BAGIAN 1

655 22 1
                                    

Senja sudah mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Sinar matahari sudah tidak lagi menyengat, namun masih cukup untuk menerangi mayapada ini. Di tengah pancaran matahari senja ini, tampak serombongan orang berkuda tengah meniti jalan tanah berdebu di pinggiran jurang. Sebuah jurang yang tidak begitu dalam, namun terlihat cukup besar.
Dinding-dindingnya terdiri dari batu-batu cadas yang keras dan runcing. Sekitar dua puluh orang berkuda bergerak perlahan-lahan, mengawal sebuah pedati berukuran cukup besar yang dikendalikan oleh seorang laki-laki yang sudah lanjut usia. Kendati telah berumur, namun masih kelihatan cekatan dalam mengendalikan empat ekor kuda yang menarik pedati ini.
Para pengawal dibagi menjadi dua bagian. Sepuluh orang berkuda di depan, dan sepuluh orang lagi berkuda di belakang pedati. Mereka bergerak hati-hati sekali, karena jalan yang dilalui cukup licin dan sempit. Di sebelah kanan, terdapai jurang yang menganga. Sedangkan di sebelah kiri, dinding bukit yang sangat terjal dan tinggi. Apalagi, jalan yang dilalui ini masih kelihatan cukup jauh. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berbicara. Mereka seperti harus memusatkan seluruh perhatian pada jalan yang dilalui. Sedikit saja tergelincir, jurang yang menganga sudah menanti.
Namun kenyataannya, jalan seperti itu tidak terlalu panjang. Belum juga matahari benar-benar tenggelam di balik peraduannya, jalan yang cukup berbahaya itu sudah terlewati. Dan kini rombongan berkuda itu memasuki tepian sebuah hutan yang tampaknya tidak begitu lebat. Bahkan terlihat banyak pohon yang sudah ditebang. Salah seorang penunggang kuda yang paling depan mengangkat tangannya ke atas kepala, maka rombongan berkuda itu langsung berhenti.
"Istirahat di sini! Dirikan tenda...!" teriak penunggang kuda yang berada paling depan, memberi perintah.
Mereka semua segera berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Tiga orang bergegas menghampiri pedati, dan masuk ke dalamnya. Tidak berapa lama, terlempar beberapa gulungan kain berwarna putih. Kemudian satu orang melompat keluar dari dalam pedati. Sementara yang lain segera mengambil barang-barang yang dilemparkan ke luar dari dalam pedati itu. Tanpa ada yang memerintah lagi, mereka langsung bekerja mendirikan tiga buah tenda berukuran cukup besar ditepian hutan ini.
Sementara, penunggang kuda terdepan yang tampaknya adalah pemimpin rombongan, masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Tak lama dia dihampiri oleh laki-laki tua yang menjadi kusir pedati dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Laki-laki tua itu langsung merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Tubuhnya sedikit dibungkukkan setelah berada dekat dengan laki-laki berusia setengah baya yang masih tetap berada di atas punggung kuda putihnya.
"Gusti... Tempat ini kurang baik untuk bermalam, sebab masih berada di wilayah Kerajaan Jenggala," ujar orang tua itu dengan sikap sangat hormat.
"Mereka tidak akan mungkin mengejar sampai sejauh ini, Ki Manik. Kalaupun tetap mengejar, tidak akan sampai ke sini. Dan beberapa orang akan kuperintahkan untuk menjaga ujung jalan itu. Kalau mereka kelihatan, hujani saja dengan anak panah," sahut laki-laki setengah baya yang dipanggil gusti.
"Tapi, Gusti. Bukan hanya itu saja jalan satu-satunya. Mereka bisa memutari bukit di sebelah sana untuk menuju ke sini," sergah orang tua yang dipanggil Ki Manik, sambil menunjuk sebuah bukit yang tidak begitu tinggi.
Namun belum juga ada jawaban, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah jalan yang dilalui tadi. Tak lama, terlihat kepulan debu membubung tinggi ke angkasa. Dan bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa.
"Celaka, Gusti Panglima. Mereka benar-benar mengejar...," desis Ki Manik.
"Cepat ambil kuda kalian, dan hadang mereka di ujung jalan...!" seru orang berkuda yang dipanggil panglima ini.
Dan memang, laki-laki setengah baya itu adalah seorang panglima. Walaupun sekarang tidak mengenakan baju panglima perang. Di Kerajaan Jenggala, dia dikenal sebagai Panglima Gagak Sewu. Sementara itu mereka yang tengah bekerja mendirikan tenda, bergegas berlompatan ke kuda masing-masing.
Lima orang di antaranya langsung menyambar busur dan beberapa kantung anak panah. Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung bergerak cepat menggebah kudanya ke jalan yang dilalui tadi. Sedangkan Panglima Gagak Sewu sudah sejak tadi memacu cepat kudanya sambil menyambar sebuah busur dan sekantung anak panah.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan dan tangkas sekali, panglima berusia setengah baya itu melompat turun dari punggung kudanya, tepat di ujung jalan yang diapit jurang dan bukit batu. Sementara di depan sana, tampak berpacu puluhan orang berkuda yang berpakaian seragam prajurit. Batu-batu jalan itu langsung berguguran tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
Panglima Gagak Sewu berdiri tegak di tengah ujung jalan ini. Busurnya sudah terentang, siap melepaskan anak panah. Saat itu, lima orang yang juga membawa panah sudah siap di sampingnya. Mereka menanti sampai para prajurit itu dekat.
"Serbuuu...!" teriak Panglima Gagak Sewu lantang menggelegar.
Seketika itu juga, anak anak panah berhamburan cepat sekali, begitu orang-orang berkuda itu mulai dekat. Dan seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi, disertai ringkikan kuda. Tampak para prajurit yang berkuda paling depan terjungkal ambruk ke tanah tertembus anak panah. Panglima Gagak Sewu dan lima orang lainnya terus menghujani panah ke arah para prajurit yang baru datang. Jeritan-jeritan menyayat melengking tinggi pun terus terdengar semakin sering dan saling susul.
Tubuh-tubuh berpakaian seragam prajurit terus bergelimpangan di antara kuda-kuda yang mulai sulit dikendalikan lagi. Bahkan tidak sedikit yang terlempar masuk ke dalam jurang. Sementara, Panglima Gagak Sewu terus berteriak memberi perintah untuk terus memanah. Memang hebat serangannya. Hanya dia dan lima orang pengikutnya, sudah mampu menghambat arus prajurit prajurit berkuda itu.
"Munduuur..!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar. Maka prajurit-prajurit berkuda itu segera memutar, lalu memacu cepat kudanya menjauhi ujung jalan. Melihat hal ini Panglima Gagak Sewu segera mengangkat tangannya ke atas kepala. Maka, lima orang pengikutnya segera menghentikan serangan panahnya. Sementara, prajurit-prajurit berkuda itu terus bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya lenyap tak terlihat lagi.
"Kalian tetap di sini. Jaga jangan sampai ada seorang pun yang lolos," kata Panglima Gagak Sewu.
"Baik, Gusti," sahut lima orang yang kelihatannya masih berusia muda itu, serentak.
Panglima Gagak Sewu kembali naik ke punggung kudanya, dan cepat berpacu kembali ke perkemahan. Begitu sampai di depan sebuah tenda yang paling besar, panglima itu langsung melompat turun dari kudanya. Tampak Ki Manik yang diapit dua orang prajurit sudah menunggu di depan tenda. Laki-laki tua yang berbaju jubah panjang warna putih itu bergegas menghampiri.
"Bagaimana keadaan Gusti Putri, Ki Manik?" tanya Panglima Gagak Sewu langsung.
"Sudah mulai membaik, Gusti Panglima," sahut Ki Manik dengan sikap hormat.
"Lukanya...?"
"Tidak mengkhawatirkan lagi. Emban Girika sudah membalut lukanya dengan kain. Dan darahnya juga sudah tidak keluar lagi. Tapi, keadaannya masih lemas. Hhh..., kasihan Gusti Putri. Mengapa dia harus menderita begitu...?" desah Ki Manik.
"Inilah kehidupan, Ki. Kita semua tidak akan menyangka bakal seperti ini jadinya," Panglima Gagak Sewu juga mendesah, seraya menghempaskan tubuhnya dan duduk di atas rerumputan.
Ki Manik juga ikut duduk bersila di depan panglima yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun ini. Sesaat mereka terdiam membisu.
"Aku heran, Ki. Kita semua sudah menyamar, dan tidak ada yang berseragam prajurit lagi. Tapi, masih saja bisa dikenali? Bahkan mereka terus mengejar. Jadi, bagaimana mereka bisa tahu, Ki...?" tanya Panglima Gagak Sewu seperti bicara pada diri sendiri.
"Sudah barang tentu mereka akan terus mengejar, Gusti. Mereka sudah pasti tahu tujuan kita. Dan ini yang kukhawatirkan, Gusti "
"Apa yang kau cemaskan. Ki?"
"Karena tujuan kita sudah diketahui, aku khawatir mereka mengambil jalan lain dan mencegat di depan. Kalau sudah begitu, rasanya dua puluh orang prajurit tidak akan mampu menghadapi lagi. Kita sudah terlalu banyak kehilangan prajurit, Gusti Panglima."
"Yaaah... Memang tinggal hanya dua puluh orang prajuritku yang masih hidup. Tapi, aku tidak akan menyerah begitu saja, Ki. Gusti Putri Arum Winasih akan tetap kubawa sampai ke tujuan. Apapun yang terjadi, akan tetap kuhadapi. Nyawaku taruhannya, Ki," tegas Panglima Gagak Sewu.
Kembali mereka terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara dari dalam tenda, keluar seorang wanita bertubuh gemuk terbungkus baju kemben warna biru. Dia langsung berlutut di depan Panglima Gagak Sewu, dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Emban Girika?" tanya Panglima Gagak Sewu langsung.
"Ampun, Gusti Panglima. Gusti Putri memanggil," sahut perempuan gemuk yang dipanggil Emban Girika.
Panglima Gagak Sewu bergegas bangkit berdiri. Langsung kakinya melangkah cepat mendekati tenda yang berdiri paling besar, di antara tiga tenda yang lain. Segera dibukanya penutup tenda itu, dan masuk ke dalam. Sementara, Ki Manik dan Emban Girika tetap duduk menunggu di luar.
Di dalam tenda yang cukup besar ini. terlihat seorang wanita muda dan cantik. Tapi wajahnya kelihatan pucat, tengah berbaring beralaskan beberapa lembar kain dan kulit yang lembut. Kepalanya dipalingkan sedikit, begitu Panglima Gagak Sewu masuk. Panglima Gagak Sewu bergegas mendekati, saat tangan gadis cantik itu bergerak lemah memanggilnya.
"Ada apa, Gusti Putri?" tanya Panglima Gagak Sewu setelah duduk dekat di samping gadis ini.
"Paman, berapa jauh lagi perjalanan ini?" tanya Putri Arum Winasih dengan suara terdengar sangat lemah.
"Tidak jauh lagi, Gusti Putri. Tinggal setengah hari saja. Besok pagi, kita lanjutkan perjalanan ini," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Paman, kudengar mereka terus mengejar. Benar...?"
"Benar, Gusti Putri. Tapi, mereka sudah dihalau di ujung jalan dekat jurang. Dan kini, lima orang prajurit sudah menjaga di sana. Jadi tidak mungkin mereka bisa sampai ke sini, Gusti. Tempat ini sangat terlindung, dan sulit dijangkau. Lagi pula, perbatasan tidak jauh lagi. Besok, pasti kita semua sudah aman, berada di luar Kerajaan Jenggala."
"Aku menjadi bebanmu saja, Paman."
"Ah.... Jangan berkata begitu, Gusti Putri. Semua yang hamba lakukan hanya sekadar pengabdian."
"Mereka hanya menginginkan aku, Paman. Kalau aku menyerahkan diri, kau dan yang lain bisa bebas pergi. Sebaiknya, tinggalkan saja aku di sini, Paman," kata Putri Arum Winasih lirih.
"Apa pun yang terjadi, hamba tetap akan melindungi Gusti Putri. Ah... sudahlah, Gusti Putri. Jangan terlalu banyak bicara dulu. Hamba akan keluar mengatur penjagaan," kata Panglima Gagak Sewu.
Setelah memberi hormat, Panglima Gagak Sewu keluar dari dalam tenda ini. Sementara, Putri Arum Winasih tetap berbaring dengan tubuh lemah. Dan tidak lama Panglima Gagak Sewu keluar, Emban Girika masuk ke dalam tenda ini, dan segera duduk di samping gadis itu.

105. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Gerbang NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang