Papa duduk di depan pagar rumah, memandang satu titik tertentu di langit malam. Penerangan lampu di sisi pagar membuat bayangannya terjatuh di aspal berkerikil dalam bentuk makhluk gemuk dan lonjong. Seseorang yang tidak tahu keadaan ayahku yang sesungguhnya pasti akan mengira Papa sedang menungguku pulang. Astaga, kalau Papa memang benar-benar menungguiku pulang, aku bisa girang bukan kepalang sampai mampu mengitari bumi dalam sekali lompatan. Sayangnya dia tidak sedang menungguku. Aku tahu dia hanya sedang mencoba menemukan sesuatu yang hanya dirinya sendiri yang tahu.
Aku menghentikan motor di dekatnya, dan berkata, "Pa! Ayo masuk!"
Dia memandangku kosong, seperti sedang mencari sesuatu itu di wajahku tapi tidak kunjung berhasil menemukannya. Matanya mengerdip tanpa henti, wajahnya berangsur-angsur muram.
Aku turun dari motor dan melepas helem, mengabaikan berat gitar yang kugendong di punggung. Kusentuh bahu Papa dan kuminta dia berdiri. Papa menurut, meski matanya masih menelusuri wajahku seakan aku punya wajah senyentrik artis barat.
"Pa, kenapa?" tanyaku.
Papa mengerjap lagi, mulutnya ternganga. "Kamu...."
Aku menuntun pria itu memasuki halaman rumah. "Ayo masuk. Udah malam. Papa udah makan? Aku, kan, tadi udah siapin makanan sebelum pergi."
Saat langkahku baru menginjak usia ketiga, Papa menyentak membebaskan diri dan mendorongku keras-keras. Aku nyaris terjengkang kehilangan keseimbangan. Mataku menatap nyalang Papa yang menyiratkan kecurigaan dan kemarahan.
"Kamu siapa?" sentaknya. "Berani sekali kamu pegang-pegang!"
Lalu, seperti ada tinju menonjoki jantung, rasanya aku ingin pingsan saat itu juga.
"Kurang ajar! Pergi sana!" dia meneriakiku lagi.
Dengan kaki gemetar mirip agar-agar, aku menghampirinya. Pelan, bagai kucing yang mencoba menerkam tikus buruannya. "Pa, ini aku Krishna."
Papa menaikkan satu alisnya "Krishna? Krishna siapa?"
"Krishna Dirgantara, anakmu...." Suaraku bergetar. Rasanya aku bisa menangis saat ini juga dan aku tidak malu karena itu.
"Anak? Anakku?" Papa menggeleng. "Anak?! Krishna?!"
Jantungku mencelus. "Iya, Pa. Ini aku Krishna."
"Krishna? Krishna? Krishna? Siapa Krishna? Siapa? Saya tidak kenal!"
"Pa! Ini Krishna! Masa Papa nggak ingat?"
Papa terdiam, seperti baru menyadari kalau yang berdiri di depannya saat ini adalah seorang manusia alih-alih monster jelek berbulu hijau. Papa menunduk selama beberapa saat yang menegangkan, lalu mundur tiga langkah. "Saya tidak kenal Krishna. Saya tidak kenal...."
Aku tidak tahu harus berkomentar apa, jadi aku diam saja.
"Saya mau pulang. Saya...." Perangai Papa melunak seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Dari caranya bicara, dia seperti sedang bicara pada orang asing. "Siapa kamu?"
Bibirku gemetar, mataku perih seperti baru tersiram air laut. "Krishna."
"Di mana saya sekarang?" tanyanya, benar-benar tidak seperti dirinya sendiri. "Di mana ini?
Jantungku secara bertahap terasa perih seiring dengan setiap kata yang dia ucapkan.
"Ayo masuk," kataku, berjuang mati-matian terdengar ramah alih-alih meradang.
"Tapi ini bukan rumah saya," dia menolak.
Aku menggigiti bibir bawahku yang terus bergetar, mencoba menahan isakan dan raungan lolos dari mulutku. "Ini rumahku. Mari masuk dan istirahat."
Dia menatapku dengan bingung, tatapan yang benar-benar berbeda dari yang selama ini kulihat di mata Papa. Padahal sore tadi dia masih memberikan tatapan yang biasa, tapi sekarang dia sudah tidak mengenalku lagi. Ya, dia sudah tidak mengenalku lagi. Bahkan saat kuajak masuk ke rumah, dia bertingkah seolah rumah itu sungguh-sungguh bukan rumahnya. Seakan aku adalah pemilik rumah itu dan aku adalah orang yang benar-benar baru dikenalnya. Kubawa dia ke dapur dan kusajikan mi instan rebus dan nasi—karena nasi goreng yang kubuat tadi sudah dingin dan tidak terlihat layak konsumsi. Dia berterimakasih padaku. Dia memujiku. Dia menyebutku anak berbakti dan bilang orangtuaku pasti bangga sekali padaku.
Aku tidak tahu harus merasa sedih, merana, sakit, atau menyerah.
YOU ARE READING
Summer Dream
Teen FictionSemenjak ayahnya menderita Alzheimer setahun lalu, hidup Krishna tidak sama lagi. Tidak ada yang menyambutnya di rumah tiap pulang kuliah. Tidak ada yang memujinya untuk nilai yang bagus. Tidak ada yang menyebut namanya dengan kasih seperti dulu lag...