Sinar mentari yang mulai terasa menyengat menandakan hari sudah semakin siang. Cindy mengecek jam yang melingkar ditangan kirinya. Sudah pukul 06.15,what?!Cindy bingung. Ia terus celingukan ke kanan dan ke kiri memastikan ada kendaraan umum yang bisa mengantarnya sampai ke tujuan tanpa terlambat sedetikpun. Sesekali ia menggigiti kuku jarinya, bawaan ketika dia sedang cemas dan gelisah.
"Naik." Tiba-tiba saja suara tersebut tertangkap telinga Cindy didalam kebisingan jalanan kota yang mulai memadat, seperti takkan pernah sepi.
Dengan suara bariton khasnya, Cindy dapat mengenali si empu walau helm masih melekat di kepalanya."Ga bisa sopan dikit apa?" Gerutu Cindy tak terima, sudah cukup sebagai bukti penolakan. Kini dirinya kembali disibukkan dengan aktivitas awalnya,celingak-celinguk mencari kendaraan umum.
"Lo nolak jackpot demi sesuatu yang ga pasti?" Tanya si empu sambil melepas helmnya,menumpukan badannya pada kaki yang menapak pada aspal dan kedua siku menyangga pada bagian depan motornya.
"Jangan nyeramahin gue deh! Udah sana,telat lo ntar!" Cindy yang tak terima segera mengusir Elang secara tidak terhormat.
"Disini yang bakal telat tuh Lo,tolol!" Tiba-tiba saja si empu sudah berdiri berhadapan dengan Cindy dan menyentil dahinya teramat kuat, terlihat dari ekspresi merintih Cindy yang refleks langsung memegangi dahinya.
"Sakit tau!" Serunya kesal yang mampu mengundang senyuman tipis yang berusaha di sembunyikan oleh si empu.
"06.21,Lo yakin nolak tawaran gue?"
Yang ditanya hanya menatap dingin pada Elang, seolah menyatakan permusuhan.
"Gue sih ga keberatan. Toh gue juga ga rugi." Ujarnya santai sembari mengangkat kedua tangan dan berjalan perlahan menuju motornya.
Belum sempat ia memakai helm,si empu di seberang sana sudah menyahut ketus,"Ya udah! Sini helmnya!" Apa boleh buat,ia tak punya pilihan selain mengesampingkan egonya dan memilih nebeng dengan si empu daripada harus kena sasaran pelototan seluruh kelas, ditambah lagi Omelan guru mapel, atau lebih parahnya, lari 7 putaran mengitari lapangan basket.
Membayangkannya saja sudah membuat Cindy ngilu. Bisa hancur nanti wajahnya jika terus-terusan dihadapkan dengan cahaya matahari,musuh terbesarnya sejak kecil.
Well, Cindy punya trauma terhadap sinar matahari. Saat itu usianya sekitar 5 tahun. Ia pulang dari taman bermain dengan teman-temannya menggunakan sepeda beroda tiga kesayangannya.
Saat melewati sebuah tikungan, sinar matahari yang memantul ke spion kaca mobil milik salah satu penghuni komplek membuat matanya perih seakan tersengat lebah, dan tanpa sadar ia kehilangan keseimbangan dan berakhir terjun kedalam selokan bau yang membuat roda depan sepedanya terlepas. Kakinya juga sempat keseleo dan sangat sakit saat bagian tungkainya dipijat oleh seorang tukang urut langganan keluarga.
Sejak saat itu, ia benci dengan sepeda dan sinar matahari, termasuk cermin. Namun karena sering menghabiskan waktunya dengan memandangi pantulan wajah eloknya di benda pipih tersebut, sepertinya trauma terhadap cermin sudah tidak lagi ia rasakan.
Buktinya setiap kali ada kesempatan,ia selalu bercermin dan memuji kecantikannya sendiri dengan kalimat-kalimat menggelikan yang mungkin orang-orang pikir tidak akan pernah keluar dari mulut seorang Cindy. Gadis cantik yang terkenal akan kepribadiannya yang murni dan mampu memikat siapapun yang melihatnya.
Namun,hal itu sama sekali tidak dirasakan oleh Elang. Lelaki tersebut malah lebih sering menemukan sisi menyebalkan Cindy yang mampu membuat tensi darahnya naik seketika.
***
Diperjalanan,tak ada yang mau membuka suara. Keduanya hening dalam kekalutan masing-masing. Cindy yang berpegangan erat pada Elang dan si empu yang fokus menyetir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cindyrella
Dla nastolatkówCindy, siswi pindahan yang merangkap menjadi kacung karena paras eloknya. Menjadi musibah tersendiri baginya bertemu dengan Elang, ketua kelas ambisius yang harus selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun dibalik itu semua, benih-benih cinta...