Kring... Kring... Kring...
Tampak bel peringatan terdengar dari dalam pondok pesantren. Para santri berbondong-bondong kearah masjid pondok. Dengan kitab kuning bertengger manis ditangannya.
Didepan gerbang pondok putri. Perempuan bermata hitam pekat menatap sang ibunda dengan sendu. Terlihat sedikit berkaca.
"Bun, Biba mau ke Malang aja. Biar bisa satu pondok sama Mas Hasan."
"Gak bisa sayang, Mbah Kakung kan nyuruh disini," jawab Bu Hamidah pada putri bungsunya. "Lagian disini enak kan, deket sama rumahnya Mas Rio. Jadi kalo ada yang gak beres, bunda gak terlalu khawatir."
"Tapi bun...," rengek Haiba membuat dua kang santri yang ada dikantin putri menoleh.
"Eiisssttt... Lihat bunda. Pilihan orang tua itu untuk kebaikan anaknya. Kamu mulai aja dulu."
Haiba mengiyakan perkataan bundanya.
"Sekarang kamu masuk, Abi ada janji sama temenya dipondok sebelah."
"Abi, pangestune nggeh."
Haiba memeluk erat Abinya. Air matanya tak terbendung lagi. Ia sudah biasa tinggal dipondok. Sudah biasa berjauhan dengan orang tuanya. Namun ada yang berbeda. Pondoknya dulu, ia akan disambang dua minggu sekali. Sekarang, ia hanya disambang dua bulan sekali. Semua kebutuhan akan dikirim lewat Mas pertamanya.
"Rang rajin belajarnya, nduk. Buat bangga Abi. Jangan kecewain Mbah kakung yang udah lama pengen biba mondok disini."
Haiba mengangguk.
"Ini ada titipan dari Mbah Kakung, Abi lupa ngasiin ke kamu."
Haiba menerima kotak berbungkus koran dari Abahnya. "Matursuwun, Bah."
"Biba jaga kesehatan ya."
Bu Hamidah memeluk putrinya erat. "Udah sana masuk pondok," tuturnya. "Mbak titip haiba yak."
Mbak pengurus yang sedari tadi menunggu itu mengangguk.
"Nggeh buk."
"Ayo Haiba, kamar kamu ada dilantai tiga," ucap Mbak pengurus pondok.
Haiba masuk ke pondok setelah mobil orang tuanya menjauh.
"Mbak ini bawanya gimana," tanya Haiba bingung sebab ia tak mungkin membawa barang sebanyak itu kelantai tiga.
"Sebentar ya...." Mbak pengurus itu tampak memanggil santri putri yang tak jauh dari mereka. "Naira."
Seseorang bernama Naira menoleh. Dan langsung menghampiri Haiba.
"Kamu dari mana?"
"Ke kamar mandi tamu mbak." Naira terlihat cengengesan.
"Kan itu udah ada tulisanya di pintu, khusus tamu. Ngapain kamu kesitu."
"Hehe... Udah gak sabar, didalem airnya mati."
"Ya udah sini bantu Haiba bawa tasnya." ujar Mbak pengurus. "Dia temen baru dikamar kamu."
"Hai, Naira." Naira mengulurkan tanganya.
"Haiba."
"Sini tak bantuin."
"Makasih. Keatas dulu ya Mbak."
Haiba tersenyum kepada Mbak pengurus yang ada didalam kantor pondok.
"Kamu dari mana?" tanya Naira setelah sampai didalam kamar.
"Pasuruan tahu kan."
Naira mengangguk.
"Eh kalian, kenalin dia anak baru."
Salsa, Keysa, dan Tiara yang sedang asyik ngobrol dipojokan menengok ke sumber suara.
"Dia siapa Ra?"
"Haiba."
Tiara terlihat membisikan sesuatu kepada Keysa.
"Udah daftar sekolah?"
Haiba mengangguk.
"Kelas berapa?"
"Satu stanawi."
"Pas." Salsa berteriak girang.
"Kenapa?" tanya Haiba bingung.
"Gak papa."
Mereka cengeengesan. Sedang Naira hanya tersenyum kecil.
"Udah gak usah difikirin. Mereka agak gila." ucap Naira pelan.
"Kamu beres-beres dulu, almari kamu diujung."
"Setelah itu ikut kami."
"Kemana?"
"Udah ikut aja."
Haiba mulai membereskan barangnya. Satu demi satu ia tata rapi. Ia memasukkan barang yang belum perlu kekardus. Untuk ia simpan diatas lemari.
Brukk
Sesuatu terjatuh tepat diatas kakinya. Kotak berbungkus koran. Pemberian Mbah Kakung pikirnya.
Perlahan ia buka kotak yang sekarang menjadi miliknya. Sebuah buku bersampul pink terlihat unik.
Terdapat gembok berbentuk love dan dua buah kunci. Terdapat ukiran disudut setiap kuncinya. "Aku" dan "Kamu."Haiba tersenyum. Beberapa pertanyaan muncul dibenaknya Darimana dan untuk apa buku itu diberikan. Ia memegang kunci berukiran "Aku". Lantas memasukannya kegembok untuk melihat isi didalamnya.
Terdapat sebuah surat yang terselip dilembaran pertama.
Teruntuk Haiba tersayang
Maaf kan Mbah kakung telah dengan paksa menyuruhmu mondok disana.
Mungkin biba bertanya-tanya kenapa dan kenapa?
Mbah ceritakan sebuah kisah yang tak seorangpun tahu, kecuali Mbah, dia dan Tuhan saja.
Tempat itu, dibawah podoh rindang. Mbah menemukan rasa yang menggetarkan jiwa hingga sekarang.
Disanalah mbah menemukan dia.
Perempuan dengan mata abu-abu, yang selalu menyiksa kalbu.
Maafkan Mbah yang telah lancang memaksa biba,
Maafkan Mbah yang mengikut campurkan biba dengan rasa rindu itu.
Mbah hanya ingin, biba tahu.
Tak ada yang abadi didunia ini,
Begitu pula manusia.Tak ada yang tahu takdir Tuhan, kecuali Tuhan itu sendiri.
Salam hangat.
Haiba menitihkan air mata, ia merasa bersalah sempat marah pada Mbah Kakung nya sebelum berangkat kesini.
"Mbah, maafkan biba." batinya.
Haiba memegang buku itu dengan erat. Ia melihat tulisan bergliter bening dihalaman pertama. Terlihat samar, namun ia terlihat yakin apa yang tertangkap matanya.
Haiba Almahyra,
Takdirmu baru saja dimulai.
.
..
.
Selamat membaca...
Maaf jika typo bertebaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
El-Banat
RomanceSantri itu seperti paku, kemampuan untuk bisa menggabungkan banyak material dalam kehidupan. Meskipun bentuknya kecil dan tidak terlihat, tapi keadaanya jadi vital, kalo dia gak ada gak akan menyatu, bahkan ketika berkarat dia tetap memberikan manfa...