4 - Hal yang Tak Pernah Kembali

7 1 0
                                    

Warn : angst

Enjoy!

***

Sebuah tamparan dilayangkan. Pipiku seketika terasa perih dan panas. Aku tertawa dalam hati. Lelah sekali rasanya.

"Apa kamu bilang?!"

Aku menunduk, tak sanggup menatap pembicara di depanku. Dengan helaan nafas berat, kupegang tangan lelaki itu, mencoba menenangkannya.

"Anak anda telah berpulang ke rahmatullah. Saya minta maaf."

Isak tangis pilu dari sanak keluarga itu menggema. Dengan hati resah diriku undur diri, mencoba melangkah tegap melewati tatapan para penghuni rumah sakit. Salah satu asistenku mendekat, hendak menanyakan sesuatu. Namun, segera kulambaikan tanganku untuk menolak interaksi dengannya dan pergi untuk menyendiri.

"Apa-apaan dokter Dirga itu. Sombong sekali dia." Kudengar beberapa perawat berbincang tentangku.

"Dia nggak merasa bersalah atau kasihan sama pasien?"

"Dia benar-benar dokter kejam berhati dingin. Batal deh, berharap jadi istrinya."

Namaku Dirga Eka Satria. Umurku 28 tahun, cukup muda untuk menjabat sebagai dokter spesialis paru di Rumah Sakit Pusat. Namun, pandemi yang tengah terjadi memaksaku untuk terjun langsung ke medan perang, melawan virus-virus berbahaya, serta menghadapi kematian tiap harinya.

Aku disebut-sebut sebagai dokter tanpa hati. Tidak heran mereka memanggilku begitu. Cara jalanku seperti orang sombong, raut wajahku datar dan kejam seperti diktator, dan caraku berbicara menunjukkan keangkuhan. Aku tidak menolak maupun mengiyakan. Sebab, keduanya punya kebenaran masing-masing.

Aku memang kejam.

Tapi hatiku juga lembut.

Karena nyatanya, hingga sekarang aku masih tidak sanggup menahan luka hati.

"Permisi, Dokter Dirga."

Aku menatap ke arah pintu ruanganku yang terbuka. Seorang perawat dengan pakaian serba putih izin memasuki ruangan.

"Kenapa, Aurel?"

"Pasien ruang karantina 107 dalam kondisi kritis."

Seketika pandanganku menajam. Perempuan di hadapanku menggigil ketakutan.

"Saya kemarin sudah bilang kan, jangan minta saya mengurus pasien di ruangan itu?" ucapku sinis. Aurel mengangguk dengan ragu. "Suruh dokter lain!"

"Tapi, Dokter-"

"Kamu membantah?"

Aurel sontak menggeleng. Aku mendengus kasar, kemudian menghempaskan tubuhku pada senderan kursi.

"Kalau begitu, masukkan saja dia ke ICU."

Aurel langsung mengangguk patuh dan segera undur diri. Aku memijit pelipisku yang mendadak nyeri. Hari ini adalah hari terberat yang kuhadapi.

Total kematian melonjak dari biasanya. Dokter-dokter juga sudah banyak yang gugur. Sejujurnya aku benar-benar ingin marah pada mereka yang masih berkeliaran dan mempercepat penularan virus berbahaya ini. Apa mereka tidak paham betapa sulitnya perjuangan kami di sini?

Aku lupa, mereka kan bukan dokter maupun perawat. Tentu saja tidak paham. Mereka tidak mengalaminya.

Semakin hari aku semakin acuh dengan keadaan di sini. Mau bertambah angka penularannya atau mau aku mati sekalianpun aku tidak akan peduli lagi. Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan. Itu saja.

SparklesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang