1 - Senar Putus

64 6 2
                                    

Ia tidak tahu.

Pria itu selalu terbangun kala malam. Selalu kata 'berisik' ia keluarkan. Meski begitu, pria itu tak pernah keluar untuk menegur orang yang membuat kebisingan tiap pukul dua malam di apartemen mewah itu.

Ia terpaku dalam kesunyian.

Entahlah, kadang ia hanya ingin menikmati segala yang terjadi di sekitarnya seperti saat ini. Tepat pukul dua malam ia sudah terbangun padahal suara-suara itu belum muncul ke permukaan.

Paling lima menit lagi, batinnya.

Mengisi waktu luang, ia segera mencuci muka dan memakai kacamata minus tiganya, lalu berjalan ke sebuah ruangan yang setiap hari tak pernah ia tinggali.

Sebuah benda hitam mahal nan cantik berdiri megah di tengah-tengah ruangan.

Ia menyalakan lampu. Ruangan sekitar sukses tersulap begitu cantik. Perlahan ia buka penutup benda tersebut, maka terpampanglah tuts-tuts hitam putih yang kira-kira berjumlah 88.

Piano.

Tak peduli seberapa larut sekarang. Tak peduli tetangga akan terganggu akibat permainannya - meski ruangan itu kedap suara. Ia akan memainkannya. Melantunkan nada-nada indah yang berasal dari ketukan di jemarinya. Kadang bersenandung pelan mengikuti alunan lagu layaknya pengantar tidur.

Dan ia bertemu dengan orang itu lagi.

***

"Pergilah keluar sesekali, Hana," tegurnya sambil mendelik. Tak sekali dua kali ia menegur seperti itu. Namun gadis di depannya hanya menggumam tak mengiyakan maupun menolak. "Sampai kapan kau hanya berkutat di depan partitur-partitur tidak berguna itu?"

Sang gadis lagi-lagi tak menjawab. Ia hanya mengayunkan kakinya kuat-kuat. Lalu kembali menulis bentuk-bentuk familiar yang biasa tertuang dalam garis paranada. Not seperempat ditulis sebanyak dua kali.

Pria itu menghela nafas kasar. Sudah berapa kali ia dibuat pusing oleh tingkah laku sang gadis. Ia menggeleng kuat, berusaha mengusir rasa lelah akibat pekerjaan. Sudah begitu, gadis aneh di rumahnya malah asyik sendiri. Bukannya membuatkan teh.

Bahkan diajak belanja dia tak mau.

Ayolah, bukannya membosankan kalau hanya berdiam diri di rumah dan mengerjakan partitur antah berantah?

"Iringi aku."

Sang lelaki menatap tak percaya. "Kau bilang apa?"

Gadis itu menatapnya dengan kosong. "Kutunggu di ruang piano, Reiz."

Reiz mencibir. Tak berniat menuruti. Biarlah, toh nanti gadis itu akan tetap menunggunya meskipun hingga larut malam.

Biarkan ia menikmati waktu santainya dahulu. Menyesap teh buatannya yang perlahan mendingin mengikuti cuaca di luar.

Kadang tak habis pikir. Bagaimana ia bisa bertahan hidup dengan gadis kaku nan menyeramkan seperti Hana Rosmalia?

Beberapa menit kemudian, barulah ia menuju ruang piano. Benar saja, gadis itu selalu menunggunya sembari memeluk biola coklat tua kesayangannya. Melihat sang lelaki, gadis itu pun segera memposisikan dirinya untuk segera bermain. Reiz menggaruk kepalanya. Padahal ia belum menyentuh piano sama sekali.

Biarlah. Asal Hana senang.

***

Cita-cita Hana ialah bekerja di industri musik. Ia pernah berkata begitu saat umurnya masih tujuh tahun, setelah sekitar tiga tahun mengenal alat musik bersenar empat itu. Ia ingin membuat lagu yang dapat menyentuh hati orang lain mengenai perasaannya.

SparklesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang