BAB 3

5 3 0
                                    

Summer Dream berkumpul di taman belakang gedung universitas sore ini. Omong-omong, Summer Dream adalah nama band kecilku. Anggotanya cuma empat, terdiri dari orang-orang buangan yang bakat bermusiknya tidak diterima oleh band papan atas, yang pernah ditolak sepuluh juta kali dalam sembilan juta audisi. Oke, aku bohong. Kecuali nama band dan jumlah anggotanya, aku bohong. Kami sebenarnya bukan orang buangan, kok. Kami membentuk Summer Dream tiga tahun lalu dan memutuskan untuk mempertahankannya sampai sekarang. Pemimpinnya bukan aku, tentu saja. Dia adalah Lysander.


Cowok sinting itu luar biasa pintarnya! Dia bisa memainkan banyak alat musik, mulai dari gitar, bass, drum, keyboard, dan vokalnya patut diacungi jempol. Namun di Summer Dream, Lysander memegang bass dan menyerahkan posisi vokali dan gitaris kepadaku. Dia itu tipe cowok idaman para cewek dengan tubuh tinggi jangkung, rambut hitam dengan lapisan gel setebal lima senti, dan senyum seterang lampu jalan. Aku kalah telak darinya bukan hanya dalam persoalan musik dan ketampanan tapi juga akademik. Lysander sekarang sudah di semester 6, dua tingkat lebih tinggi daripadaku.


"Sekarang giliran siapa yang traktir?" tanyanya, yang duduk di meja taman sambil memetik nada-nada aneh menggunakan gitar lefty-ku—karena dia tidak kidal sepertiku. Ada tiga alasan kenapa kami berkumpul: (1) Mendiskusikan musik yang lagi ngetren, (2) Berlatih berlatih berlatih, dan (3) Mengoper giliran traktir setelah hari gajian kami sebagai pengisi acara live music di restoran.


"Bukan gua. Gua sama Titania udah dapat giliran bulan lalu," sahut Oberon tanpa dosa, menyeruput segelap kopi dingin. Dia si pemain drum yang tangannya kekar karena dia hobi nge-gym. Di sampingnya ada Titania, pacarnya yang cantik bukan main. Andai pun dia bukan pacar Oberon, aku tidak akan mendekatinya. Bukan karena Titania itu dua tahun lebih tua dariku. Alasannya karena aku sudah punya sasaran lain.


"Oh, ya! Gue inget!" Titania berseru seraya mengarahkan gelas kopi dingin di tangannya padaku. Lalu, dia mengayunkan rambut hitam panjangnya yang diluruskan dengan tangan satunya. Rambut indahnya memantul di lengan indahnya. Aura kecantikan menyebar ke mana-mana sampai aku nyaris melayang. Oh, ya, Titania yang bertugas di balik keyboard. "Ini giliran Puck!" serunya.


Mati aku! "Hah?" responsku. "Gue? Hah?"


Lysander menoyor belakang kepalaku—mungkin dengan kakinya karena gitar di pangkuan menghambat gerak badan bagian atasnya. "Nah, akhirnya kena juga lo, Puck!"


"Hah?!" Kenapa rasanya aku cuma bisa bilang satu kata itu saja, sih?


"Elu mau traktir kita apa, Bos?" Oberon menyikut dengan kekuatan terkecilnya. Kalau dia mengerahkan seluruh kekuatannya, bisa-bisa aku terpental sampai sepuluh meter.


"Gue beliin bakso di depan kampus." Aku melenguh. "Gimana?"


"Bakso?!" Mereka bertiga serentak menjerit. Telingaku sakit.


"Bakso plus es teh," tawarku. "Gimana?"


"Dua bulan lalu gue traktir kalian di resto pinggir pantai." Lysander kelihatan ingin menghantam wajahku dengan gitar. "Oberon sama Titania traktir porsi dobel. Nah elo, Puck, elo mau traktir bakso sama es teh? Mana naluri kesetiakawanan lo, hah?"


"Kesetiakawanan nggak ditandai dengan mahalnya traktiran," sahutku enteng.


Lysander tertawa terbahak-bahak. "Alamak! Gitu aja baper."


"Elu kali yang baper."


Lysander menyerahkan gitarku kembali. "Yaudahlah. Nggak usah dibahas lagi. Traktiran itu urusan gampang."


"Okelah." Aku tersenyum padanya, kedua tanganku sibuk mewadahi gitar ke soft case-nya.
Tiba-tiba dari sudut mataku, aku melihat sosok Radha bersembunyi di balik salah satu gedung. Gadis itu melambai-lambai rendah padaku seperti sedang memanggilku. Walau keadaan genting, Radha tidak akan begitu saja melesat menghampiri saat aku sedang berkumpul bersama teman-teman se-band-ku. Gadis itu tidak pernah nyaman bersama anggota Summer Dream, entah kenapa. "Sori, Gaes. Gue cabut duluan," kataku.


"Lho udahan?" Lysander melolong. "Tunggu bentar napa! Gue baru aja mau ngomong serius nih!"


Aku mengedikkan dagu ke arah Radha. "Udah ditunggu. Nanti kabari gue sehabis manggung." Jadi setelah mendapat persetujuan separuh hati, aku mengucapkan sampai jumpa dan melesat ke arah Radha.

***

Motor Radha mogok di parkiran kampus. Radha tidak tahu menahu soal motor, jadi sedikit saja terjadi masalah pada motornya, dia bakal jadi anak ayam kehilangan induk. Itulah alasannya melambai-lambai padaku dari balik gedung tadi. Dia minta diantar pulang. Motornya sekarang sedang dirawat di bengkel terdekat dari kampus.


Radha turun dari boncengan motorku. Gadis itu tadi duduk begitu jauh dariku sampai-sampai aku takut kalau aku ngebut sedikit, dia bakal terpental. Selama pengalamanku mengantarnya pulang beberapa kali, kuperhatikan dia selalu menjaraki diri dariku saat kubonceng. Yah, seperti barusan ini. Aku mencurigai dua hal yang menjadi penyebabnya—dia tidak mau merusak gitar yang kusampirkan di punggung atau dia tidak mau bersentuhan denganku. 


"Makasih," katanya malu-malu seolah kami baru kenal selama sejam. "Mampir dulu, yuk?"


"Eh, boleh!" Aku menerima tawaran itu dengan senang hati. Bukan, bukan karena aku mengharapkan makanan dan minuman gratis. Radha punya toko bunga besar yang bagus dan wangi sekali. Aku juga selalu dapat diskon di tokonya ini. Kurasa, membeli satu atau dua tangkai bunga untuk menghias kamar Papa tidak ada salahnya. Papaku suka krisan putih.


"Wah, Krishna!" Ibu Radha berteriak girang begitu melihatku. Untuk alasan yang tidak kuketahui, ibunya Radha selalu segembira itu setiap kali melihatku. Buktinya, dia beranjak dari meja kasir ke arahku, memaksaku menurunkan gitar, lalu menuntunku masuk dan duduk di kursi plastik yang ada. Radha sampai terbengong melihat tingkah ibunya yang mirip anak remaja. "Aduh, makasih ya udah mau nganterin Radha. Kamu memang anak baik. Eh, kamu sudah makan?"


Aku menggeleng tegas. Tadi pagi aku sudah berbohong pada ayahku. Itu sudah cukup untuk mengubah namaku jadi Krishna Si Tukang Kibul. Aku tidak mau bohong lagi.


"Aduh, biar saya belikan makan, ya?" Ibunya Radha menepuk-nepuk lenganku. "Radha, sana beli makan siang di seberang! Buat Krishna. Kasihan dia sudah capek ngantar kamu pulang."


Radha menurut tanpa alasan apa pun.


Karena hari sudah sore, bunga-bunga yang dijual—yang dimasukkan ke ember cat besar—hanya tersisa beberapa tangkai. Aku mengedarkan pandang mengelilingi toko. Jantungku terasa hangat begitu pandanganku mendarat pada ember berisi beberapa tangkai bunga krisan putih.


"Tante, saya mau beli bunga krisannya. Biasa," kataku.


Ibunya Radha melonjak di tempat dan menyeret ember berisi krisan putih ke dekatku. Gerakannya bahkan lebih gesit daripada kucing yang dikagetkan dari belakang. "Krisan. Sepertinya krisan sedang populer, ya. Saya kasih semuanya gratis buatmu, deh!"


Wow, aku beruntung! "Beneran?"


Wanita itu sudah memotongi pangkal tangkai krisan dan menyatukan bunga-bunga itu menjadi gebung. Lalu dia membungkus tangkai-tangkai dengan kertas koran. "Beneran dong. Apa, sih, yang nggak buat cowok ganteng sepertimu?"


Dipuji dan digoda ibu-ibu adalah hal terakhir yang pernah terlintas di benakku.


Radha kembali sepuluh menit kemudian setelah ibunya memberondongku dengan macam-macam pertanyaan—dari yang remeh seperti jenis bunga favoritku sampai apakah aku sudah punya pacar.


"Hati-hati di jalan," pesan Radha ketika kami berdiri di luar toko. Raut wajahnya membuatnya tampak manis sekali. "Nanti kabari aku kalau sudah sampai di rumah." Tuh, apa kubilang. Dia itu manis!


Aku melambai padanya, lalu melaju pergi. Dari kaca spion, aku bisa melihat sosok gadis itu berdiri di tempat yang sama dan masih memperhatikanku. Diperhatikan begini membuatku canggung bukan main. Akibatnya, aku menambah kecepatan dan berkelit gesit di jalanan. Maksudku, sih, agar Radha terkesan. Yeah, kadang aku memang sesombong itu.


Summer DreamWhere stories live. Discover now