Pertama

34 1 0
                                    


Masih minggu pertama Haiba masuk madrasah. Sekolah dengan nuansa kuno itu terbentang luas dekat pondok induk. Ada satu gedung yang menjadi pemisah antara kelas putra dan putri. Gedung penyekat istilah populer dikalangan santri. Berjajarkan ruang-ruang yang menurut santri putri terdapat mutiara. Sedangkan menurut santri putra terdapat petaka. 

Haiba berjalan kearah perpustakaan yang terdapat diujung gedung penyekat. Matanya terhalang tumpukan buku yang ada ditangannya. Ia menggerutu, seharusnya Ustadz Ilyas menyetujui permintaanya untuk ditemani menggembalikan buku-buku ini.

Brukkkk.

"Aduh..."

Dan terjadi, Haiba tersungkur ketanah dangan bukunya yang berserakan. Tangannya berdarah sebab terkena serpihan kaca yang entah darimana berasal.

"Kamu gak papa?" tanya lelaki yang tak sengaja menabrak Haiba.

Haiba mengangguk.

"Saya bantu." lelaki itu mencoba membantu Haiba menata kembali bukunya.

"Tangan kamu berdarah. Biar saya saja yang bawa buku ini ke perpustakaan."

"Gak usah Tadz, biar saya saja," sela Haiba merasa tak enak.

"Gak usah membanta. Ini kunci UKS, kamu kesana aja. Nanti saya menyusul. Lukamu harus segera diobati, takut malah infeksi."

Haiba mengangguk pasrah. Kakinya berputar menuju UKS.

Hening. Entah menit keberapa Haiba duduk manis dikursi UKS. Ia terlihat bingung apa yang harus dilakukannya. Tempat kesehatan ini memang terlihat asing. Sebab ia memang baru pertama menginjakan kakinya.

"Ya Allah, belum ada semingu disini udah kena masalah," keluhnya.

"Ustadz tadi kemana sih?" batinya mulai menahan perih.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Lelaki yang dipanggil Ustadz murid-muridnya itu melihat Haiba yang memejamkan mata. Terlihat bosan.

"Tanganmu masih sakit?" tanyanya khawatir.

"Masih lah tadz, dalem ini," jawab Haiba kesal.

"Siniin tangannya."

Ustadz itu membuka kotak P3K lalu mengobati tangan Haiba tanpa menyentuhnya.

"Ssstt...."

Haiba meringis kesakitan. Tangannya tak sengaja memegang erat lengan lelaki berhidung mancung didepannya.

"Ehemmm"

"Eh, maaf Tadz."

Sang Ustadz diam saja. Ia masih fokus memasang perban ditangan Haiba. Sesekali melirik kearah murid yang terlihat asing dimatanya. Hingga perempuan itu terlihat salah tingkah.

"Selesai, nanti kamu ganti sendiri dipondok. Kamu boleh kembali ke kelas."

"Ustadz...."

Belum selesai berbicara, lelaki itu menyela ucapanya.

"Sama-sama. Saya ada jam di kelas. Satu lagi hati-hati."

Haiba merasa terkejut. Ia menatap punggung lelaki yang berdiri membelakanginya. Rasanya malas untuk kembali kelas. Ia melihat jam tangannya. Udah 30 menit yang lalu pelajaran dimulai. Mau gak mau ia bangkit dan menuju ke kelas.

Haiba terlihat gusar, ada sesuatu yang memenuhi benaknya. Langkahnya terhenti didepan kelas. Terlihat teman-temanya mengrobrol didekat jendela.

"Hai guys."

"Haiba kamu dari mana aja."

"Kamu lama banget sih."

"Jangan bilang kamu ngobrol dulu ya sama Ustadz Arif, penjaga perpustakaan itu loh."

"Atau kamu tersesat digedung penyekat."

Haiba terlihat bingung mendengar pertanyaan teman-temannya. Bagaimana cara dia bercerita. Haruskah dia. Ahhhh... Rasanya ia ingin kembali kepondok, merebahkan tubuhnya sebentar.

"Aku haus...," ucap Haiba memelas meminta air yang ada dilaci milik Naira. Melihat teman-temannya yang merasa heran. Setengah botol ia teguk dengan cepat.

"Tuh kan, ada yang ga beres," ucap Tiara pada Salsa.

"Kamu ketahuan ngintip dilorong kantor guru, Ba."

Semua santri putri tahu tempat paling enak buat cuci mata alias apel anak putra ada dikawasan lorong dekat kantor guru juga dekat ruang komputer. Disana terlihat jelas kelas-kelas santri putra. Sebab lorong itu akses para ustadz dari kantor putri ke kantor putra.

"Ini jam kosong ya," sela Haiba agak malas.

"Sepertinya," ujar salsa. "Seharusnya kamu kalo mapel Fiqih jangan keluar, soalnya Ustadz Labib selalu on time."

"Tumben aja hari ini beliau telat," tambah Naira.

Salsa mengangguk-angguk. "Tegang banget kalo mapelnya Ustadz Labib."

"Beliau gak suka kalo ada yang bicara pas pelajaran."

"Kamu tau gak Ustadz Labib?" tanya Keysa yang dijawab gelengan oleh Haiba.

"Yaelah Ba, itu loh yang hidungnya kayak orang arab."

"Yang bersih."

"Yang lumayan tinggi."

"Yang pake kaca mata hitam," tambah Tiara.

Haiba terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat. Ada beberapa Ustadz yang memang memakai kacamata. Lagian dirinya belum sepenuhnya tahu nama Ustadz disini.

"Eh, tangan kamu kok diperban?" cecar Salsa sedikit keras, setelah Haiba menaruh tangan kanannya diatas meja.

"Owh, kamu habis jatuh ya."

"Dimana?"

"Kok bisa?"

"Cerita dong," paksa Naira.

"Dengrin baik-baik ya." Haiba menghela nafas kasar. "Tadi itu...."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Mati aku."

"Aduh."

Deg....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Selamat membaca, jangan lupa komentarnya

Maaf banyak typo🙏🙏🙏

El-BanatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang