BAGIAN 7

329 20 0
                                    

Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', menghadapi serangan-serangan yang dilancar Patih Garindra. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi Patih Garindra belum juga bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti, yang tetap mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Memang sulit untuk memecahkan gerakan-gerakan dari jurus yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti yang tampaknya tidak beraturan sama sekali. Bahkan terlihat seperti tidak tengah bertarung. Dan terkadang, gerakan-gerakannya seperti orang yang kebanyakan menenggak arak. Tapi, tetap saja sangat sulit bagi lawan untuk memasukkan serangannya. Liukan tubuh Pendekar Rajawali Sakti demikian indah, bagaikan seekor belut yang sangat licin dan sulit ditangkap. Dan ini membuat setiap lawan jadi semakin berang, karena merasa dipermainkan. Begitu juga Patih Garindra. Bukannya dia bertambah sadar kalau tidak mungkin bisa mengalahkan lawannya, tapi wajahnya semakin bertambah merah, menahan kemarahan yang semakin memuncak dalam dada.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Patih Garindra semakin memperhebat serangan-serangannya. Pedangnya berkelebatan cepat, sangat luar biasa, mengurung setiap gerak Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakan pedang Patih Garindra, hingga bentuknya jadi lenyap sama sekali. Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya keperakan mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Gila! Serangannya semakin dahsyat saja. Aku tidak mungkin terus bertahan dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia harus cepat dihentikan sebelum yang lainnya tahu!" Gumam Rangga dalam hati. Saat itu juga, pedang di tangan Patih Garindra berputar cepat mengarah ke kaki. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti begitu saja. Dengan cepat sekali, tubuhnya melenting ke udara. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya menukik dengan kedua kaki bergerak berputar begitu cepat. Gerakan ini membuat Patih Garindra jadi terlongong bengong melihatnya. Dan belum juga bisa menyadari apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja...
"Yeaaah...!" Tiba-tiba Rangga merubah gerakannya menjadi jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat pertama. Cepat sekali tubuhnya berputar, hingga kepalanya berada di bawah. Dan saat itu juga, tangan kirinya mengibas cepat bagai kilat. Akibatnya, Patih Garindra tidak sempat lagi melihat gerakan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Dan....
Des!
"Akh...!"
Patih Garindra jadi terpekik, begitu tiba-tiba tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti yang mengibas cepat menghantam telak di tengah dadanya. Akibatnya, seketika tubuhnya terpental cukup jauh ke belakang. Lalu tubuhnya keras sekali menghantam tanah dan langsung bergulingan beberapa kali, hingga menabrak sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping. Rangga jadi terkejut juga mendengar pecahan pohon itu demikian keras, bagaikan dihantam pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hoeeekh!"
Tampak Patih Garindra memuntahkan darah kental agak kehitaman, begitu mencoba bangkit berdiri. Sementara Pendekar Rajawali Sakti seakan masih terpana melihat akibat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tadi. Padahal, tadi dilepaskan masih dalam tingkat yang pertama. Malah, hanya sedikit saja mengerahkan tenaga dalam. Tapi, akibatnya sungguh di luar dugaan Patih Garindra tidak bisa lagi berdiri. Tampak darah yang keluar dari mulutnya semakin bertambah banyak saja. Perlahan kepala Patih Garindra terangkat, tapi sorot matanya begitu redup memandang langsung ke wajah Pendekar Rajawali Sakti. Darah terus mengucur dari mulutnya. Sementara Rangga sendiri tetap berdiri tegak memandangi, masih seperti tidak percaya melihat akibat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang dilancarkannya.
"Kau ... Kau tidak akan berhasil, Rangga. Kau akan mati... Akh...!"
Patih Garindra langsung ambruk. Dan hanya sebentar saja tubuhnya mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Rangga jadi tersentak kaget, lalu cepat-cepat menghambur dan berlutut di sampingnya. Laki-laki berusia hampir setengah baya ini sudah tidak bernyawa lagi. Rangga cepat-cepat memeriksa bagian dada yang tadi terkena kibasan tangan kirinya, dan langsung kaget setengah mati. Memang sedikit pun tidak terlihat luka di dada Patih Garindra. Tapi...
"Eh...?!"
Rangga jadi tersentak kaget begitu membalikkan tubuh Patih Garindra. Tampak bagian punggung patih ini bergambar telapak tangan yang hangus dan mengepulkan asap. Rangga cepat melompat bangkit berdiri. Langsung disadari kalau ada orang lain yang membunuh patih ini. Saat itu juga hatinya jadi tersentak, karena semua prajurit dan empat wanita pengawal Patih Garindra sudah menggeletak tidak bernyawa lagi. Tampak pada dada mereka tergambar telapak tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi, bahkan tidak satu prajurit pun yang tampak. Padahal pertarungannya tadi menimbulkan suara-suara yang pasti akan terdengar sampai ke bagian dalam istana. Tapi sungguh sulit dipercaya, karena tidak ada seorang pun yang datang. Rangga cepat menyadari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Maka kewaspadaannya segera ditingkatkan.
"Siapa pun orangnya, pasti memiliki kepandaian tinggi sekali. Hm...," Rangga menggumam perlahan, bicara pada diri sendiri.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi yang tampak hanya tembok benteng dan dinding istana serta pepohonan yang menghitam terselimut kegelapan malam saja. Tidak seorang pun terlihat. Bahkan sama sekali tidak terdengar adanya tarikan napas di sekeliling bagian belakang istana ini. Itu berarti tidak ada seorang pun di sekitarnya. Tapi, siapa yang membunuh Patih Garindra dan prajurit-prajurit, serta empat wanita pengawalnya ini...? Pertanyaan ini yang terus mengusik benak Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Rangga mulai melangkah mendekati pintu belakang istana yang kelihatannya terbuka lebar, seperti sengaja agar Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam. Meskipun yakin tidak ada seorangpun di sekitarnya, tapi Pendekar Rajawali Sakti tetap memasang tajam-tajam pendengarannya sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Memang, tidak sedikit pun terdengar tarikan napas seseorang.
Rangga berhenti melangkah setelah tiba di ambang pintu yang terbuka lebar ini. Perlahan kembali kakinya terayun, memasuki pintu itu. Namun, tidak ada seorang pun penjaga di sini. Dan pintu ini ternyata berhubungan langsung dengan bagian dalam istana. Kakinya terus melangkah hati-hati, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, hingga sedikit pun tidak terdengar suara langkahnya. Bahkan, seakan akan kedua telapak kakinya tidak menjejak lantai. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan hati-hati, sampai tiba di sebuah ruangan yang sangat luas dan terang benderang. Rangga tahu, ini adalah ruangan Balai Sema Agung
Tampak sebuah kursi singgasana yang sangat megah berada dalam ruangan ini. Dan di atas kursi itu, ternyata sudah duduk seorang pemuda berwajah cukup tampan, terbungkus baju putih bersih yang sangat ketat, hingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Rangga berhenti melangkah, setelah sampai di tengah-tengah ruangan yang sangat luas dan megah ini. Pandangannya tertuju lurus pada pemuda di kursi singgasana itu. Dia tahu, pemuda inilah yang bernama Raden Banyugara.
"Selamat datang di istanaku, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Raden Banyugara dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit.
"Aku sudah menduga, kau pasti akan datang untuk membebaskan sahabatmu. Tapi sama sekali tidak kusangka kalau kedatanganmu secepat ini," kata Raden Banyugara lagi, masih dengan nada suara lembut dan berkesan ramah.
"Kenapa kau memberontak terhadap Prabu Gandaraka, Banyugara?" Rangga mencoba menyelidik. "Kenapa? Mengapa itu mesti kau tanyakan, Rangga. Kau tahu, aku selama ini telah dianggap remeh dan lemah oleh semua keluarga istana! Karena, aku hanya mempelajari ilmu sastra dan ilmu kepemerintahan. Bahkan, Putri Arum Winasih menolak cintaku, hanya karena aku tidak memiliki ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Memang, aku masih keponakan Prabu Gandaraka. Tapi cinta, tidak akan memandang segalanya. Maka begitu aku tahu Arum Winasih sudah dijodohkan, aku pergi ke Gunung Mentawak untuk menuntut ilmu hitam yang serba singkat. Aku ingin membalas dendam pada mereka yang meremehkanku!" dengus Raden Banyugara, mengungkapkan isi hatinya.
