Sejatinya manusia itu datang dan pergi. Kalaupun ada yang menetap, mereka akan tetap meninggalkan kita sendirian. Meski begitu, kehadiran mereka akan terkenang sepanjang masa.
***
Aku termenung, memainkan kaki di bawah meja.
Rasanya bagaimana, ya? Menjadi seorang tertutup yang berada di kawanan orang-orang hiperaktif cenderung membuatku terjauhi. Bagaimana mau diajak bicara kalau dipandang pun tidak. Kehadiranku memang tidak ada gunanya.
"Delia, ajarin aku sejarah, dong!"
Ada, sih.
Aku Dahlia Anggrena Mawari, biasa dipanggil Delia atau Adel. Nama yang mencakup tiga nama bunga. Saat aku lahir, ibuku mengatakan kalau aku akan menjadi anak yang cantik. Sayangnya aku tidak merasa begitu.
Aku hanya perempuan biasa. Mungil dan berkacamata. Culun lah pokoknya. Aku juga pendiam dan tidak punya banyak teman. Apa adanya. Satu-satunya yang aku punya hanya otakku.
Tapi tetap saja tidak maksimal.
Aku berada di kelas IPS. Kelas yang selalu direndahkan oleh semua orang. Mereka heran, mengapa orang sepintar aku memilih masuk ke jurusan ini dibanding IPA yang 'katanya' mencetak generasi jenius. Aku cuma senyum. Lagipula ini pilihanku. Tidak ada jurusan kuliah yang kuminati di IPA, tentu tidak ada gunanya aku melanjutkan di IPA.
Kan bisa lintas jurusan?
Maaf saja aku orangnya punya pendirian. Aku tidak mau capek-capek belajar fisika kalau ujung-ujungnya UTBK ekonomi.
Karena berada di kelas IPS, aku yang punya kepribadian anak IPA merasa terasingkan. Memang, orang seperti aku kelihatan lebih cocok belajar sungguh-sungguh dan punya teman ambis dibandingkan santai-santai seperti anak IPS. Nyatanya tidak begitu juga. Aku malah suka belajar yang tidak begitu menekan, karena aku pribadi yang bebas dalam belajar.
Belajar sesuka hati tanpa jadwal yang mengikat. Seru, kan?
Tapi kepribadianku memang benar-benar berbanding terbalik dengan mereka. Di saat cewek di kelas membentuk kelompok gosip, aku hanya diam menggambar di buku sketsa. Atau saat kelas sedang melakukan permainan mafia, aku hanya mendengar lagu sambil tidur.
Aku pernah sekali mencoba bergabung, tapi aku malah cuma jadi 'sampah' disana.
Omong-omong mengenai otak, katanya aku punya otak yang cukup pintar. Sewaktu seleksi kelas khusus olimpiade, aku berhasil lolos. Hanya saja aku batal ambil karena kelas itu hanya diperuntukkan untuk anak IPA, sementara aku memilih IPS. Aku juga punya hampir semua bakat seni. Yang paling menonjol ialah kemampuan bernyanyiku, setelah itu baru kemampuan menggambar. Kalau bermain peran dan bermusik ya ... standar. Tidak buruk juga.
Meski begitu, aku tidak pernah mendapat peringkat satu di kelas.
Peringkat satu ditempati oleh seorang laki-laki bernama Zidan. Orangnya seru dan baik. Ketua kelas, kesayangan guru, anggota futsal, humoris pula. Dia dekat ke semua penghuni kelas.
Kecuali aku.
Terkadang aku hanya bisa tersenyum miris menatapnya. Sejujurnya aku sedikit kesal. Dulu aku pernah satu SMP dan sekelas dengannya. Setahuku, dia bukanlah orang yang memiliki kepribadian itu. Malah, dia cenderung santai dan tidak terlalu menonjol di kelas seperti sekarang. Rankingnya juga tidak jauh beda dariku.
![](https://img.wattpad.com/cover/217511795-288-k726577.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkles
Short StoryKumpulan one shoot. Always on going . . Hidup itu bagaikan roda. Ada kalanya bahagia, ada kalanya sedih. Jangan khawatir, aku ada bersamamu:)