"Ya Allah, jadi kemarin kamu tuh jatuh gara-gara ditabrak Ustadz Labib terus megang tangan beliau," ujar Keysa histeris hingga membuat seisi komplek as salam menengok kearah mereka.
"Gak usah teriak kenapa sih." Naira membungkam mulut Keysa.
"Kalian tahu gak sih, pelanggaran ini namanya." Keysa menatap Naira dengan kesal.
"Tapi kan aku gak sengaja," ucap Haiba.
"Sebenernya sih gak papa." Salsa mencoba menjelaskan. "Yang kami takut kan berita ini terdengar sama Alvina."
"Alvina." Haiba terlihat bingung. "Anak kelas 1A yang suka nongkrong didepan kelas itu?"
"Yups, dia itu cinta berat sama Ustadz Labib."
"Bayangin semua orang yang ngefans sama beliau pasti dia musuhi," Sambung Salsa.
"Kok gitu?" tanya Haiba heran.
"Emang iya, bahkan dia dengan terang-terangan bilang didepan Ustadz Maulana, solmetnya Ustadz Labib."
"Katanya sih dia udah bilang ke papanya, minta disowanin ke Abah Yai."
"Terus?"
"Ditolak cuy," ucap Keysa tertawa.
"Ditolak Ustadz Labib?"
"Bukan, permintaan Alvina ditolak sama papanya."
"Terus?"
"Kamu terus mulu, capek ni aku," keluh Keysa lantas meneguk air didepannya.
"Alasannya simpel, Alvina udah dijodohin papanya dari kecil," sambung Tiara tertawa kecil.
"Kenapa dia masih ngotot mau sama Ustadz Labib?"
"Nah itu yang gak aku tahu. Namanya juga cinta ya kan." Keysa memutar bola matanya.
"Dan asal kamu tahu kenapa Alvina menatap tajam setiap kali kita lewat, sebab ada dia," sambungnya menunjuk kearah Naira.Naira tersenyum malu.
"Naira suka sama Ustadz Labib, makanya Alvina gak suka sama kalian."
"Betul sekali."
Haiba menggaruk-garuk kepalanya. "Gara-gara cinta"
"Aku sebenarnya bingung sama papanya Alvina, kurang apa coba Ustadz Labib. Udah gantang, sholih, alim, baik, rendah hati, tapi ya gitu dingin nya kaya beruang kutub."
Mereka mengangguk setuju.
"Tapi syukur kalo Alvina gak dibolehin sama papanya." celetuk Naira.
"Iya itu enak buat kamu. Maju terus pantang mundur. Allahu Akbar," teriak Keysa.
Keempat cewek itu menggelengkan kepala menatap Keysa seperti ingin berperang melawan musuh.
"Eh, tapi kamu gak suka sama Ustadz Labib kan Ba. Apalagi setelah kejadian itu" Tiara menatap Haiba penasaran. "Rejeki noplok yang gak sembarang orang dapat."
Haiba menaikan pundaknya tanda tak tahu.
"Aku gak mau kita terpecah belah gara-gara cinta."
Salsa mengangguk setuju, diikuti Keysa dan Naira.
"Lagian gak papa kali kalo Haiba emang suka sama Ustadz Labib," imbau Naira seraya memegang pundak Haiba.
"Tapi...."
"Aku gak ngelarang kalian suka sama siapa, cuma aku gak mau kita pecah gara-gara cinta. Bersikaplah dewasa," ujar Salsa sambil mengulurkan tangannya. "Setuju!!!"
"Setuju!"
Mereka berlima berpelukan erat. Mengikrarkan janji persahabatan.
Berharab persahabatannya bagai kepompong, hingga Tuhan menutup abadi mata mereka.*****
Kring... Kring... Kring...
Jam belajar malam telah usai. Anak-anak membuyarkan diri masing-masing. Ada yang langsung ke kamar siap-siap tidur. Ada yang kekamar mandi. Ada pula yang masih sempat jajan ke kantin.
Begitu pula dua anak yang saling dorong mendorong didekat pintu aula bawah.
"Kamu atau aku?" tanya Haiba mengejapkan mata.
Mata hitamnya terlihat barkaca, menahan kantuk yang amat sangat. Sedangkan temannya masih tak mau mengalah. Dirinya mendapat giliran ke kantin malam ini.
"Kamu aja deh," jawab Naira seraya melihat ke kantor keamanan putri, berada tepat didepan kantin. Sebenarnya bukan tak ingin dia. Namun, mata sipitnya menangkap Alvina didekat kantor keamanan. Sedang mengobrol ria dengan Mbak Sinta, salah satu keamanan pondok.
"Kamu aja yah, aku males ketemu Alvina."
"Kamu sama Alvina aja takut," ujar Haiba sebal.
"Bukan gitu Haiba, aku males aja kalo dia sampe ngajakin tibut. Kamu gak liat ada siapa disana."
"Ya udah aku aja yang ke kantin. Tapi tungguin disini ya."
"Siap bos," Naira mengangkat tangannya hormat. "Udah sana, keburu ditutup kantinnya," lanjutnya.
Haiba berjalan menunduk kearah kantin. Pura-pura tak melihat siapa yang ada disekitarnya. Ia mengambil beberapa susu coklat pesanan teman-temannya, sedang dia sendiri lebih memilih white coffee. Matanya masih menyusuri macam-macam roti dirak makanan. Hingga suara serak menghentikan kegiatan pilih-pilihnya.
"Udah larut malam kenapa masih minum kopi."
"Eh Ustadz, tumben larut malam ada di kantin putri." Haiba melirik Ustadz Labib yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Emang saya gak boleh disini."
Haiba diam saja, tak menanggapi ucapan Ustadz Labib. Dirinya merasa tak enak, sebab ada beberapa anak yang juga berada bersamanya.
"Tadi Kang Fais disuruh ke pondok putra pas saya kesini," jelas Ustadz Labib ketika melihat Haiba hanya diam saja.
"Sampun, Tadz."
Haiba menatap sebentar lelaki yang sedang mengambil kembalian untuknya. Dirinya merasa tak sabar. Kantin terlihat sepi. Ia melirik jam tangannya. Rasanya sebentar lagi gerbang pondok pitri akan ditutup.
"Jangan bergadang."
"Suka-suka saya."
Haiba merebut kresek dari tangan Ustadz Labib. Ia berjalan cepat ke tempat Naura berdiri menunggunya. Memberi isyarat dari matanya untuk lekas kembali ke kamar.
Naura menghela nafas pelan. Menatap datar punggung Haiba.
Sedangkan di ujung pintu, perempuan bertubuh semapai itu menatap Haiba dengan sinis.
Maaf typo bertebaran....
KAMU SEDANG MEMBACA
El-Banat
RomanceSantri itu seperti paku, kemampuan untuk bisa menggabungkan banyak material dalam kehidupan. Meskipun bentuknya kecil dan tidak terlihat, tapi keadaanya jadi vital, kalo dia gak ada gak akan menyatu, bahkan ketika berkarat dia tetap memberikan manfa...