalah. Ikuti pedati ini dari belakang. Lebih baik, kita kembali dulu ke kerajaan. Sebaiknya urusan pernikahan ini memang dibatalkan dulu."
"Baik, Kanjeng Putri." Wanita yang dipanggil Dayang Sambi itu bergegas menghampiri pedati berisi penuh peti kayu, yang di dalamnya terdapat barang-barang berharga. Sigap sekali dia naik ke atas pedati itu. Sementara, pedati yang sarat berpenumpang wanita-wanita ini, sudah bergerak lagi, tanpa mempedulikan mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi jalan.

***

103. Pendekar Rajawali Sakti : Gadis Bertudung BambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang