Prolog

62 21 26
                                    

Debi Bumi

Pagi yang indah nyatanya tak disambut dengan ramah olehku, Debi Bumi. Cewek anti taat peraturan, yang hobi berurusan sama guru piket. Sebenarnya kalau boleh jujur sih aku nggak mau urusan sama Pak Kribo setiap hari, tapi apa daya insting Pak Kribo ini bagaikan pisau belati yang seram nan tajam. Katanya sih begitu, nggak tau juga deh.

Sebenarnya aku udah naik kelas XI sekarang, berhubung orang tuaku sayang banget sama adik laknat ku makanya sekarang aku masih kelas X. Rasanya tuh pengen banget buat nyekek Clara saat itu juga, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa selagi orang tua ku yang nyuruh. --Aku disuruh nunggu setahun buat masuk TK bayangkan. Ya, walaupun aku juga nggak minat masuk TK sih waktu itu. Tapikan minimal aku, Debi Bumi, sebagai kakak harus yang dinomorsatukan perihal pendidikan. Eh, taunya suruh nunggu Clara.

Aku takut sama orang tua ku, entah ibu entah bapak semua nyeremin. Aku trauma, dulu waktu kecil pernah bantah ibu sama bapak aku. Malam-malam aku digebukin. --Ya nggak di gebukin-gebukin banget sih, tapi bayangkan man, waktu itu aku masih bontot! terus dimasukin ke gudang nggak terjamah dibelakang rumah. Kasar kan, memang. Tapi itu nggak berlaku untuk adik aku, Clara. Ia dibesarkan bak putri di istana. Semua keinginannya akan dituruti langsung oleh orang tua ku, entah bagaimana caranya mereka mendapatkan uangnya.

Sedangkan aku, aku minta dibelikan sepatu aja nggak dikasih, aku dibanding-bandingkan dengan Clara, katanya aku harus nabung dulu nanti pakai uang sendiri. Aku mana sudi nabung, uang jajan yang dikasih aja pas-pasan itupun masih sering kurang. Lain dengan Clara ia mendapat uang jajan lebih dari cukup untuk sebulan. Hidupnya dipenuhi kemewahan yang tak terjamah olehku.

Sudahlah menceritakan perbedaan kita akan mengabiskan beberapa lembar halaman, ralat, beberapa buah buku.

"Deb...! Debi...!" teriakan khas ibu-ibu yang tak lain ibuku sendiri. Aku nggak menyahuti karena aku tau apa yang akan dibicarakan denganku, apalagi kalau bukan menjadi bodyguard Clara. --Inikan hari libur, mau kemana sih tuh orang. Bener-bener nyusahin.Saat-saat seperti inilah aku paling malas, hari libur tidur di rumah, memuaskan nafsu untuk tetap tidur selama mungkin, --tapi jangan selamanya, aku belum mau mati. Dosa ku masih sak embreg-embreg.

"Iya...! Ntar lima menit Debi turun!" ujarku dengan malas. Tanpa persiapan aku turun dengan muka penuh iler dan oh, lihat ekspresi kedua permaisuri ini (ibu & adik ku, biar gaul aja.) mereka ternganga melihatku yang masih berantakan banget! Tapi bodo amatlah, ini salah satu rencanaku agar tidak jadi disuruh menemani Clara menghambur-hamburkan uang garis miring belanja. Ekhm, sepertinya kurang gaul, shopping.

"Astaga..! Debi! Ibu minta kamu jagain adik kamu, bukan malah berpenampilan kayak gembel gini! Adik kamu ini udah cantik, wangi, sedangkan kamu..(sambil sok mengendus bau badanku.) kamu bau banget!" Begitulah jadi Debi Bumi, nggak pernah bener. "Gini salah, gitu salah, entah mana yang menurut lo  bener," ucap ku dingin. Bodo amat dengan balasan ibuku nanti, siapa suruh mengganggu beruang berhibernasi.

"Sekarang antar adikmu ke mall, dia pingin beli-"

"Iya, yok cepetan. Mumpung gue masih semangat 45!" selaku, salah siapa ngomong bertele-tele. Asal kamu tau sebenarnya aku sayang banget sama orang tuaku, tapi melihat mereka memperlakukan ku seperti itu rasa-rasanya susah untuk menyayanginya. Curcol cieeee. "Ya udah, biarin Debi yang kayak gembel itu. Yang penting kamu ada yang jagain," ucapan manis ibuku kepada Clara. Sudah biasa.

"Nanti pas di taksi nggak usah deket-deket aku, kalo ditanya lo jawab bukan saudaraku." Udah kayak di cerita batu menangis aja ya, bedanya ini aku masih muda, masih gadis, kayaknya. "Hmm, siapa juga yang pingin jadi kakak lo, sambil ngaku-ngaku sama semua orang. Bukan gue banget," jawabku sinis. Ketika di taksi pun, kita tidak berbicara sama sekali. Enaknya nemenin Clara... Nggak ada sih.

Mission AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang