Dua.

58 10 0
                                    

2014-2015

Aku memandangi bayangan diriku dicermin kamar yang ditemani Bunda. Aku mengenakan seragam putih, rok merah SD selutut, rompi sekolah baru, dasi dan ikat pinggang, dan tak lupa jepitan rambut berwarna permen yang membuat wajahku kelihatan lebih cantik. Bunda berkali-kali membujukku untuk menggunakan hijab, jika aku menyetujui maka Bunda akan lansung ke koperasi sekolah untuk membelikan rok dan seragam yang panjang khusus untuk siswa pengguna hijab. Namun aku menolak, dan masih ingin seperti ini dulu. Entah sampai kapan aku menyetujuinya.

Aku bergegas keluar kamar setelah puas menatap diriku sendiri, itu pun juga karena Nenek sudah memanggil untuk sarapan. Aku meninggalkan Bunda dikamar karena Bunda masih merapihkan hijab yang ia gunakan untuk kerja nanti. ''Nek, lihat penampilan Njah, cantikkan?" ucapku sambil memasukkan roti kedalam mulut.

Nenek tersenyum dan mengelus tanganku yang berada dimeja makan. ''Selalu cantik seperti biasa," ia meneruskan kalimatnya lagi,''Tapi, lebih cantik lagi kalau Njah mau pakai hijab.'' Sama seperti jawabanku ke Bunda dikamar tadi, bahwa aku menolaknya.

Sedikit kesal dengan pagi hari ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Mereka tetap menyuruhku menggunakan hijab, aku hanya ingin menikmati masa-masa sekolah. Menggunakan hijab 'kan bisa nanti kalau aku sudah menikah, pikirku. Lagipula setiap berangkat sekolah hari jumat aku selalu memakai hijab, ya walaupun pulang sekolahnya hijab sudah berpindah dari kepalaku ke tas sekolah.

''Azizah, ayok pakai sepatunya kita berangkat sekarang.'' Seru Bunda dari daun pintu dapur. Setiap kali melihat Bunda pakai hijab aku selalu memujinya cantik dalam hati, Bunda memang selalu terlihat cantik sih, tapi entah mengapa jika pakai hijab cantiknya Bunda jadi bertambah berkali-kali lipat.

''Nek, Njah sekolah dulu. Jangan rindu, kata Dilan rindu berat.'' Setiap ingin berpergian aku selalu mengucapkan kata tersebut untuk nenek, semacam ritual berpergian bagiku, dan disambung dengan salam setelahnya. Nenek menanggapi nya dengan tawa renyah sehingga terlihat jelas keriput dikedua matanya. Nenek sudah cukup umur, tapi jiwanya masih anak muda. Terbukti bahwa kemarin aku mergoki Nenek yang sedang membaca novel berkisah remaja islami. Nenek berkilah, dia bilang hanya melihat-lihat, tentu saja aku tidak bisa dibohongi.

''Bu, titip rumah ya, Sofia sama Njah berangkat dulu. Assalamu'alaikum.'' Sahut Bunda dari belakang badanku. Bunda  menyalami punggung tangan Nenek dan mencium pipi Nenek. Ah, pemandangan yang haru bagiku.

...

''Njah, baik-baik ya disekolah, jangan macem-macem, seperti biasa Bunda nggak bisa jemput kamu,'' Ucap Bunda sambil merapihkan rambutku yang terkibas oleh angin tadi dimotor. ''Kalau kamu mau pakai hijab, pasti rambut kamu nggak akan berantakan dan bau asap.'' Lagi-lagi membahas perihal hijab, tidak mau menanggapi perkataan Bunda, aku hanya bergumam tidak jelas.

''Yaudah, Njah masuk dulu ya Bun, Assalamu'alaikum. Hati-hati dijalan Bunda,'' Ucapku sambil menyalami punggung tangan Bunda, Bunda membalas dengan mencium pipiku didepan teman-teman sekolahku. Jika kalian bertanya aku malu dicium Bunda atau tidak didepan umum, maka jawabannya adalah tidak. Aku tidak malu sama sekali, malahan aku bangga.

Selepas kepergian Bunda ketempat kerjanya, temanku memanggil-manggil namaku dari gerbang sekolah, dan itu adalah Bagas anak Tante Silvi sahabat bunda sekaligus tetangga kami. Pasti dia mau mengejek, batinku. ''Uuuuu anak Bunda, sini-sini Bunda cium dulu.''  Sahut Bagas dari kejauhan. Dan seperti biasa dia mengejek ku seperti itu.

''Berisik, masih pagi juga,'' Ujarku sambil meninggalkan dia, dan terdengar tawa jenaka nya dibelakang badanku. ''Gas diem ih, cubit nih.'' Ancamku, dan dia makin mengeraskan ketawanya. Benar-benar orang ter-usil yang pernah kukenal.

Selama pindah sekolah di Jakarta, Bagas adalah teman dekatku sewaktu SD, teman pulang bareng, teman belajar bersama, teman jajan, dan juga teman ter-usil yang ku punya, sampai saat ini. Aku juga memiliki teman perempuan, ya walaupun tidak begitu banyak. Salah satu diantara mereka ada yang menggunakan hijab namanya Lutviah, masih terbilang baru dia merubah penampilan nya menjadi lebih tertutup.

Aku pernah bertanya dengan sangat polos kepada dia tentang perubahan dalam penampilannya, ''Lut, ini beneran kamu? Sekarang pakai penutup kepala?''

Dia mengerutkan keningnya, ''Ini hijab Azizah, dan iya sekarang aku pakai hijab,'' masih belum puas, aku bertanya kembali. ''Memangnya nggak panas Lut?" ia hanya menggelengkan kepala. Yang bertanya seperti itu bukan hanya aku saja, tapi banyak temen-temen bertanya dengan pertanyaan serupa yang aku lontarkan kepada Lutviah.

Mungkin, itu keputusannya. Tapi aku masih ragu kalau dia benar-benar nyaman memakai hijab, aku yakin dia pasti akan melepas kembali hijabnya dalam waktu dekat. Namun, siapa yang menyangka, sampai lulus SD dia tetap memakai hijab, menakjubkan. Dan, banyak dari mereka yang mengikuti jejak Lutviah, untuk memakai hijab dan lebih menutup pakaiannya. Kuakui mereka terlihat lebih sedikit cantik dan rapih, tapi aku masih menyayangkan perubahan mereka, apa mereka tidak ingin memperlihatkan lagi rambut panjang mereka, mahkota yang mereka punya.

•••

Assalamu'alaikum, jangan lupa tinggalkan jejak.

Regards🍦

Nida Zhafirah
-April 2020

Gadis dan Penutup KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang