Pikiranku kalut-marut setelah kejadian malam lalu. Butuh perjuangan ekstra agar Papa mau tidur di kamarnya. Dia masih berpikir kalau rumahnya ada di suatu tempat. Aku membohonginya dengan cerita tentang hantu, pencuri, anjing galak, dan lain-lain agar dia mau menginap. Ketika akhirnya dia setuju dan terlelap di kamarnya, aku terduduk lemah di depan pintu kamar. Kepalaku rasanya kosong dan keletihan berhasil menenggelamkan seluruh tubuhku sampai rasanya aku tidak punya sisa kekuatan lagi.
Akhirnya aku tidur di sofa ruang tamu dan bangun dalam keadaan pegal di sekujur tubuh. Sempat aku berpikir kalau semua ini cuma sekadar halusinasi semata yang diakibatkan oleh kecapekan. Namun ketika mataku telah terbuka seutuhnya dan kesadaranku kembali berpijak di bumi pagi ini, aku tahu semua ini nyata.
Lagi-lagi, aku panik saat mendapati kamar Papa sudah kosong. Untungnya aku menemukannya di halaman belakang rumah, menyemproti kembang-kembang kertas lesu.
"Papa...."
Dia menolehku. "Pagi!"
Itu bukan caranya menyapa setiap pagi. Ada ide gila terbersit di otakku. Dengan takut-takut, aku menghampirinya dan bertanya, "Umm... masih ingat namaku?"
Papa menyemproti bunga kertas berkali-kali sampai air menetes-netes dan menggenang di pot. "Krishna," katanya.
Sekujur tubuhku terasa begitu hangat dan lega.
"Benar," aku menegaskan. "Lalu... siapa aku?"
Papa masih menyemprot bunga yang sama dengan ritme yang sama. "Yang punya rumah ini, kan?"
Kehangatan dan kelegaan menguap lenyap dari tubuhku.
"Ya ampun. Saya harus pulang sekarang." Papa mengarahkan semprotan padaku. Posisi jarinya di semprotan mengkhawatirkan. Bisa jadi dia akan menyemprotku atau apa. "Nanti istri dan anak saya cemas."
Mendengar dua kata—istri dan anak—jantungku kontan berdenyut begitu kencang.
"Istri dan anak?" ulangku, kedengaran mirip anak kecil yang takut bersuara. "Istri dan... anak?"
"Ya. Istri... anak... Anak saya masih SD. Kelas satu. Mau lihat fotonya?" Dia mengempit semprotan, lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya. Aku bahkan tidak menyangka dia bakal membawa dompetnya ke mana-mana, seolah benda itu mampu menyelamatkannya dari segala jenis malapetaka. Papa membuka dompetnya dan menunjukkan foto tua yang terselip di sana. "Ini dia. Ini anak saya. Ganteng, kan? Mirip sama bapaknya."
Aku memaksakan segaris senyum. Di foto tua itu ada aku saat berusia enam tahun. Aku mengenakan seragam putih merah dengan dasi pendek. Krishna kecil menggendong ransel dan memegangi botol air bergambar pesawat-pesawatan biru. Memandang fotoku saat masih kecil dan pantulan diriku saat ini di kaca jendela seperti sedang dipaksa melihat dua benda asing sebagai satu benda yang sama.
Papa tertawa kecil dan memasukkan dompetnya lagi. "Jam berapa sekarang? Saya harus antar dia ke sekolah. Dia suka bonceng."
Jangan menangis. Jangan teriak. Jangan bertingkah agresif. Ingat, Krishna, kamu sudah gede. Kamu sudah dewasa.
"Umm ... gini. Sekarang sudah jam delapan ... jadi kayaknya ... anak itu sudah berangkat sendiri," terangku, berusaha semaksimal mungkin agar tetap menahannya di rumah. Aku tidak bisa membiarkannya berkeliaran di luar tanpa tahu arah dan tujuan. Papa bisa keluyuran ke segala jurusan dan tidak kembali ke tempat yang benar. Dia pernah keluyuran beberapa kali, dan aku harus mengetuk pintu rumah-rumah untuk menanyakan apakah ayahku mampir atau apakah ada yang sempat melihatnya.
Papa tampak kecewa. "Oh, benar juga. Mungkin dia udah berangkat sama mamanya." Dia kembali menyemprot kembang. "Kalau gitu saya mau pulang saja."
YOU ARE READING
Summer Dream
Roman pour AdolescentsSemenjak ayahnya menderita Alzheimer setahun lalu, hidup Krishna tidak sama lagi. Tidak ada yang menyambutnya di rumah tiap pulang kuliah. Tidak ada yang memujinya untuk nilai yang bagus. Tidak ada yang menyebut namanya dengan kasih seperti dulu lag...