5 (Siapa yang Menang?)

1.1K 219 16
                                    

Begitu, jadi seminggu sudah berlalu? Dua insan di petang hari seusai pembelajaran, saling berhadapan di meja dekat jendela perpustakaan.

"Kau sudah siap?" [Name] mengenakan kacamata. Agak melongo kaget Sugawara. "Halo?"

"Ah, iya." Sugawara segera sadar. Dia izin tidak latihan. Ada tantangan yang menunggunya di sini. Buat pemulihan mental juga. Sugawara begini-begini pun bisa sakit hati.

"Aku yang mengajukan soal? Atau kau yang membuat soal dan menjawabnya sendiri?"

"Kenapa tidak memakai latihan soal di buku ini saja?" Sugawara memberikan saran.

[Name] malah mendengus. Ujung bibirnya naik, kurva tak sempurna yang tampak sadis. Oke, Sugawara sudah terbiasa melihat senyuman itu.

"Kau kira aku bodoh? Kau pasti sudah mengerjakan soal-soal itu terlebih dahulu. Tidak boleh, soalnya harus dari buku yang berbeda."

Meski presentase kemenangannya mengecil (yahh, biasanya buku yang berbeda memiliki cara penyelesaian yang berbeda pula, meski pembahasannya sama), Sugawara tak menolak gagasan [Name].

"Mau minta ke guru pun ayo."

Wajah [Name] tidak kendur sama sekali. Sejak awal tampak tak suka, atau memang bawaan lahir?

[Name] mencarikan empat buah soal. Bab yang sama, namun model soal yang berbeda-beda. Tipikal yang sadis. Pemilihan model soalnya pun yang tersulit. Benar-benar ingin kencan gadis ini. Eh lupa, dia sejak awal berniat menukar hadiah utama, ya?

Sugawara tertawa perlahan. [Name] mengernyit.

"Kau ... mungkin perlu ke psikiater."

Tawa Sugawara makin kencang. "Tak usah repot-repot. Oh iya, namaku Sugawara Koushi. Ingat baik-baik, ya,  Sensei."

"Waktumu satu jam. Tidak boleh mencontek catatan. Buku ini aku ambil. Aku segera kembali." [Name] pergi untuk menjalankan prosedur pengembalian buku.

Sugawara siap sedia mengerjakan. Pena ia angkat, pensil ia siapkan, penghapus karet pun tampak mencuat di antara peralatan lain di dalam kotak pensil.

"Seharusnya aku minta dia tersenyum, bukan memberikan nama." Sugawara bergumam sambil  mengerjakan.

...

Satu jam kurang lima menit, Sugawara menyelesaikan soal. Rintangan yang membuat punggungnya capek, dan peluh sedikit di kening. Bagai siksaan tak kasat mata perihal soal pemberian [Name].

[Name] dengan khidmat menyeleksi jawaban: mana yang benar, mana yang salah. Lima belas menit terlewat, [Name] sudah dapatkan pemenang.

Glek.

Sugawara degdegan.

"Nomor satu dan empat. Sisanya salah. Di bagian ini, kau salah menghitung. Lalu perubahan zat ini sedikit keliru. Kau harus menghapal rumus perubahan zat. Mau aku ajarkan?" [Name] tidak tertarik pada hadiah. Dia pindah kursi ke sebelah Sugawara.

"Kau tidak keberatan?"

"Kau menggemaskan."

"Eh?" Sugawara terkesiap. 

[Name] juga diam dahulu. "Maksudku, caramu memecahkan soal ini. Aku ingin memukul kepalamu. Kau bisa menyelesaikan nomor empat, tapi di nomor tiga kau terkecoh. Lalu, di nomor satu kau lancar, di nomor dua kau salah hitung. Kau sungguh menggemaskan! Cepat sini, aku ajarkan beberapa trik." Gadis perpus benar saja memukul kening Sugawara.

Sugawara menurut dan condong ke sisi [Name]. Mereka belajar di dekat jendela. Sugawara mencoba beberapa soal lagi, dan dapat pukulan. Sampai kelima soal ia telan, akhirnya dikasih jempol.

"Bagus. Kau sudah paham sekarang?"

Sugawara mengangguk. Pengajaran [Name] sederhana. Seperti pribadinya yang tampil apa adanya. Sugawara tak henti-hentinya tersenyum.

"Karena kau berhasil dua soal dari total empat, aku akan berkenalan denganmu tapi cuma nama keluarga saja. Aku [Last name]."

Tidak masalah, belum saatnya memanggil nama depan, kan?

"Kalau begitu, kencan kita jadi."

"Hah?" [Name] langsung letih. "Aku ingin minta—"

"Tidak bisa begitu." Sugawara cepat-cepat memotong. "Kencan dan buku aku berikan, sebagai rasa terima kasih. Kau tak boleh menolak."

Keletihan [Name] bertambah. "Tak usah repot-repot. Aku senang membantu orang."

"Dan aku senang berterima kasih." Sugawara bangkit. "Besok sepulang sekolah. Aku tunggu di gerbang." Wakil Daichi di klub voli berderap menuju pintu.

"Aku akan menginap di sekolah kalau kita tidak jadi kencan!" Dia raib dari pandangan. [Name] merinding di tempat.

"Ya sudah, besok aku tidak akan masuk sekolah."

---to be continue

Liebe : Di Dekat JendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang