🧊🧊🧊
“Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR: Al-Tirmidzi)
🧊🧊🧊
"Saya terima nikah dan kawinnya Annasya Maulida Az-zahraturrahman binti Arif Rahman dengan mas kawin tersebut, tunai."
Hatiku terenyuh mendengar kalimat itu keluar dari lisan yang sering membuatku kesal. Pria menyebalkan yang kini resmi menjadi kekasih halalku mengembangkan senyum, seolah merasakan kebahagiaan. Senyuman manisnya berhasil membuatku ikut menarik garis bibir membentuk seulas senyuman.
Jantungku berdetak abnormal saat mencium tangan yang tidak pernah kusentuh sebelumnya. Orang yang tidak pernah kuharapkan menjadi teman hidup, kini mencium keningku sembari merapal doa.
"Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih." Doa itu terdengar samar-samar, tetapi hatiku merasakan hal tak bisa lagi seperti ketika mendengarnya mengikrarkan dua kalimat syahadat.
"Dulu sih katanya ogah, tapi kok malah ijab? Pengen ketawa sih, tapi takut disangka gila," sindir Kak Nisa.
Aku benar-benar malu. Bagaimana tidak? Dulu secara terang-terangan berkata tidak mau berjodoh dengannya, dan kini? Pria itu sudah resmi menjadi suamiku yang diakui oleh agama dan negara.
"Menjilat ludah sendiri." Pak Adnan mencibir dengan nada pelan.
Belum juga 10 menit dia resmi menjadi nahkoda pribadiku menuju Jannah-Nya, sekarang ucapannya kembali membuatku kesal. Lisan itu minta digeprek kah?
"Bisa diam tidak?!"
"Saya bisa tutup mulut dalam persoalan ini, tetapi tidak dengan pernikahannya. Semua orang harus tahu kalau Anda sudah resmi menjadi milik saya."
"Apa untungnya buat Bapak?" tanyaku.
"Pertama, tidak akan ada yang menggoda Anda. Kedua, hari patah hati bagi mahasiswi. Ketiga, kita bisa bebas bermesraan di luar lingkungan kampus. Ke–"
"Stop, Pak. Lebih baik dirahasiakan, ya?" Aku memohon. Bahaya jika sahabatku mengetahui hal ini.
"Apa untungnya bagi saya?"
Aku berpikir sejenak. Kira-kira apa yang bikin dia tutup mulut? Sepintas kejadian beberapa hari lalu terlintas di kepalaku.
"Kalau nggak dirahasiakan, ya saya bakal pelihara kucing."
"Kalau begitu, Anda tidak boleh makan es batu, es krim, cokelat. Sangat adil 'kan?" Dia tidak mau kalah.
Kami berdebat seolah-olah dunia milik berdua, tidak peduli dengan keberadaan keluarga di salah satu kamar rumah sakit.
Setelah lama berdebat, Kak Nisa membuka suara, "udah, Sya. Jangan banyak gerak, wajah kamu belum benar-benar pulih. Lagi pula, kasihan sama Abi, beliau pengen istirahat."
Aku menatap sendu Abi yang tengah terbayang di atas brankar. Tak terasa, air mataku luruh. Aku benar-benar takut kehilangannya. Wajahku terasa perih akibat deraian air mata mengenai bekas goresan pisau yang masih basah. Mertuaku berengsek!
Patient monitor berbunyi dan menunjukkan garis lurus. "Abi...."
🧊🧊🧊
Jangan lupa vote, terima kasiiih🤍
Written by: Uswatnh6_ dan AtinFauziah
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNASYA [REVISI]
Teen FictionDua kalimat Syahadat yang terucap indah di lisannya, menjadi awal munculnya rasa yang tak pernah singgah. "Benci jadi cinta? Bukankah hanya ada di film semata?" pikir Nasya. Nasya pernah meyakini bahwa hal itu sangat tidak mungkin terjadi di dunia n...