Kini Rangga mengerti. Dan dari sudut ekor mata, diamatinya keadaan sekeliling ruangan ini. Ada sekitar sepuluh pintu di ruangan ini. Dan semua jendela yang ada juga dalam keadaan terbuka lebar, seakan-akan memang disengaja untuk mengundangnya datang. Saat itu, Raden Banyugara bangkit berdiri dari kursi singgasana yang sangat megah. Dia melangkah dua tindak ke depan. Sedangkan Rangga berdiri tegak, menatapnya dengan sinar mata tajam sekali.
Trik!
Raden Banyugara menjentikkan dua ujung jari tangannya. Maka saat itu juga, dari salah satu pintu muncul dua orang berseragam prajurit yang mengapit seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun. Pakaiannya begitu lusuh dan sudah robek di sana-sini, walaupun terbuat dari bahan sutera halus yang tentu sangat mahal harganya. Rangga jadi terperanjat melihat keadaan orang yang sudah sangat dikenalnya itu. Dialah Prabu Gandaraka.
Seluruh tubuh bekas penguasa Kerajaan Jenggala itu terikat ke belakang. Bahkan ujung rantai yang membelit lehernya terdapat sebuah bandulan besi bulat sebesar kepala yang sangat berat. Tak heran kalau tubuh laki-laki tua itu jadi terbungkuk.
"Kau lihat, Rangga. Seperti itulah orang yang tidak mau menuruti kehendakku. Kalau saja takhta ini diserahkan padaku secara baik-baik, mungkin masih bisa kuberi kehidupan yang layak baginya. Tapi dia..., sahabatmu itu malah membangkang. Dia tidak sadar kalau seluruh prajuritnya sudah tidak menyukainya lagi. Dan sekarang, kau datang untuk membebaskan pembangkang ini. Silakan.... Tapi, aku tidak bisa menjamin kehidupanmu, Rangga. Kau sudah lihat sendiri, bagaimana mereka yang tidak becus melaksanakan tugasnya. Aku tidak segan-segan mengirim mereka ke neraka," kata Raden Banyugara lembut, namun terdengar tegas sekali nada suaranya.
"Iblis...!" desis Rangga jadi geram.
Kini Pendekar Rajawali Sakti tahu, siapa yang membunuh Patih Garindra dan prajurit-prajurit di belakang istana tadi. Seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi bergetar menahan kemarahan. Dia paling tidak suka melihat kekejaman yang dilakukan secara licik, dengan membunuh orang dari belakang. Baginya, itu bukan lagi perbuatan manusia. Hanya iblislah yang bisa melakukannya. Dan tentu saja parbuatan seperti itu tidak bisa terampuni lagi.
"Aku masih menawarkanmu pilihan, Rangga. Kau tinggalkan Jenggala sekarang juga dan menyerahkan Karang Setra padaku, atau akan mati sia-sia di sini. Toh, tidak lama lagi Karang Setra akan berada di tanganku," kata Raden Banyugara lagi.
"Besar sekali mulutmu, Banyugara," desis Rangga mulai tidak senang.
"Ha ha ha...! Mulut besarku ini yang membawaku berada di takhta Istana Jenggala, Rangga. Tapi, aku tidak hanya bermulut besar. Aku juga bisa membuktikan semua yang kubicarakan. Kau bisa lihat. Begitu besar kekuatan yang kumiliki sekarang ini. Bahkan tiga kali lipat dari kekuatan yang ada di Karang Setra. Pikirkanlah, Rangga. Rasanya sayang sekali kalau kau harus bernasib sama dengan pembangkang ini," ancam Raden Banyugara sambil menunjuk Prabu Gandaraka.
"Tidak mudah menaklukkan Karang Setra, Banyugara," dengus Rangga ketus.
"Tentu saja sangat mudah, Rangga. Dua orangku sudah menyusup ke sana. Dan sebentar lagi, mereka akan mendapatkan banyak prajurit di sana. Kemudian, pembesar pembesar yang berjiwa bobrok, satu persatu akan dipengaruhi. Mereka yang mencoba menentang, akan dikirim ke neraka. Tidak terlalu sulit bagiku, Rangga. Tanpa mengerahkan kekuatan besar, Karang Setra akan jatuh ke tanganku," kata Raden Banyugara angkuh.
"Dua orangmu sudah tertangkap, Banyugara," balas Rangga tegas.
"Tidak mungkin!" bentak Raden Banyugara jadi berang.
"Kau boleh memeriksanya sendiri. Tidak ada seorang pun dari orang-orangmu yang bisa menyusup masuk ke dalam istana. Bahkan baru berada di luar saja, mereka sudah tidak berdaya lagi. Mereka sekarang meringkuk di dalam penjara. Dan seluruh prajurit Karang Setra, sekarang sudah mengepung Jenggala. Sedangkan prajurit-prajurit yang kau banggakan, sebagian besar sudah takluk. Kau lihat saja di luar sana. Panglima Gagak Sewu tinggal menunggu isyarat dariku saja untuk menyerbu ke sini," kata Rangga, sedikit berbohong.
"Jangan banyak mulut di sini, Rangga. Kau pikir aku akan mudah terpancing...? Phuih! Sebaiknya kau pikirkan saja keselamatanmu sendiri, Rangga. Jangan coba-coba menggertakku!" geram Raden Banyugara.
"Aku tidak menggertak, Banyugara. Aku berkata yang sebenarnya. Kau tidak lagi memiliki prajurit. Mereka hanya takut padamu, tapi sebenarnya masih setia pada rajanya. Malam ini juga, kau sama sekali tidak memiliki kekuatan prajurit, Banyugara. Kini tidak ada yang bisa kau andalkan lagi," kata Rangga, semakin terdengar tenang suaranya.
"Phuih! Kau lihat, Rangga. Mereka masih setia padaku!" bentak Raden Banyugara kalap. Saat itu juga dia menjentikkan jarinya.
Trik!
Pandangan Raden Banyugara langsung menyapu ke setiap pintu yang ada di dalam ruangan ini. Tapi, pintu itu tetap saja tertutup rapat. Sementara, Rangga sudah mulai menggeser kakinya mendekati Prabu Gandaraka. Sedangkan dua orang prajurit yang tadi berada dekat Raja Jenggala ini, segera menyingkir menjauh, begitu melihat Rangga mendekati. Mereka berdua sudah tahu, siapa pemuda berbaju rompi putih ini, sehingga sudah barang tentu tidak mau mati konyol menghadapinya. Sementara itu, Raden Banyugara sudah memerah wajahnya, karena prajurit-prajurit yang sudah disiapkan di setiap pintu ternyata tidak seorang pun yang menampakkan diri. Sedangkan Rangga sudah berada di samping Prabu Gandaraka. Segera dilepaskannya rantai yang membelenggu Raja Jenggala ini.
"Setan keparat...! Keluar kalian semua! Tangkap pembangkang-pembangkang ini!" teriak Raden Banyugara.
Tapi, suara pemuda itu hanya menggema saja di dalam ruangan ini dan menghilang terbawa angin melalui jendela yang terbuka lebar. Dan begitu suaranya menghilang, semua daun pintu yang ada di dalam ruangan ini terbuka perlahan. Lalu, muncul orang-orang berpakaian seragam prajurit. Dan dari jendela, juga bermunculan para prajurit. Mereka langsung saja berdiri berjajar, mengelilingi ruangan ini. Raden Banyugara jadi tersenyum melihat prajuritnya masih lengkap.
"Kau lihat Rangga. Mereka masih setia padaku," ujar Raden Banyugara.
"Mereka akan berbalik, kalau melihat rajanya sudah bebas. Dan kau lihat sendiri, Banyugara. Prabu Gandaraka sudah tidak terbelenggu lagi. Dia sudah bebas, dan bisa memerintahkan prajuritnya untuk menangkapmu," kata Rangga lantang.
"Phuih! Kalian berdua akan mampus!" dengus Raden Banyugara sengit.
Sret!
Cring!
Langsung saja Raden Banyugara mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Digenggamnya pedang itu erat-erat dengan tangan kanan. Dan sepasang bola matanya menatap begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Prajurit! Serang mereka...!" teriak Raden Banyugara memberi perintah.
Suara Raden Banyugara terdengar begitu keras dan menggelegar bagai guntur meledak membelah angkasa. Tapi, tidak ada seorang prajurit pun yang bergerak menyerang. Mereka hanya berdiri diam terpaku, tidak bergeming sedikit pun. Sangat jelas pada raut wajah mereka terlihat penuh kebimbangan.
Memang benar perhitungan Pendekar Rajawali Sakti, Sebab prajurit pasti akan mengikuti perintah rajanya yang asli. Dan kalaupun mereka memberontak, itu hanya karena takut tekanan-tekanan dari orang yang memimpin pemberontakan dan yang menguasai kerajaan sekarang. Kini buktinya, mereka jadi bimbang setelah melihat Prabu Gandaraka terbebas. Apalagi, mereka juga melihat ada pendekar tangguh yang akan melindungi Kerajaan Jenggala ini.
Demikian pula panglima-panglima yang ikut dalam pemberontakan. Dan sebenarnya, begitu melihat tindakan Raden Banyugara yang biadab, para panglima mulai sadar kalau telah diperdaya oleh Raden Banyugara. Dan untuk berontak kembali, mereka takut. Karena jelas, kesaktian Raden Banyugara sudah demikian tinggi. Rasanya, hanya orang berkepandaian sangat tinggi saja yang dapan menundukkannya. Maka tak heran, begitu mereka melihat Pendekar Rajawali Sakti datang, para panglima, punggawa, dan prajurit menjadi agak lega.
Dan tiba-tiba saja seorang punggawa melemparkan pedang ke lantai. Secara serempak, mendadak saja semua prajurit yang ada di dalam ruangan ini melemparkan senjata ke lantai. Melihat itu, wajah Raden Banyugara jadi memerah bagai terbakar. Seketika kedua bola matanya berapi-api, menatap para prajurit yang tidak mau lagi mematuhi perintahnya. Pandangannya segera beredar ke sekeliling. Tampak semua prajurit sudah meletakkan senjata. Dan di antara mereka, tidak terlihat seorang panglima atau patih yang semula mendukung pemberontakannya.
"Setan keparat! Kalian juga mau membangkang, heh...?!" bentak Raden Banyugara geram.
Tiba-tiba saja pemuda itu menghentakkan tangan kirinya ke samping.
"Yeaaah...!"
Dan seketika itu juga, terlihat gumpalan bulatan hitam meluncur deras dari telapak tangan kiri Raden Banyugara. Dan bulatan hitam itu langsung menyebar, menjadi bulatan-bulatan hitam kecil yang menghantam beberapa prajurit di sebelah kiri ruangan ini.
"Heh...?!"
Rangga jadi terbeliak kaget, begitu melihat sekitar dua puluh orang prajurit seketika ambruk tanpa bersuara sedikit pun. Dan di dada mereka tergambar telapak tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap. Keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti cepat lenyap, dan berganti kegeraman yang tidak dapat lagi terbendung dalam dada.
"Keparat...! Hatimu benar-benar sudah ditunggangi iblis, Banyugara!" desis Rangga menggeram berang.
"Ha ha ha...! Kau juga akan mampus seperti mereka, Rangga. Kalian juga, Prajurit-prajurit Keparat!"
"Hhh!"
Rangga melirik sedikit pada Prabu Gandaraka yang berada di sebelah kanannya.
"Menyingkirlah, Gusti Prabu. Biar manusia iblis ini kuhadapi," ujar Rangga pelan.
"Hati-hati, Dimas Rangga. Dia punya ilmu iblis yang sangat dahsyat. Semua panglima kepercayaanku tewas di tangannya. Juga beberapa patih," kata Prabu Gandaraka memperingati.
"Aku tahu, Gusti Prabu," sahut Rangga agak datar.
"Aku percaya padamu, Dimas Rangga."
"Perintahkan semua prajurit untuk keluar."
"Baik."
Prabu Gandaraka segera melangkah ke belakang menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Juga di perintahkannya semua prajurit untuk keluar dari ruangan ini. Prajurit-prajurit itu segera berlompatan keluar melalui jendela, meninggalkan Rangga dan Raden Banyugara berdua saja di dalam ruangan ini. Sementara, Prabu Gandaraka juga sudah berada diambang pintu yang jaraknya cukup jauh dari mereka yang berdiri saling berhadapan dengan sorot mata tajam. Seakan-akan, mereka tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

***

105. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Gerbang NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang